Fitrah manusia ingin menjalani hidup nyaman. Tak terkecuali bagi kuli pemerintah (yang instansi vertikal) pastinya lebih memilih ditempatkan tugas dekat dari rumah (homebase).
Sulit rasanya dicerna bila ada yang ingin ditempatkan di wilayah luar Jawa sedang homebase-nya adalah Jakarta.
Berbagai macam rasa dan tanya muncul manakala sesaat menerima surat keputusan mutasi ke luar Jawa, walau judulnya promosi jabatan. Sedih, marah, gundah, resah bercampur. Bermodalkan campuran rasa, nakal terbersit tanya,
“Mengapa saya? Mengapa jauh sekali? Apa salah saya? Mengapa tidak mereka?”
Terbiasa HP sepi, menjadi celebrity beberapa hari tak menghilangkan rasa dan tanya yang ada.
Semakin resah beberapa saat menjelang waktu terbang menuju titik baru sembari meninggalkan istri dan anak yang sulit dibawa serta.
Berbulan setelahnya, entah itu bentuknya meeting, rapat, sosialisasi, ataupun diklat yang faktanya harus jumpa rekan angkatan atau rekan kerja lainnya yang tempat tugasnya berjarak lebih pendek dari Monumen Nasional (Monas), campuran rasa akan makin tebal dan tanya makin nakal yang berujung rendah diri.
Sela ishoma, akan selalu ada obrolan yang temanya tak jauh dari penempatan tugas. “Mas, berasal dari kantor mana?”, “Udah lama Mas di sana?”, “Pulang ke homabase berapa minggu sekali?”, pertanyaan-pertanyaan senada itu muncul antar peserta.
Dari sedikit peserta muncul pernyataan, “Sampean mah enak Mas seputaran Monas terus gak kayak aku, merasakan hampir semua pulau besar Indonesia.” Bisa bangga, bisa iri, bahkan bisa mengejek, nada yang terucap dari kalimat tersebut.
Bangga? Iya bangga, bangga atas derita yang pernah dia jalani. Kepada lawan bicaranya tersampai licik pesan bahwa dia lebih berpengalaman, lebih tangguh, ataupun lebih sengsara. Untuk apa? Untuk mendapat empati dari lawan bicara dan orang sekitar yang dia anggap perlu tahu.
Ironi, sesuatu yang sejatinya sangat ingin dihindari, tapi dijadikan senjata untuk menuai empati orang.
Bagi yang berkutat seputaran Monas dan baperan, bisa jadi awkward saat bertemu dengan orang yang sudah bangga tadi. Lain halnya yang bersangkutan jauh dari kriteria baperan, tentunya posisinya sangat dia nikmati tanpa perlu empati kepada yang sudah bangga.
Kondisi serupa terjadi saat Satuan Tugas Penanganan COVID-19 pada tanggal 7 April 2021 menetapkan SE Nomor 13 tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah.
Bagi pegawai instansi pemerintahan/ASN, pegawai BUMN/BUMD, prajurit TNI, dan anggota Polri sebagai pelaku perjalanan dengan keperluan mendesak untuk kepentingan nonmudik, yaitu (1) bekerja/perjalanan dinas, (2) kunjungan keluarga sakit, (3) kunjungan duka anggota keluarga meninggal, (4) ibu hamil yang didampingi oleh 1 orang anggota keluarga, dan (5) kepentingan persalinan yang didampingi maksimal 2 orang wajib melampirkan print out surat izin tertulis dari pejabat setingkat Eselon II yang dilengkapi tanda tangan basah/tanda tangan elektronik pejabat serta identitas diri calon pelaku perjalanan.
“Gak terlalu ngaruh banyak buat saya, cuma gak bisa mudik bertemu orang tua di kampung aja,” celetuk seorang kuli pemerintah yang bertugas dekat homebase menanggapi SE pelarangan mudik.
Pengaruh besarnya dirasakan kuli pemerintah yang bertugas jauh dari homebase. Hasrat menemui istri dan anak yang rutin paling cepat 1 bukan sekali harus dipaksa tunda. Secuil fantasy merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama istri dan anak pun gagal terwujud.
Dari 5 kriteria keperluan mendesak untuk kepentingan nonmudik tadi, tidak ada kriteria kunjungan ke keluarga utama bagi kuli pemerintah yang bertugas jauh dari homebase.
Memang luar biasa, tanpa pandang mana yang dekat homebase, mana yang jauh homebase.
Teringat penggalan lirik lagu Oh Ya dari album SWAMI I Tahun 1989,
“Oh ya, ya nasib. Nasibmu jelas bukan nasibku. Oh ya, ya takdir, takdirmu jelas bukan takdirku.”
Derita tak dapat bersua istri dan anak di saat Lebaran membuka peluang untuk berbangga demi empati layaknya bangga di awal tulisan ini.
Koq bangga dengan derita sih? Sungguh naif kenakalanmu, Kawan.