Mohon tunggu...
Muhamad Hamdani Syamra
Muhamad Hamdani Syamra Mohon Tunggu... -

mahasiswa, guru freelance, penulis dan pemilik Mata Pena Group

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Secarik Surat Untuk Presiden (Cerpen)

21 Agustus 2011   16:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:35 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hari ini panas matahari masih menyengat seperti biasanya, radiasi yang diberikan ke bumi tetap panas menggersangkan. Aku menyeka peluh yang keluar dari pori-pori kuliat dahiku dengan handuk putih-yang sudah tidak putih-milikku. Warnanya sudah bercampur dengan warna kecokelatan yang berasal dari kotoran yang menempel diwajahku. Aku melangkah keluar dari bangunan yang sudah setengah rubuh. Tidak hanya aku, tetapi ada beberapa temanku yang lainnya yang keluar dari tempat yang kusebut sebagai sekolah. Di sana aku memulai setiap aktifitasku di pagi hari, belajar dan menuntut ilmu dari seorang guru-hanya seorang-yang mengajarkanku cara membaca dan berhitung. Aku menatap ke arah sekolahku, terlihat puing-puing berserakan dimana-mana. Kayu-kayu yang patah, atap yang hancur, serta dinding bangunan sekolah yang tidak lagi berdiri tegak. Dari tempatku memandang, aku meringis dan melirih. Pandangan yang tersaji dikedua bola mataku membuat indera penglihatanku memanas. Ada perih yang merasuk dan perlahan air mata mengalir keluar melalui celah pinggir mata. Hampir setahun yang lalu bencana alam angin puting beliung memporak porandakan desaku, dan hampir semua bangunan disana mengalami kerusakan yang cukup parah. Termasuk sekolahku. Menurut salah satu surat kabar yang kubaca beberapa hari setelah bencana alam ini. Hampir 80% bangunan di desaku mengalami kerusakan yang cukup parah dan sisanya mengalami kerusakan yang 'lebih ringan'. Saat membaca surat kabar itu hatiku meringis. Tanpa sadar aku meremukkan hingga keriting. Lalu saat itu juga aku mengeluarkan secarik kertas dari dalam tas lusuh milikku dan mengguratkan tinta yang keluar dari pena yang selalu ada di dalam tasku ini. Kepada Bapak Presiden yang Terhormat, Perkenalkan, nama saya adalah Sulastri. Saya pelajar dan berumur 14 tahun. Maksud saya menuliskan surat ini hanya untuk meminta perhatian Bapak Presiden yang Terhormat. Saya berharap Bapak melihat kondisi desa saya yang hancur diporak-porandakan oleh angin. Semua hancur, termasuk sekolah tempat saya belajar. Yang saya inginkan sebagai anak bangsa hanya satu, sekolah tempat saya belajar. Tempat saya menimba ilmu dan tempat saya merajut impian serta harapan. Terima Kasih, Sulastri Saat itu langsung kulipat surat kecil itu untuk kukirimkan kepada Tuan Nomor 1 di negeri ini. Kumasukkan secarik kertas kecil itu kedalam amplop yang sudah kutulisi alamat pengirimannya ; Jalan Veteran no 16. Berharap Bapak Presiden yang kuhormati membaca surat yang kukirimkan dan sekolahku kembali pulih seperti sedia kala. Sudah hampir setahun berlalu. Sekolahku masih sama seperti dulu. Tetap dengan dinding yang tidak tegak berdiri dan atap yang hancur. Tidak ada yang berubah sejak setahun yang lalu. Pemerintah Daerah setempat pun tidak kunjung datang dan memberikan bantuan. Kami sendirian disini. Apakah kami masih di anggap sebagai bagian dari bangsa ini? Jika iya, kemana tuan-tuan terhormat itu disaat kami membutuhkan mereka? teriakku dalam hati. Air mataku kembali mengalir dari celah mataku. Tanganku kembali mengeras dan menggenggam keras kertas berita yang saat ini ku genggam. Emosi dalam diriku kembali bergejolak saat kubaca surat kabar pagi ini. Tuan nomor 1 di negeri ini tidak membalas surat yang kukirimkan sejak satu tahun yang lalu, namun dia membaca surat yang dikirimkan oleh Sang Terpidana dan bahkan dia membalas surat tersebut. Aku cemburu. Apakah terpidana itu lebih penting dariku? Lebih penting dari masa depan anak bangsa seperti diriku? Apakah membalas surat dari terpidana itu lebih berharga daripada membalas secarik surat dari salah satu anak bangsa yang meminta hak kami sebagai bagian bangsa ini ; Kemerdekaan untuk meraih pendidikan. Sebagai anak bangsa, aku merasa malu dan jijik dengan orang-orang yang berkuasa atas negeriku ini. Mereka lebih peduli kepada terpidana dan mengurusi mereka. Namun untuk kami? Anak bangsa dari desa terpencil? Mungkin masa depan kami tidaklah lebih penting dari semua intrik dan permainan kotor 'golongan elit' disana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun