Sehingga bermain secara langsung terasa lebih menyenangkan. Di lingkungan penulis sendiri, sudah jarang terlihat anak-anak yang bermain kelereng, membawa bola, atau membawa layangan. Karena kurangnya lahan, dan kondisi pandemi, maka gawai adalah pelarian, sehingga tercipta lah satu kebiasaan yang menimbulkan rasa candu.
Mungkin efek yang ditimbulkan candu akan gawai sama dengan candu akan opium saat ini. Ketika kuota internet habis, apalagi gawai tersebut rusak, biasanya dunia seakan-akan mati. Candu tersebut harus segera diatasi. Kondisi pandemi, yang mengharuskan berlajar dari rumah menuntut anak-anak lebih dekat dengan gawai.
Selain itu, faktor perkembangan zaman, perkembangan teknologi, dan perubahan lingkungan membuat permainan tradisional mulai menghilang. Khusus di daerah penulis, lapang-lapang yang dulunya tempat penulis bermain ria main bola kini berubah menjadi pabrik, kontrakan, tidak ada lagi lahan kosong tempat anak-anak bermain.Â
Sehingga pelarian anak-anak pada saat ini apalagi jika bukan gawai. Anak sejatinya masih dalam pengawasan orangtua, untuk mengatasi rasa candu tersebut, hendak orangtua membatasi anak berinteraksi dengan gawai. Berikan gawai seperlunya saja, seperti saat belajar daring, di luar itu biarkanlah anak berkembang dengan dunianya sendiri tanpa terpaku pada gawai.
Selain itu, alternatif lain yang mungkin bisa dicoba adalah menciptakan kebiasaan baru. Candu tercipta karena kebiasaan dan terlalu sering bersentuhan dengan gawai. Ketika anak-anak ingin memenuhi hasratnya akan gawai di luar daring, maka alihkan hasrat tersebut ke arah yang lebih positif.
Entah itu membaca atau bermain dengan teman sebayanya. Jika itu dilakukan berulang-ulang, maka kebiasaan baru akan tercipta dan rasa candu akan gawai mungkin bisa diatasi. Gawai memang lah benda mati, tetapi kita harus bijak menggunakannya, jangan sampai karena gawai sisi negatifnya saja yang dipetik.
Anak-anak tentunya belum paham akan hal itu, untuk itu peran orangtua, dan lingkungan keluarga penting untuk memberikan edukasi yang nyata. Jangan sampai gawai yang tadinya benda mati justru menjadikan dirinya sebagai tuan, dan manusia sebagai budak. Seharusnya manusia yang mengendalikan gawai, bukan manusia yang dikendalikan oleh gawai.