Hari ini, 18 Agustus 2025, di tengah suasana peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, saya memilih memanfaatkan cuti bersama dengan berolahraga ringan di halaman kantor.
Ketika langkah saya menyusuri halaman, pandangan saya tertuju pada dua pohon besar: kapuk randu yang sedang melepaskan serabut putihnya.Â
Pemandangan sederhana itu seketika menghadirkan memori dan pertanyaan besar dalam benak saya: mengapa kapuk randu yang dulu begitu berjaya kini seolah menghilang dari peradaban kita?
Masa Keemasan Kapuk Randu
Indonesia pernah tercatat sebagai penghasil kapuk terbesar di dunia, menguasai hampir 80 persen pasar global, di mana 60 persen di antaranya berasal dari Pulau Jawa. Serat kapuk Nusantara kala itu menjadi rebutan pabrik tekstil di Eropa dan Amerika.
Keunggulan kapuk terletak pada sifatnya yang unik: ringan, tahan air, dan lentur. Ia digunakan sebagai bahan pengisi pakaian hangat, kasur, bantal, hingga pelampung penyelamat. Di dalam negeri, kapuk randu bahkan menjadi tumpuan ekonomi pedesaan.
Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menjadikan kapuk sebagai lambang daerah. Produksi mereka pernah mencapai 25 ribu ton per tahun, atau hampir 30 persen dari produksi kapuk se-Jawa Timur. Di Bali, serat kapuk dari Nusa Penida digunakan dalam pembuatan kain tenun gringsing, sebuah warisan tekstil Nusantara yang sangat bernilai.
Dengan kata lain, kapuk bukan hanya komoditas dagang. Ia menyatu dengan budaya agraris, tradisi, dan keseharian masyarakat Nusantara.
Kemerosotan Kapuk Nusantara