Gemerlap AI dan Mereka yang Terabaikan: Menyoroti Kemanusiaan dalam bayang-bayang AI melalui "Negative Scholarship on the Fifth State of Being"
Oleh: Dararima Sani
AI, AI, dan AI. Kecerdasan artifisial saat ini dilihat sebagai lentera yang dapat mempermudah semua aspek kehidupan manusia. Pasar seharga USD 279.22 billion ini digadang-gadang sebagai masa depan dari kemanusiaan. Berbagai kalangan institusi pun berpacu untuk turut naik dalam kereta cepat AI. Sam Altman, CEO OpenAI sendiri mengatakan bahwa kita saat ini berada di tahap di mana investor secara keseluruhan terlalu bersemangat tentang AI.Â
Akan tetapi, apakah benar AI menjadi gerbang masa depan manusia yang gemerlap?Â
Prihandita dalam novelette sains fiksinya yang berjudul "Negative Scholarship on the Fifth State of Being" berusaha menceritakan sisi lain dari integrasi AI dalam kehidupan manusia. Novelette pemenang Nebula Award 2024 ini berlatarkan masa depan, di mana manusia telah hidup berdampingan dengan alien di luar angkasa. Semau, tokoh utama dalam novelette yang juga menjadi finalis Eugie Award 2025 ini, adalah seorang manusia dokter-praktisioner pada sebuah koloni kecil dihadapkan oleh dilemma moral dan etika. Ketika mesin AI-nya gagal mendiagnosa seorang pasien, Semau menyaksikan kenyataan AI yang penuh bias dalam masyarakat yang dibayangi kolonialisme.
Bias kolonialisme dalam Sistem Kehidupan Masyarakat
Kehidupan Semau terdistrupsi ketika suatu hari ia menghadapi seorang pasien dari spesies Plyzmorynox dari Planet Matori bernama Txyzna. Txyzna mengeluhkan terdapat "lubang" dalam tubuhnya. Brazs, sistem AI yang wajib digunakan Semau untuk mendiagnosis pasien menjelaskan bahwa spesies Plymorynox sangatlah langka. Hanya terdapat 0.000013% kemungkinan bagi seseorang untuk bertemu dengan spesies Plymorynox yang badannya terdiri dari air dan ombak laut. Langkanya spesies tersebut membuat paket basis data standar yang dimiliki Semau tidak menyimpan informasi mengenai Pllymorynox. Untuk mendiagnosis Txyzna, Semau perlu membeli paket informasi tambahan yang harganya hampir dua kali lipat dari anggaran pemerintah yang diterimanya.Â
Langkanya spesies Plyzmorynox  tersebut terjadi karena spesies yang berasal dari Planet Matori tersebut adalah korban genosida yang dilakukan oleh bangsa Umunua. Saat ini, hanya sedikit sekali spesies Plyzmorynox yang bertahan. Mereka pun hidup saling berpencar di seluruh penjuru antariksa. Sebelumnya, Txyzna tinggal bersama dengan ayahnya. Akan tetapi, Ayah Txyzna meninggal sebelum dapat menjelaskan perubahan pada tubuhnya yang mengakibatkan timbul "lubang" di tubuhnya.Â
Novellete fiksi ilmiah ini apabila dibaca sekilas hanya membahas mengenai pertemuan antara Semau dan Txyzna di luar angkasa. Akan tetapi, membaca lebih dalam novellete ini akan mengungkapkan bagaimana Prihandita menjelaskan konsep matriks kekuasaan kolonial dalam penggunaan AI melalui penggalan pengalaman Txyzna. Matriks kekuasaan kolonial menjelaskan bahwa segala aspek sistem masyarakat di dunia saat ini berkaitan dengan sejarah kolonialisme. Kekuasaan kolonialisme tersebut mengeksploitasi dan mendominasi ruang ekonomi, otoritas, gender dan seksualitas, serta subjektivitas dan pengetahuan. Novelet ini secara spesifik membahas mengenai aspek ruang subjektivitas dan pengetahuan, di mana perumusan epistemology, edukasi, dan konsep diri melanggengkan nilai-nilai kolonialisme. Spesies Plyzmorynox diposisikan sebagai masyarakat adat yang mengalami genosida oleh empirialisme. Dampak dari genosida tersebut kemudian direproduksi melalui neokolonialisme industri kesehatan berbasis AI.Â
Hierarki paradigma Eropa sebagai penjajah dalam pengetahuan meletakkan bangsa barat sebagai subjek utama yang rasional. Sedangkan, manusia lainnya diperlakukan sebagai objek pengetahuan dari praktik dominasi. Artinya sumber pengetahuan yang dianggap valid hanyalah dari bangsa Barat. Sedangkan, keberadaan masyarakat jajahan hanya ada untuk dipelajari dan kemudian dieksploitasi. Pola pikir yang meletakkan bangsa lain sebagai objek pengetahuan memberi otoritas pada bangsa Barat untuk menghancurkan bahasa dan praktik budaya dari bangsa jajahan. Kerajaan Umunua berusaha untuk memahami The Fifth State yang terjadi pada tubuh spesies Plyzmorynox tanpa mendengarkan pengetahuan turun temurun dalam spesies itu sendiri. Ketidakpahaman Kerajaan Umunua tersebut membuat Plyzmorynox menjadi anomali yang tidak dapat dieksploitasi. Pemikiran tersebut menjadi justifikasi genosida yang dilakukan oleh Kerajaan Umunua.
Sistem AI yang Penuh Bias dalam Pembatasan Akses Kelompok Minoritas
Seperti dalam kisah Semau dan Tyxzna, epistemologi teknologi dan pengetahuan juga dipengaruhi oleh matriks kekuasaan kolonial. Matriks tersebut merumuskan teknologi oleh masyarakat jajahan sebagai primitif, tradisional, dan tidak rasional. Oleh karena itu, keberadaannya harus digantikan dengan sistem pengetahuan barat ala penjajah. Pada akhirnya, pengetahuan yang berkembang pada kelompok masyarakat jajahan pun hilang.Â
Pembungkaman narasi bangsa yang dijajah turut terjadi pada masyarakat modern melalui pondasi dasar cara kerja model generatif dalam Artificial Intelligence. Large Language Models (LLMs) seperti ChatGPT mendapatkan data untuk merumuskan keluaran mereka berdasarkan sumber naskah yang mereka pelajari. Sumber naskah tersebut diambil dari berbagai format media. Sayangnya, sumber tersebut terbatas secara geografis, kultural, dan linguistik karena datasets yang tersedia pun bersifat barat-sentris.Â