Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Gawai adalah Candu

22 Maret 2021   12:58 Diperbarui: 22 Maret 2021   13:49 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak kecanduan gawai. Via detik.com

Pandemi covid-19 telah membawa perubahan fundamental bagi masyarakat saat ini. Pandemi memaksa masyarakat untuk tidak beraktifitas di luar, belajar di rumah, bekerja di rumah, beribadah di rumah,  memaksa masyarakat untuk lebih akrab lagi dengan tekonologi, terutama gawai.

Untuk saat ini, manusia dan teknologi (gawai) seakan menjadi satu kesatuan yang utuh, tidak terpisahkan. Bisa dibayangkan bagaimana manusia saat ini hidup tanpa gawai? Mungkin untuk para generasi lama tidak akan masalah dengan ini, tetapi untuk generasi sekarang, hal itu sangat membuat penderitaan.

Posisi gawai kini sudah berubah, kedudukannya bukan lagi sebagai kebutuhan sekunder, apalagi kebutuhan tersier, kini gawai sudah menjadi kebutuhan primer, dan diikuti oleh kebutuhan primer lain seperti kuota internet. Salah satu faktor tersebut jelas karena efek dari pandemi.

Di masa pandemi sekarang ini, masyarakat kini menjadi akrab dengan gawai, dunia seakan-akan ada di dalam gawai. Belanja, hingga belajar kini mengandalkan gawai sehinga tidak heran gawai kini berubah kedudukannya menjadi kebutuhan pokok.

Judul artikel ini terinspiriasi dari potongan tulisan Karl Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu. Bagi Marx, "agama adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah opium (candu) bagi masyarakat".

Opium hanyalah metafora, di zaman Marx, opium konotasinya tidak selalu negatif, berbeda konotoasinya dengan sekarang yang mengandung arti  negatif. Masyarakat yang tertindas akibat kesenjangan, bisanya akan lari kepada agama, bagi Marx agama akan memberikan kebahagiaan ilusi, dan membuat masyarakat menjadi candu akan hal itu.

Jadi efek dari agama itulah mengapa Marx menggunakan kata opium atau candu. Orang akan kehilangan semangatnya untuk bangkit, tidak bekerja keras, dan pasrah kepada agama. Lalu apa persamaannya dengan gawai, apakah gawai bisa membuat seseorang menjadi candu? Jawabannya adalah iya.

Dihimpun dari detik.com, kasus adiksi kecanduan gawai kalangan anak-anak di Jawa Barat cukup memprihatinkan. Akhir Februari lalu, siswa SMP kelas 1 asal Subang meninggal dunia diduga penyebabnya adalah karena kecanduan game online.Korban meninggal asal Subang tersebut mengalami gangguan syaraf.

Sementara itu, jumlah pasien anak yang kecanduan gawai di RS Cisarua Bandung meningkat. Berdasarkan catatan dari RSJ Cisarua, Jawa Barat, pada bulan Januari hingga Februari 2021 ada 14 anak alami kecanduan gawai yang menjalani rawat jalan. Sementara pada tahun 2020 rentang bulan Januari sampai Desember total ada 98 anak yang menjalani rawat jalan gegara kecanduan gawai.

Maka konotasi dari candu di sini sekarang berubah ke arah negatif, bagaimana tidak, jika sudah mengakibatkan meninggal dunia, maka ini adalah efek samping dari candu akan gawai. Mungkin gawai pada saat ini adalah ruang, tempat berkeluh kesah masyarakat yang dipaksa dikurung karena pandemi.

Gawai adalah pelampiasan dari kegabutan yang hakiki karena pandemi. Setiap hari khususnya para siswa pasti memegang gawai, karena belajar  daring. Karena sistem belajar yang monoton, membosankan, maka kebanyakan siswa melampiaskan kegabutan hakiki tersebut ke dalam game online.

Ilustrasi anak bermain game online. Sumber: Okezone.com
Ilustrasi anak bermain game online. Sumber: Okezone.com
Game online seakan-akan menjadi obat alias opium bagi kegabutan hakiki tadi. Game online bisa memberikan kebahagian virtual bagi para penikmatnya, sehingga mereka lupa bahwa ada dunia yang lebih indah dibandingkan dengan game online. Penulis merasa beruntung, yang ketika kecil tidak mengenal apa itu gawai.

Sehingga bermain secara langsung terasa lebih menyenangkan. Di lingkungan penulis sendiri, sudah jarang terlihat anak-anak yang bermain kelereng, membawa bola, atau membawa layangan. Karena kurangnya lahan, dan kondisi pandemi, maka gawai adalah pelarian, sehingga tercipta lah satu kebiasaan yang menimbulkan rasa candu.

Mungkin efek yang ditimbulkan candu akan gawai sama dengan candu akan opium saat ini. Ketika kuota internet habis, apalagi gawai tersebut rusak, biasanya dunia seakan-akan mati. Candu tersebut harus segera diatasi. Kondisi pandemi, yang mengharuskan berlajar dari rumah menuntut anak-anak lebih dekat dengan gawai.

Selain itu, faktor perkembangan zaman, perkembangan teknologi, dan perubahan lingkungan membuat permainan tradisional mulai menghilang. Khusus di daerah penulis, lapang-lapang yang dulunya tempat penulis bermain ria main bola kini berubah menjadi pabrik, kontrakan, tidak ada lagi lahan kosong tempat anak-anak bermain. 

Sehingga pelarian anak-anak pada saat ini apalagi jika bukan gawai. Anak sejatinya masih dalam pengawasan orangtua, untuk mengatasi rasa candu tersebut, hendak orangtua membatasi anak berinteraksi dengan gawai. Berikan gawai seperlunya saja, seperti saat belajar daring, di luar itu biarkanlah anak berkembang dengan dunianya sendiri tanpa terpaku pada gawai.

Selain itu, alternatif lain yang mungkin bisa dicoba adalah menciptakan kebiasaan baru. Candu tercipta karena kebiasaan dan terlalu sering bersentuhan dengan gawai. Ketika anak-anak ingin memenuhi hasratnya akan gawai di luar daring, maka alihkan hasrat tersebut ke arah yang lebih positif.

Entah itu membaca atau bermain dengan teman sebayanya. Jika itu dilakukan berulang-ulang, maka kebiasaan baru akan tercipta dan rasa candu akan gawai mungkin bisa diatasi. Gawai memang lah benda mati, tetapi kita harus bijak menggunakannya, jangan sampai karena gawai sisi negatifnya saja yang dipetik.

Anak-anak tentunya belum paham akan hal itu, untuk itu peran orangtua, dan lingkungan keluarga penting untuk memberikan edukasi yang nyata. Jangan sampai gawai yang tadinya benda mati justru menjadikan dirinya sebagai tuan, dan manusia sebagai budak. Seharusnya manusia yang mengendalikan gawai, bukan manusia yang dikendalikan oleh gawai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun