"Ilmu pengetahuan mampu memperpanjang hidup manusia. Tapi etika-lah yang menentukan apakah hidup itu layak dijalani."
Bioetika kini bukan hanya milik rumah sakit dan laboratorium riset. Ia telah merambah ruang-ruang kebijakan publik, ruang sidang, bahkan percakapan sehari-hari. Ketika seseorang memutuskan untuk menolak perawatan medis, ketika seorang ibu menjalani bayi tabung, atau ketika sebuah negara menolak teknologi rekayasa genetika karena alasan moral --- semua itu adalah cerminan dari bagaimana bioetika bekerja dalam kehidupan nyata.
Bioetika adalah cabang etika terapan yang fokus pada isu-isu moral yang muncul dalam bidang biologi, kedokteran, kesehatan, dan teknologi kehidupan. Tujuan utamanya adalah menjaga agar kemajuan sains tidak melampaui batas kemanusiaan.
Dari sekian banyak cabang etika, bioetika adalah yang paling dekat dengan tubuh dan kehidupan manusia. Karena itu, keputusan-keputusan dalam ranah ini seringkali membawa beban moral yang besar --- bahkan bisa menjadi persoalan hidup dan mati.
Bioetika bukan hanya soal teori. Ia hadir dalam bentuk keputusan nyata:
- Bolehkah melakukan aborsi dalam kasus kehamilan akibat perkosaan?
- Apakah pasien COVID-19 yang lanjut usia tetap harus diprioritaskan saat krisis ventilator?
- Apakah anak hasil kloning bisa memiliki hak hukum?
- Bolehkah seorang pasien terminal meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya secara legal?
Di negara-negara seperti Belanda, Belgia, dan Kanada, eutanasi (tindakan mengakhiri hidup pasien yang menderita sakit parah dan tak tersembuhkan) dilegalkan. Para pendukungnya menyebut ini sebagai penghormatan terhadap otonomi individu. Namun banyak pihak, terutama kelompok agama, menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap nilai kehidupan.
Indonesia sendiri menolak praktik eutanasi secara tegas, baik dari sudut hukum maupun agama. Namun kasus-kasus seperti pasien koma bertahun-tahun, penderita kanker stadium akhir yang kesakitan hebat, atau keluarga miskin yang tidak sanggup membiayai perawatan menjadi tantangan tersendiri.