Begitu juga lahan yang sudah dimanfaatkan masyarakat lokal sejak belum mengenal surat menyurat, sebagain sudah diangao sebagai tanh ulayat/adat, yang dimana masyarakat bebas memfungsikan tanah tersebut sesuai aturan adat. Dari fungsi tanah tersebut bagi masyarakat di daerah Danau Toba, tak jarang terjadi resistensi/penolakan warga terhadap pelepasan tanah mereka. Apalagi identitas masyarakat Di daerah danau toba, yang dikenal dengan satu kesatuan yang sanga solid dan tidak merasa takut.
*Identitas sebagai Raja
Masyarakat Batak di daerah Danau Toba, terkhusus Batak Toba menganggap mereka adalah Raja. Salah satunya mungkin bisa kita dengar dari beberapa acara adat Batak Toba, tak jarang ada di sebut dengan ungkapan "Raja nami". Dari paradigma Raja yang melekat di kalangan Batak Toba, tak heran mereka tak suka di suruh-suruh oleh orang lain (pendatang). Bukankah tuan rumah dalam industri pariwisata harus memiliki mental pelayan, bukan mental Raja yang tidak suka melayani.
Ada beberapa hal solusi yang menurut penulis efektif untuk mengembangkan Pariwisata Danau Toba. Penulis sadar solusi yang akan dipaparkan, tidak menjadi solusi tunggal dari masalah yang terjadi.
*Masalah kearifan Lokal berpakaian. Sebelum wisatawan memasuki wilayah destinasi wisata, harus mengenakan pakaian sopan. Ketika wisatawan sudah datang dengan pakaian "seksi" yang tidak di kehendaki masyarakat setempat, dan mungkin tidak membawa pakian yang sopan untuk pengganti. Wisatawan bisa memakai ulos sebagai pakaian, untuk menutupi pakaian yang tidak di inginkan masyarat setempat. dan ulos tersebut bisa disediakan oleh masyarakat setempat, dengan upah menurut kerelaan hati wisatawan.
*Masalah pelepasan lahan, ini merupakan salah satu masalah yang sangat vital dalam perkembangan wisata Danau Toba. Pemerintah apabila ingin mengambil alih kepemilikan lahan, memberikan hak yang pasti untuk masyarakat yang lahannya diambil dengan mengijinkan bekerja di industri Pariwisata Danau Toba yang dibangun pemerintah. Mungkin jumlah pekerja dari tiap keluarga, bisa di sesuaikan dengan kebutuhan dan prosedur yang berlaku.
Memberikan pelatihan bagi masyarakat, dengan sebuah usaha (ukm), yang dimana pemasarannya dibantu pemerintah untuk kebutuhan industri wisata di Danatu Toba. Hak ini mungkin dibantu oleh seorang fasilitator yang disediakan oleh pemerintah.
Contohnya, sangat banyak Pakaian wisata yang pemiliknya bukan masyarakat yang tinggal di daerah wisata tersebut, dengan keuntungan yang sangat menjanjikan. Pemerintah mungkin memberikan fasilitas produksi membuat pakaian. Hal ini mungkin bisa berwujud seperti kerja sama pemerintah dan masyarakat setempat.
Dan pemerintah membuat kebjikan, hanya masyarakat lokal tersebut yang bisa mendistribusikan pakaian wisata di daerah wisata tersebut.
*Masalah identitas sebagai Raja, hal ini berkaitan dengan emosional masyarakat batak. Sedikit masyarakat Batak memiliki jiwa Pelayanan yang baik, mungkin hal tersebut wajar dengan latar belakang masyarakat batak yang bicara dengan lantang dan terus terang.Â
Dari perjalan penulis di daerah pesisir Danau Toba, sebagian masyarakat memiliki jiwa yang ramah melayani pendatang. Hanya saja logat orang batak memang keras dan berbicara terkadang seperti ingin berkelahi, tetapi itu hanya logat biar mereka saja. Solusinya mungkin dengan melakukan pendekatan persuasif, dan pelatihan. Â
Ini hanya sedikit masalah yang menurut pandangan penulis, dan masih banyak kendala penghambat perkembangan Danau Toba yang harus ditangani dengan serius.
Salam Danri