Mohon tunggu...
Dara Permata Hati
Dara Permata Hati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Prodi Sastra Inggris Universitas Andalas

Suka menulis karya sastra, opini, ataupun review. Tertarik pada bidang kebahasaan/linguistik, kesenian, kecantikan, dan lain-lain.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Serajut Kisah di Kuranji Hulu: Kecemasan Berbuah Hikmah

4 Juli 2023   11:15 Diperbarui: 4 Juli 2023   11:22 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Note: Tulisan ini awalnya ditulis pada akhir tahun 2022 sebagai salah satu syarat untuk pengambilan nilai mata kuliah KKN

Saat saya masih menjadi mahasiswa tahun pertama atau freshman, saya tak pernah membayangkan bagaimana rasanya menjalani program KKN. Meskipun masih awam (tentu saja, saya ‘kan masih maba), namun saya tentu tahu bahwa KKN adalah mata kuliah wajib di Universitas Andalas yang mustahil untuk saya hindari. Melihat sistem pelaksanaan KKN yang dua tahun belakangan ini berubah-ubah karena pandemi, saya jadi tak punya gambaran sama sekali akan seperti apa pelaksanaan KKN di angkatan saya nanti. Selama itu, saya hanya bisa mengonsumsi perkataan orang tentang KKN. Ada yang bilang KKN itu menyenangkan karena bisa jadi ajang untuk mendapat teman-teman dan pengalaman baru. Ada juga yang mengatakan KKN itu bisa jadi awal dari terjadinya ‘musibah’ (karena konteksnya yang terlalu luas, saya akan kembalikan penafsiran kata ‘musibah’ ini kepada pembaca).

Saya juga sempat merasa cemas selama beberapa minggu sebelum KKN Angkatan 2019 dilaksanakan. Saya takut nanti sulit menjalin pertemanan, takut tak dapat berbaur dengan baik di masyarakat, dan takut mendapat lokasi KKN yang tidak mendukung. Namun, masalah pertemanan yang paling saya khawatirkan. Saya merasa kemampuan bersosialisasi saya cukup berkurang drastis setelah dua tahun berturut-turut melaksanakan kuliah secara daring. Saya, yang pada dasarnya lebih suka menyimak dan mendengarkan, merasa semakin sulit untuk memulai suatu percakapan. Saya takut tak bisa bersosialisasi dengan baik dengan teman-teman KKN saya nanti. Tapi sebisa mungkin saya tepis pemikiran itu. Apalagi setelah mendengarkan kata-kata Bapak DPL kami, Bapak Muhammad Imran Hamid, S.T., M.T., Ph.D., beliau mengatakan: “KKN itu dinikmati saja. Sesekali kalian bisa bersama-sama pergi refreshing dan jalan-jalan. Jangan dijadikan beban dan jangan diambil pusing.” Saya yang overthinker ini merasa lega setelah mendengar kalimat itu. Setidaknya, ada yang meyakinkan saya bahwa everything will be okay, as long as I do my best.

Kekhawatiran saya mengenai KKN sedikit demi sedikit berubah setelah KKN mulai dilaksanakan. Sebelum itu, saya rasa perlu untuk menceritakan sedikit tentang lokasi KKN dan situasi kelompok saya. Saya ditempatkan di Nagari Kuranji Hulu, Kecamatan Sungai Geringging, Kabupaten Padang Pariaman. Saya ditempatkan di sana bersama dengan 23 teman lainnya yang datang dari berbagai jurusan. Kelompok kami terdiri dari 7 orang laki-laki dan 17 orang perempuan. Kami berangkat dari Padang menggunakan beberapa kendaraan: 8 sepeda motor, 3 mobil pribadi, 1 mobil pick up. Saya dan teman-teman sekelompok saya disambut dengan baik oleh pihak nagari, meskipun kedatangan kami ditemani oleh hujan deras (sebagian teman-teman saya yang membawa sepeda motor sampai basah kuyup). Saya dan teman-teman dibawa ke rumah Bu Tim, salah satu staf di kantor nagari, yang terletak di Kampung Dadok, Korong Balai Kamih. Bu Tim punya dua rumah yang jaraknya berdekatan, hanya dipisahkan oleh satu rumah. Saya dan teman-teman perempuan saya tinggal di rumah Bu Tim bersama dengan Bu Tim dan adik perempuannya. Sementara itu, teman-teman saya yang laki-laki menghuni rumah yang satu lagi—rumah orang tua Bu Tim—yang juga kami jadikan posko. Sambutan dari Bu Tim sangat hangat, seperti ibu kandung sendiri. Selain itu, teman-teman baru saya juga menyenangkan meskipun masih terasa canggung. Saya jadi sadar bahwa overthinking saya sebelumnya hanyalah ketakutan-ketakutan tak berdasar.

Hari-hari pertama menjalani KKN memang tak mudah bagi saya dan teman-teman. Kami banyak mengalami keterbatasan akses dan mendapatkan fasilitas yang kurang memadai. Beberapa masalah utama kami adalah air, sinyal internet, akses ke pasar, dan tempat buang air. Air di tempat kami tinggal hanya hidup dua kali seminggu, sehingga kami harus mengungsi ke surau, rumah tetangga, dan sungai supaya bisa mandi. Selain itu, kamar mandi di tempat tinggal perempuan tidak bisa digunakan untuk buang air besar, sehingga kami harus mencari surau yang kamar mandinya memadai sebagai alternatif. Akses dari posko ke pasar juga lumayan jauh, menghabiskan waktu kurang lebih sekitar 20 menit. Hal ini sangat menyulitkan karena banyak kebutuhan kami yang harus dicari ke pasar, seperti tempat print dan photocopy. Akses internet yang lemah juga membuat kami—pada awalnya—kurang bersemangat menjalani KKN.

Walaupun banyak keterbatasan, kami tetap mendapatkan banyak hal positif saat tinggal di Nagari Kuranji Hulu. Salah satunya adalah disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat. Sekilas info, korong tempat kami tinggal sudah tiga kali berturut-turut dijadikan lokasi KKN (KKN Unand jadi yang ketiga), sehingga masyarakatnya sudah tak asing lagi dengan keberadaan mahasiswa KKN. Sambutan hangat ini kami rasakan sebab kami selalu dilibatkan dalam kegiatan masyarakat, seperti goro, pesta batagak rumah, tahlilan, wirid, acara PKK, aktivitas olahraga pemuda, dan lain sebagainya. Hal ini membuat kami merasa diterima sebagai bagian dari masyarakat. Interaksi kami dengan masyarakat juga baik. Saat berpapasan di jalan, kami selalu bertegur sapa dengan setiap warga yang kami temui. Bahkan, banyak warga yang dengan terang-terangan mengundang kami untuk mengunjungi rumahnya. Ada juga yang menawarkan kami untuk menggunakan fasilitas di rumahnya jika kami sedang merasa kesulitan. Hal ini membuat saya berlega hati ditempatkan di Nagari Kuranji Hulu. Bisa bertemu dan diterima oleh masyarakat di sana adalah salah satu anugerah yang patut saya dan teman-teman syukuri.

Dokpri
Dokpri

Meskipun interaksi dengan masyarakat lancar, bukan berarti kami tak mengalami hambatan ketika merancang dan melaksanakan proker untuk masyarakat. Sejatinya KKN adalah wadah bagi kami untuk mengaplikasikan ilmu yang kami dapat di kampus untuk mengabdi kepada masyarakat. Pengaplikasian ilmu ini dilaksanakan dalam bentuk program kerja atau proker. Namun, kami sempat stuck saat merancang proker kelompok. Awalnya, kami diarahkan untuk menjadi pelaksana proker yang sudah dirumuskan oleh nagari. Sayangnya, pihak Nagari Kuranji Hulu belum merumuskan proker karena aktivitasnya sempat terhenti akibat pandemi. Sebagai gantinya, pihak nagari mengembalikan hak untuk membuat proker kepada mahasiswa KKN. Kami sempat mengadakan audiensi dengan Sekretaris Nagari, Bapak Depit Suhendra, serta diskusi dengan wali-wali korong terkait program kerja yang akan kami laksanakan. Nagari Kuranji Hulu ini terdiri dari 8 korong, yaitu Korong Balai Kamih, Balekok, Kalawi, Kapalo Padang, Simpang Tanjung Alai, Tanjung Alai Barat, Tanjung Alai Timur, dan Batu Mangaum. Karena korong yang banyak ini, wali-wali korong menuntut kami untuk melibatkan tiap korong dalam proker KKN-PPM Kuranji Hulu Unand 2022. Setelah melewati banyak pertimbangan, kami menjadikan Pembuatan Plang Penunjuk Arah sebagai program kerja kelompok kami. Proker ini disambut baik oleh wali-wali korong karena dianggap bisa mengenalkan Nagari Kuranji Hulu yang luas kepada pengunjung yang datang. Selain itu, pelaksanaan proker ini juga bisa melibatkan banyak korong di Kuranji Hulu (Baca juga: Mahasiswa KKN Unand Buat Plang Penunjuk Arah di Nagari Kuranji Hulu).

Selain proker kelompok, kami juga diminta untuk membuat proker individu yang berkaitan dengan bidang ilmu masing-masing. Karena saya dari jurusan Sastra Inggris, saya memutuskan untuk menjadikan kegiatan “Pengenalan dan Pengajaran Bahasa Inggris kepada Siswa-siswi di Sekolah Dasar di Kuranji Hulu” sebagai proker saya. Salah satu pemantik dilaksanakannya proker ini adalah ketika saya mendengar tuturan dari Wali Korong Balekok, Pak Fauzi, yang meminta mahasiswa jurusan Bahasa Inggris untuk mengajar di sekolah-sekolah di Korong Balekok. Hal ini dikarenakan Korong Balekok yang—dari segi lokasi—lebih terisolir dibandingkan korong yang lain, sehingga akses pendidikan di sana juga tidak lebih baik dari sekolah di korong-korong lain. Setelah mengadakan survei ke sekolah di Balekok, saya juga kaget mendengar sekolah dasar di sana hanya memiliki kurang dari 40 siswa. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan sekolah dasar di Korong Kalawi yang bahkan sampai memiliki 200 siswa.

Dokpri
Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun