Walaupun memiliki cakupan wilayah yang luas, komunitas punk di Indonesia masih sangat didominasi oleh laki-laki. Dominasi laki-laki di dalam komunitas punk tersebut mengakibatkan budaya punk menjadi sangat maskulin. Perempuan yang tergabung dalam komunitas punk sering kali mengalami diskriminasi dalam kelompoknya sendiri. Keberadaan mereka sering kali diabaikan dan minat mereka pada punk direndahkan oleh anggota kelompok punk laki-laki (Nurchayani dan Audina, 2019:123). Minimnya ruang bagi perempuan dalam kelompok punk ini disebabkan oleh pengaruh pemikiran seksis dan patriarkis yang masih kuat dalam masyarakat. Akibatnya, perempuan yang terlibat dalam komunitas punk seringkali merasa teralienasi dari komunitasnya sendiri.
Tantangan bagi Perempuan Punk
Donaghey dalam penelitiannya yang berjudul "Punk and Feminism in Indonesia" (2021) menemukan bahwa nilai seksisme masih mengakar kuat dalam komunitas punk di Indonesia (2021:137). Di tempat berkumpul, perempuan diperlakukan sebagai pacar dari anggota laki-laki. Apabila perempuan tidak mengenal atau tidak menjadi pacar dari anggota punk laki-laki, mereka akan kesulitan untuk masuk dalam komunitas. Seksisme yang dalam komunitas punk juga mengarah pada objektifikasi dan pelecehan pada perempuan.
Kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan anggota komunitas punk seringkali terjadi pada saat pertunjukan, terutama dalam mosh pit (Donaghey, 2021:145). Pada saat melakukan mosh pit, kontak tubuh dengan peserta mosh pit lainnya tidak dapat dihindari dan justru diutamakan. Pelaku sering kali memanfaatkan sifat mosh pit yang tidak terkendali untuk melakukan kekerasan seksual pada perempuan. Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual sering merasa ragu untuk mengungkapkan kekerasan seksual yang mereka alami. Mereka khawatir akan dianggap lemah apabila tidak ingin disentuh di dalam mosh pit yang mana sentuhan tubuh tidak dapat dihindari (Fileborn, Wadds, dan Tomsen, 2020:8). Akibatnya, banyak perempuan anggota komunitas punk lebih memilih untuk tidak berpartisipasi dalam mosh pit.
Perempuan punk juga mengalami tekanan dari masyarakat. Masyarakat seringkali manghakimi perempuan punk karena dianggap tidak berperilaku sesuai dengan kodrat perempuan dan ekspektasi masyarakat akan feminimitas.(Donaghey, 2021:148). Sebagai seorang perempuan, masyarakat mengharapkan mereka untuk memiliki suami dan mengurus rumah tangga. Dengan menjadi bagian dari komunitas punk, perempuan menerima label kriminal dari masyarakat. Label kriminal tersebut didasari oleh pandangan masyarakat pada komunitas punk secara umum dan terhadap perempuan yang menyimpang dari ekspektasi gender.
Nilai Punk bagi Perempuan
Pelabelan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut membuat nilai-nilai yang ada dalam komunitas punk menjadi semakin penting bagi perempuan punk. Terdapat empat nilai yang berlaku secara umum dalam komunitas punk, yaitu do it yourself (DIY), subversi, kesadaran politik, dan komunitas (Way, 2021:112). Sayangnya, perempuan yang tergabung dalam komunitas punk tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjalankan nilai-nilai punk tersebut.
Nilai DIY dan komunitas menjadi penting di kalangan punk karena mereka harus memproduksi sendiri kebutuhan mereka dan saling membantu dalam komunitas. Pemikiran tersebut didasari oleh penolakan masyarakat terhadap komunitas punk. Karena merasa ditolak dan diasingkan oleh masyarakat, komunitas punk harus dapat bertahan hidup sendiri tanpa bergantung pada masyarakat umum (Millenia Et al, 2020:38). Nilai DIY itu berkaitan erat dengan nilai komunitas. Independensi yang dianut oleh komunitas punk bersifat kolektif, dalam arti mereka saling membantu di dalam komunitas punk (Way, 2021:118). Komunitas punk tidak memiliki kebergantungan pada masyarakat umum selama mereka mendapatkan dukungan dari dalam komunitas punk.
Akan tetapi, perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai DIY. Anggota laki-laki lah yang masih memegang kekuasaan untuk memproduksi musik dan budaya punk. Hal tersebut akhirnya juga membatasi kesempatan perempuan dalam menghasilkan musik punk. Perempuan punk juga tidak dapat mengakses nilai komunitas karena alienasi yang mereka alami. Dalam kesehariannya, mereka dikesampingkan dan tidak dianggap sebagai bagian dari komunitas seutuhnya. Perempuan dalam komunitas punk sering kali hanya dianggap sebagai aksesoris dari anggota laki-laki. Dukungan dari komunitas juga tidak didapatkan perempuan punk yang mengalami kekerasan seksual. Komunitas punk belum berhasil menciptakan ruang aman bagi perempuan punk.
Nilai subversi yang dipegang oleh komunitas punk diwujudkan dalam penolakan komunitas punk terhadap masyarakat yang dilihat sebagai sosok otoritas (Way, 2021:118). Komunitas punk melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang mempertahankan diskriminasi pada kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Oleh karena itu, komunitas punk memiliki semangat untuk merombak sistem masyarakat tersebut (Way, 2021:114). Akan tetapi dengan mempertahankan nilai patriarki dan seksisme dalam komunitas punk, mereka tetap menerapkan kekuasaan mereka terhadap perempuan. Mereka pun gagal mewujudkan nilai subversif dalam komunitas mereka sendiri. Ketidaksadaran anggota komunitas punk terhadap feminisme juga menunjukkan bahwa komunitas punk masih belum sepenuhnya memiliki kesadaran politik. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada anggota laki-laki, tetapi juga nggota perempuan (Donaghey, 2021:147). Masih banyak perempuan punk yang belum memiliki kesadaran gender dan cenderung menerima ekspektasi gender masyarakat.