Mohon tunggu...
Danri Agus Saragih
Danri Agus Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Social Antropology

Setiap Individu adalah bagian komunitas Budaya. Hargailah setiap Budaya yang ada, maka kamu sudah menghargai Manusia.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Cara Jitu Mengembangkan Pariwisata Danau Toba

9 Agustus 2020   00:13 Diperbarui: 9 Agustus 2020   00:30 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa yang tak kenal Danau Toba? Sebuah destinasi wisata dari Sumatera utara. Bukan hanya wisatawan lokal saja, tetapi wisatawan asing pun sudah banyak berkunjung ke Danau Toba. Danau Toba merupakan salah satu destinasi Wisata yang diprogramkan pemerintah menjadi Wisata Dunia. Keseriusan Pemerintah mengembangkan Danau Toba, tampak dari dibentuknya Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT).


Badan Pelaksana Otorita Danau Toba ditetapkan berdasarkan peraturan presiden No 49 tahun 2016. Sejak di tetapkan tahun 2016 sampai sekarang, masyarakat belum melihat perkembangan signifikan dalam Pariwisata Danau Toba.

Data Badan Pusat Statistik 2019, Kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2015, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Danau Toba hanya sebanyak 229.288 orang. Angka kunjungan wisatawan mancanegara mencapai titik tertinggi pada 2017, yakni 270.292 orang. Pada tahun 2018 angka kunjungan wisman ke Danau Toba justru turun 14% menjadi 231.465 orang.

Tentunya dalam pengembangan Wisata Danau Toba, menjadi wisata dunia seperti Bali masih memiliki banyak faktor penghambat. Sesuai dengan pengalaman Penulis, ada beberapa hal yang terpikirkan diantaranya adalah:

*Kearifan Lokal

Banyak kearifan lokal di daerah danau Toba, kearifan lokal tersebut berbeda makna dan nilai, karena di daerah pinggiran Danau Toba terdapat 7 kabupaten dengan budaya yang berbeda.

Penulis akan membahas salah satu hal sederhana, yaitu kearifan lokal dalam berpakaian. Mungkin bagi sebagian orang mendengar ini, hanya sekedar hal biasa saja. Tetapi lain halnya dengan fenomena di lapangan.

Perbedaan prilaku berpakaian masyarakat lokal, dengan wisatawan mancanegara akan menimbulkan pergesekan budaya. Hal tersebut menimbulkan resistensi atau penolakan di dalam masyarakat, atau bahkan pengusiran oleh masyarakat. Seperti dalam Penelitian Causey ( 2006 ) di Samosir dengan judul Danau Toba, menemukan penolakan masyarakat lokal terhadap wisatawan mancanegera kerena gaya berpakaian yang tidak sesuai dengan gaya berpakaian masyarakat setempat di daerah Danau Toba.

Permasalahan yang Sama juga di dapatkan penulis ketika melakukan penelitian terkait budaya pariwisata di daerah pinggiran Danau Toba di Simalungun. Masyarakat lokal sangat tidak menginkan adanya wisatawan, terutama wisatawan asing yang berpakaian "seksi". Masyarakat berpandanag hal tersebut tidak etis dilihat anak-anak dan orang tua.

*Pelepasan Lahan

Mengembangkan Danau Toba, tidak lepas dari eksistensi lahan/tanah masyarakat lokal. Masyarakat lokal di daerah Danau Toba, memiliki fungsi tanah bukan hanya dari nilai ekonomisnya saja, tetapi sebagai identitas. Di daerah Batak ada di kenal dengan istilah "Sipukkah huta", artinya adalah orang yang pertama kali mendiami suatu daerah. "Sipukkah huta" adalah seorang yang memiliki tanah yang luas, dan di wariskan kepada keturunannya sebagai eksistensi klen/marga mereka.

Begitu juga lahan yang sudah dimanfaatkan masyarakat lokal sejak belum mengenal surat menyurat, sebagain sudah diangao sebagai tanh ulayat/adat, yang dimana masyarakat bebas memfungsikan tanah tersebut sesuai aturan adat. Dari fungsi tanah tersebut bagi masyarakat di daerah Danau Toba, tak jarang terjadi resistensi/penolakan warga terhadap pelepasan tanah mereka. Apalagi identitas masyarakat Di daerah danau toba, yang dikenal dengan satu kesatuan yang sanga solid dan tidak merasa takut.


*Identitas sebagai Raja
Masyarakat Batak di daerah Danau Toba, terkhusus Batak Toba menganggap mereka adalah Raja. Salah satunya mungkin bisa kita dengar dari beberapa acara adat Batak Toba, tak jarang ada di sebut dengan ungkapan "Raja nami". Dari paradigma Raja yang melekat di kalangan Batak Toba, tak heran mereka tak suka di suruh-suruh oleh orang lain (pendatang). Bukankah tuan rumah dalam industri pariwisata harus memiliki mental pelayan, bukan mental Raja yang tidak suka melayani.


Ada beberapa hal solusi yang menurut penulis efektif untuk mengembangkan Pariwisata Danau Toba. Penulis sadar solusi yang akan dipaparkan, tidak menjadi solusi tunggal dari masalah yang terjadi.


*Masalah kearifan Lokal berpakaian. Sebelum wisatawan memasuki wilayah destinasi wisata, harus mengenakan pakaian sopan. Ketika wisatawan sudah datang dengan pakaian "seksi" yang tidak di kehendaki masyarakat setempat, dan mungkin tidak membawa pakian yang sopan untuk pengganti. Wisatawan bisa memakai ulos sebagai pakaian, untuk menutupi pakaian yang tidak di inginkan masyarat setempat. dan ulos tersebut bisa disediakan oleh masyarakat setempat, dengan upah menurut kerelaan hati wisatawan.

*Masalah pelepasan lahan, ini merupakan salah satu masalah yang sangat vital dalam perkembangan wisata Danau Toba. Pemerintah apabila ingin mengambil alih kepemilikan lahan, memberikan hak yang pasti untuk masyarakat yang lahannya diambil dengan mengijinkan bekerja di industri Pariwisata Danau Toba yang dibangun pemerintah. Mungkin jumlah pekerja dari tiap keluarga, bisa di sesuaikan dengan kebutuhan dan prosedur yang berlaku.

Memberikan pelatihan bagi masyarakat, dengan sebuah usaha (ukm), yang dimana pemasarannya dibantu pemerintah untuk kebutuhan industri wisata di Danatu Toba. Hak ini mungkin dibantu oleh seorang fasilitator yang disediakan oleh pemerintah.

Contohnya, sangat banyak Pakaian wisata yang pemiliknya bukan masyarakat yang tinggal di daerah wisata tersebut, dengan keuntungan yang sangat menjanjikan. Pemerintah mungkin memberikan fasilitas produksi membuat pakaian. Hal ini mungkin bisa berwujud seperti kerja sama pemerintah dan masyarakat setempat.

Dan pemerintah membuat kebjikan, hanya masyarakat lokal tersebut yang bisa mendistribusikan pakaian wisata di daerah wisata tersebut.

*Masalah identitas sebagai Raja, hal ini berkaitan dengan emosional masyarakat batak. Sedikit masyarakat Batak memiliki jiwa Pelayanan yang baik, mungkin hal tersebut wajar dengan latar belakang masyarakat batak yang bicara dengan lantang dan terus terang. 

Dari perjalan penulis di daerah pesisir Danau Toba, sebagian masyarakat memiliki jiwa yang ramah melayani pendatang. Hanya saja logat orang batak memang keras dan berbicara terkadang seperti ingin berkelahi, tetapi itu hanya logat biar mereka saja. Solusinya mungkin dengan melakukan pendekatan persuasif, dan pelatihan.  

Ini hanya sedikit masalah yang menurut pandangan penulis, dan masih banyak kendala penghambat perkembangan Danau Toba yang harus ditangani dengan serius.

Salam Danri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun