Mohon tunggu...
Muhamad Hamdani Syamra
Muhamad Hamdani Syamra Mohon Tunggu... -

mahasiswa, guru freelance, penulis dan pemilik Mata Pena Group

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Celoteh Anak Negeri (4): Pilih Siapa? Tegas atau Lugas?

25 Agustus 2011   15:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:28 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku terduduk di sebuah beranda kampus. Dari tempatku duduk aku melihat sebuah kerumunan mahasiswa yang berkumpul mengelilingi seorang orator. Orator itu dengan semangat berkhotbah panjang lebar tentang visi dan misi yang akan ditawarkan kepada para mahasiswa jika partainya memenangkan persaingan. Ya, sebentar lagi pemilihan ulang Ketua Mahasiswa Universitas akan digelar. Berbagai parade promosi dan pencitraan kader mulai mewarnai hari-hari di kampus. Hampir setiap hari berbagai orasi yang memekakkan telinga terdengar di pelataran, parkiran maupun ruang-ruang terbuka lainnya di kampus. Aku masih terduduk di beranda kampus. Tanganku menggenggam sebuah surat kabar. Ku baca dan kubalik setiap lembar demi lembar halaman surat kabar itu. Sesaat aku membaca artikel-artikel berita yang ada di kolom politik. Kubaca cepat dan mencerna setiap informasi yang tertera disana. Cukup. Itu kata-kata pertama yang keluar dari mulutku sesaat setelah aku selesai melahap informasi yang ada. Cukup. Hentikan semua pencitraan yang ada. Sudah saatnya kita beranjak, doing something. Cukup dan hentikan budaya NATO (Not Action Talk Only) yang selama ini membudaya dan mengakar kuat dalam diri orang-orang di negeri ini. Termasuk para petinggi dan calon penguasa. Entah penguasa negeri ini ataupun penguasa di kampus. Perhatianku kembali ke arah kerumunan mahasiswa yang sedang berkampanye. Tetiba suasana yang tadinya ramai dan riuh, menjadi tenang dan sunyi saat seorang mahasiswa berpakaian rapi dengan pembawaan tenang hadir ditengah kerumunan. Mahasiswa berpakaian rapi itu adalah Ketua Mahasiswa periode saat ini dan salah satu salah satu calon Ketua Mahasiswa Universitas periode berikutnya. Ya, benar. Dia mencoba untuk mencalonkan diri kembali. Dengan pembawaan yang santun dan lemah lembut, mahasiswa berpakaian rapi itu menyampaikan visi dan misinya jika kembali terpilih sebagai ketua mahasiswa universitas periode berikutnya. Suaranya terdengar lugas dan menenangkan, para mahasiswa pendukungnya mendengarkan setiap celotehan hangat yang dikeluarkan mahasiswa berpakaian rapi itu. Aku jengah melihat pemandangan itu. Aku jengah dengan sikap mahasiswa berpakaian rapi itu yang notabene adalah ketua mahasiswa universitas periode ini. Sikapnya beberapa waktu lalu membuatku hilang simpati dengannya. Saat salah satu stafnya diketahui memalsukan anggaran, mahasiswa berpakaian rapi itu hanya berkata ; "akan segera diusut" , "jika terbukti salah, maka akan dihukum" , "saya berharap segera ada penyelesaiannya" dan lain-lain. Tapi nyatanya, hingga saat ini penyelesaian masalah itu tidak diketahui rimbanya. Segera aku beranjak dari tempatku mendudukkan diri kemudian hijrah ke bagian belakang kampus. Lalu aku duduk di bawah sebuah pohon yang menaungiku dari penasnya sengatan mentari. Lalu kubuka kembali surat kabar yang kupegang dan membaca artikel berita kolom lain selain politik. Cukup sudah dengan politik. "Dan, sendirian aja?" tegur seseorang yang berdiri dihadapanku yang sedang menekuri bacaanku. Aku mendongak untuk melihat siapa yang sudah memanggilku. Kuturunkan surat kabar yang kubaca, ternyata seorang lelaki berkacamata yang kukenal sebagai ketua mahasiswa jurusan di sebuah jurusan yang berbeda denganku. "Eh, Wan. Lagi iseng aja nih. Abis sumpek gua ngeliat kampanye di depan," ucapku kepada Wawan. "Lo sendiri ngapain disini? Ga ikut kampanye? Pemilihan kan sebentar lagi," lanjutku kepada Wawan yang juga salah satu calon ketua mahasiswa universitas periode berikutnya. "Kampanye nanti aja, pas udah waktunya," ucap Wawan tenang. Aku melipat surat kabarku. "Ga takut kalah di pemilihan nanti?" tanyaku kepada mahasiswa yang terkenal dengan ketegasannya itu. Namanya cukup populer di kalangan mahasiswa lainnya karena ketegasan sikapnya. Salah satunya adalah keputusannya untuk mencopot wakilnya yang melakukan korupsi. Padahal stafnya yang melakukan korupsi itu adalah sahabatnya sejak sekolah menengah pertama, tetapi da tidak ragu untuk mengeluarkan sahabatnya itu dari jajaran kepengurusannya. Wawan tersenyum seraya membenarkan letak kacamatanya. "Pengennya sih terpilih, Dan. Tapi kalau pun terpilih, gua maunya gua terpilih karena temen-temen mahasiswa lainnya mengakui kualitas yang gua miliki. Bukan karena janji dan iming-iming harapan yang ga belum tentu bisa gua penuhi." Tidak lama kemudian terdengar dering suara ponsel yang berasal dari ponsel milik Wawan. "Dan, gua cabut duluan yah," ucap Wawan setelah menerima panggilan masuk di ponselnya. Aku mengangguk kecil kepada Wawan dan melambaikan kecil ke arahnya. Aku memandang ke arah lelaki berkacamata itu sampai dia berbelok dan menghilang. Pikiranku bermain-main dengan terkaan. Menerka siapa yang akan terpilih nantinya. Si Tegas apa Si Lugas? *cerita ini merupakan fiksi analogi sebuah situasi yang terjadi di masyarakat*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun