MARTUNIS, PEMBUKA LEMBARAN BARU ACEH-PORTUGAL
Oleh Teuku Rahmad Danil Cotseurani
           Siapa yang tidak kenal Martunis, Bocah yang terombang ambing selama 19 hari di lautan lepas pasca musibah gempa dan Tsunami Aceh 2004. Adalah para pelaut Inggris yang pertama sekali menemukan Martunis kecil dengan masih memakai baju atau kaos sepak bola tim nasional Portugal Cristiano Ronaldo.        Â
           Minggu pagi, 26 Desember 2004, Martunis berencana bermain sepak bola bersama teman-temannya di lapangan sepak bola kampung. Ia bahkan sudah memakai kostum nasional Portugal bajakan yang ia beli di kota Banda Aceh. Tiba-tiba datang gelombang tsunami. Martunis yang saat itu baru duduk di kelas III Sekolah Dasar bersama ibunya, Salwa, kakak laki-laki, Nurul A'la (12 tahun), dan adiknya, Annisa (2 tahun), berupaya menyelamatkan diri dengan menumpang pick up tetangganya. Pada saat itu, bapaknya sedang bekerja di tambak
Saat digulung ombak tsunami, pick up pun tenggelam. Martunis, ibu, dan dua saudaranya tenggelam bersama mobil yang ditumpangi. Lalu, entah bagaimana ceritanya, ia terbawa gelombang dan muncul ke permukaan air. Sebelum terpisah dengan kakak, adik serta ibunya, Martunis sempat menarik lengan adiknya yang minta tolong, namun tangan mungilnya kalah oleh arus tsunami. Ibu, kakak dan adiknya pun hilang terseret arus tsunami, sehingga berpisah selamanya. Martunis selamat setelah meraih sepotong kayu, lalu terapung-apung. Kemudian ia berpindah ke kasur yang melintas di dekatnya, tapi nahas, kasur itupun tenggelam. Lalu ia memanjat sebatang pohon untuk bertahan hidup. Ia selamat setelah terseret arus tsunami yang kembali lagi ke laut dan terdampar di kawasan rawa-rawa dekat makam Teungku Syiah Kuala. Setelah 21 hari bertahan, penduduk menemukan Martunis pada 15 Januari 2005. Warga menyerahkan dia kepada awak televisi Inggris yang kebetulan meliput di wilayah itu. Dalam sekejap gambar Martunis yang masih mengenakan kaus timnas Portugal, beredar di stasiun televisi Eropa.
Bocah kurus berkulit hitam itupun menarik simpati bintang top sepak bola Portugal seperti Luis Figo, Nuno Gomes, Cristiano Ronaldo, pelatih Luiz Felipe Scolari saat itu, serta Gilberto Madail, ketua Federasi Sepak Bola Portugal. Akhirnya Federasi Sepak Bola Portugal mengundang secara resmi Martunis ke negaranya.
Pada Juni 2005, didampingi ayahnya, Sarbini, dan Teuku Taharuddin, dokter yang mendampinginya, ia berkunjung ke negara Portugal dan mendapatkan hibah uang 40 ribu Euro atau lebih dari 500 juta rupiah. Selain diundang ke Portugal, tahun 2006 lalu penyanyi Madonna juga mengundang Martunis dan Sarbini ke London, tempat tinggal Madonna bersama keluarganya. Mereka berdua diajak berkeliling tempat rekreasi terkenal serta kota-kota di Inggris.
Mungkin Martunis tak pernah menyangka. Di usianya yang menginjak 16 tahun tempo hari ia kembali bertemu bintang Real Madrid, Cristiano Ronaldo. Dulu, Martunis berjumpa Ronaldo pada 2005. Kala itu, Ronaldo masih berseragam Manchester United. Usia Martunis pun sekitar 8 tahun. Di Tanjung Benoa, Bali, pada 25 Juni 2013 Martunis kembali bertemu idolanya itu. Ronaldo datang ke Bali sebagai Duta Mangrove. Di Bali, Ronaldo diterima langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ibu Ani di Tanjung Benoa, Nusa Dua, Bali.
Adalah Cristiano Ronaldo yang mengangkat Martunis menjadi anak angkatnya sejak pertemuan mereka yang pertama sekali pada pasca tsunami Aceh, dan pertemuan kedua di Bali saat Cristiano Ronaldo menjadi duta mangrove, kini di usia Martunis yang ke delapan belas tahun kembali Martunis diundang ke Portugal. Selang beberapa jam berada di negri Portugis, Martunis bergabung dengan akadami salah satu klub besar Portugal tersebut cukup mengejutkan. Sebab, dia awalnya hanya terbang ke Portugal setelah diundangan oleh Cristiano Ronaldo. Bergabungnya pemain berusia 17 tahun itu ternyata juga diumumkan secara resmi oleh klub pada Rabu (1/7/2015), malam. Semoga Martunis bisa mengikuti jejak ayah angkatnya dalam karir sepak bola.
Â
Aceh-Portugis
           Di masa lalu Kerajaan Aceh punya hubungan sejarah dengan Portugal saat itu bernama Portugis, terutama masalah perdagangan hingga pecahnya perang dikawasan Selat Malaka. Selat Melaka merupakan jalur perniagaan yang ramai yang banyak dilalui kapal dagang dari berbagai negeri di Asia. Negeri-negeri yang ada di sepanjang perairan Selat Melaka, silih berganti menempati kedudukan sebagai bandar/pelabuhan yang disinggahi oleh banyak kapal yang lewat di sana untuk mengambil perbekalan dan sekaligus dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berniaga dan kepentingan-kepentingan lainnya. Salah satu negeri yang terkenal di kawasan itu ialah Melaka. Sudah semenjak awal abad ke-15 Melaka dijadikan sebagai sentral perdagangan oleh para pedagang yang berasal dari berbagai negeri, baik dari barat (Timur Tengah dan India), maupun dari negeri Cina di Timur dan negeri-negeri di Asia Tenggara. Selain itu, Melaka juga dijadikan pusat penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh pedagang muslim yang berasal dari negeri-negeri Timur Tengah, India, dan negeri-negeri Asia Tenggara yang penduduknya telah memeluk agama Islam. Karena fungsi dan kedudukannya itu, maka negeri Melaka pada waktu itu dapat disebut sebagai pemimpin dalam kemaraan Islam di kawasan Selat Melaka. Hal ini dapat dicapai melalui perniagaan dan juga karena terdapat perkawinan-perkawinan di antara keluarga sesama penguasa kerajaan-kerajaan di wilayah itu. Situasi keharmonisan dan ketentraman hubungan perniagaan yang terdapat pada negeri-negeri di kawasan Selat Melaka, berlangsung sepanjang abad ke-15 M. Situasi yang demikian baru terusik ketika datangnya bangsa barat (Portugis) pertama kali ke wilayah itu.
Orang-orang Portugis muncul pertama kali di Asia Tenggara pada awal abad ke-16 Masehi; tepatnya pada tahun 1509.8 Maksud dan tujuan kedatangan mereka yang utama adalah untuk memerangi orang-orang Islam yang dalam istilah mereka disebut dengan orang Moor, sebagai lanjutan dari Perang Salib (Perang antara orang Kristen dan orang Islam). Portugis semua orang Islam adalah orang Moor dan musuh mereka.9 Selain itu, Portugis juga bermaksud meng-hancurkan perdagangan saudagar-saudagar Islam dimanapun berada sehingga mereka dapat memegang kendali dalam perdagangan, khususnya di kawasan Asia Tenggara yang terkenal memiliki berbagai komoditi yang sangat diperlukan di pasaran Eropah.
Untuk maksud tersebut sejak awal kedatangannya Portugis berusaha menguasai jalur perdagangan Selat Melaka dan merebut kota Melaka yang sangat strategis dari orang-orang Islam. Pada tahun 1511 Portugis melancarkan suatu serangan hebat ke atas kota Melaka dan mereka berhasil menguasainya. Dengan didudukinya Melaka berakibat timbulnya kegoncangan dalam jaringan perdagangan di kawasan Selat Melaka, khususnya di kalangan pedagang-pedagang Islam. Lebih-lebih karena Portugis tidak senang berhubungan dagang dengan para pedagang Islam. Mereka lebih menyukai berdagang dengan pedagang-pedagang yang bukan beragama Islam. Akibatnya, para pedagang Islam terpaksa menyingkir dari Melaka. Mereka terpaksa mencari tempat-tempat lain yang dianggap cocok sebagai pangkalan dagangnya di kawasan Selat Melaka. Tempat-tempat yang dituju antara lain Johor di semenanjung Tanah Melayu dan Aceh di ujung bagian utara Pulau Sumatra. Kemudian dalam perkembangannya kedua tempat ini muncul dan berkembang menjadi bandar perdagangan baru bagi saudagar-saudagar Islam dan dijadikan tumpuan mereka sebagai pengganti Melaka yang telah dikuasai oleh Portugis.
Setelah Melaka dikuasai Potugis keluarga Sultan Melaka hijrah ke negeri Johor dan melanjutkan kesinambungan Kesultanan Melaka di tempat yang baru ini. Oleh karena itu, negeri Johor dianggap sebagai pengganti Kesultanan Melaka,13 sehingga paling beralasan untuk memusuhi Portugis dan berupaya untuk mengusirnya kembali dari Melaka. Untuk itu, berulangkali Johor melancarkan serangan terhadap kedudukan Portugis di Melaka. Hal ini dilakukannya mulai tahun 1515, tahun 1516, 1519, 1524 dan dilanjutkan pada tahun 1533.
Dan pada tahun 1551 angkatan perang Johor dengan dibantu oleh negeri Perak, Pahang, dan Jawa Jepara melancarkan suatu serangan secara besar-besaran untuk merampas kembali Melaka dari tangan Portugis. Namun semua penyerangan yang dilakukan mengalami kegagalan sehingga Portugis tetap bercokol di Melaka. Baru pada tahun 1641 ketika pihak lain, yaitu Belanda menyerang Melaka untuk merebutnya dari tangan Portugis di mana Johor ikut memberi bantuan kepada Belanda, berhasil mengalahkan Portugis. Sebaliknya, dalam upaya menghapus keturunan Sultan Melaka yang sudah pindah ke negeri Johor, pihak Portugis juga melancarkan serangan ke Johor. Penyerangan terhadap Johor juga berulangkali dilakukan Portugis, yaitu tahun 1524, tahun 1526, 1535, 1576 dan tahun 1587. Meskipun Portugis bermusuhan dengan Johor dan berulangkali terlibat peperangan, tetapi di antara keduanya (Portugis dan Johor) pernah berbaikan. Hal ini terjadi karena kelihaian Portugis mempengaruhi Johor ketika mereka menghadapi Aceh sebagai suatu kekuatan baru di kawasan Selat Melaka.
Muncul dan berkembangnya Kerajaan Aceh, berkaitan erat dengan penaklukkan Melaka oleh Portugis pada tahun 1511 Masehi. Setelah Melaka dikuasai Portugis, pedagang-pedagang Islam yang biasa berdagang di sana terpaksa menyingkir mencari tempat lain yang cocok untuk tempat berdagang. Di antara mereka ada yang datang ke Aceh. Dengan datangnya pedagang-pedagang Islam, Aceh menjadi ramai dan berkembang sebagai salah satu bandar tempat berdagang serta tempat penyiaran agama Islam untuk kawasan Nusantara pengganti Melaka. Selanjutnya, dengan potensi yang dimilikinya, Aceh semakin berkembang, menjadi kaya dan kuat. Karena kaya dan memiliki kekuatan sehingga timbul hasrat untuk memperluas kuasanya, baik ke Pantai Timur dan Pantai Barat Sumatra maupun ke Semenanjung Tanah Melayu. Selain itu, yang paling didambakan oleh Aceh ialah mengeyahkan Portugis di kawasan Selat Melaka. Sama halnya dengan negeri Johor, Kerajaan Aceh juga berulangkali mencoba melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dan di tempat-tempat lain di kawasan Selat Melaka.
Penyerangan pertama terhadap Portugis dilakukan pada tahun 1524 yang pada waktu itu sedang berada di Kerajaan Pasai. Pada tahun 1547 Melaka Portugis menjadi sasaran penyerangan pihak Aceh, namun karena negeri-negeri Melayu seperti Johor yang mengetahui penyerangan ini diam saja, tidak membantu Aceh, malah sebaliknya mereka berpihak kepada Portugis menyebabkan penyerangan ini gagal. Dalam hal ini Portugis berjaya memecah belah antara Johor dengan Aceh.18 Penyerangan berikutnya dilakukan pihak Aceh pada tahun 1568. Meskipun penyerangan ini dilakukan secara besar-besaran yang dibantu oleh tentara bayaran/sewaan, seperti Turki, Malabar, dan Abbessinia, tetapi Aceh juga tidak mampu mengusir Portugis dari Melaka. Pada tahun 1577 lagi-lagi Aceh menyerang Portugis di Melaka, tetapi juga tidak berhasil. Demikian juga penyerangan yang dilakukan pada tahun 1615 dan penyerangan yang paling besar pada tahun 1629. Kesemuanya tidak berhasil mengusir Portugis dari Melaka.
Selain melakukan penyerangan terhadap Portugis, Aceh juga melakukan sejumlah ekspansi ke daerah-daerah yang berpotensi ekonomi, baik di Pantai Timur dan Pantai Barat Sumatra maupun ke negeri-begeri di Semenanjung. Maksud ekspansi ini, selain untuk kepentingan ekonomi juga karena kekhawatiran terhadap kekuatan Portugis di Melaka dan kelemahan-kelemahan Sultan-sultan Melayu dalam menghadapi pihak Portugis. Lebih-lebih karena Portugis sering mengadakan hubungan tertentu untuk mencari pengaruh atas kerajaan-kerajaan yang lemah di Semenanjung Tanah Melayu. Akibatnya, setiap Kerajaan Melayu yang berhubungan dengan Portugis dimusuhi oleh Aceh. Sementara kerajaan-kerajaan itu menginginkan agar mereka dapat bebas berhubungan dengan siapa saja yang dianggap membawa keuntungan bagi mereka. Oleh karena adanya perbedaan kepentingan, maka timbullah persaingan dan pertikaian yang terus menerus antara Kerajaan Aceh dengan kerajaan-kerajaan Melayu, khususnya dengan Kerajaan Johor di Semenanjung.
Pada tahun 1539 Kerajaan Aru di Pantai Timur Sumatra diserang Kerajaan Aceh dengan alasan karena Aru berhubungan dengan Portugis. Padahal Kerajaan Aru merupakan daerah taklukan Johor di Sumatra. Akibat penyerangan ini Johor dan sekutu-sekutunya mencurigai dan tidak senang terhadap Kerajaan Aceh. Hal ini kemudian berkembang menjadi permusuhan yang membawa keuntungan besar bagi Portugis sehingga ia dapat mencegah musuh-musuhnya (kerajaan-kerajaan Melayu) untuk bersatu dalam menentang mereka. Dengan alasan karena Johor membantu Portugis ketika Aceh menyerang Melaka pada tahun 1547, maka pada tahun 1564 Aceh menyerang Johor dan berhasil menjadikan Johor untuk beberapa tahun sebagai vazal Kerajaan Aceh. Penyerangan terhadap Johor juga dimaksudkan oleh Aceh sebagai persiapan untuk menyerang kembali Portugis di Melaka, supaya Johor tidak berkesempatan membantu Portugis seperti pada tahun 1547.24
Setiap kerajaan yang bersahabat dengan Portugis di Melaka atau memberi kesempatan berdagang di kerajaannya, dimusuhi oleh Kerajaan Aceh. Demikianlah Kerajaan Johor sebagai salah satu kerajaan berpengaruh di Semenanjung Tanah Melayu karena pernah mengadakan persahabatan dengan Portugis, maka selalu bermusuhan dengan Kerajaan Aceh dan sebagaimana telah disebutkan, Johor sering mendapat serangan pihak Aceh. Kadang-kadang memang terjadi suatu hubungan baik antara kedua kerajaan, meskipun kemudian terjadi permusuhan lagi. Contohnya, dapat dilihat, ketika Aceh berada di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada tahun 1613 Aceh menyerang Kota Batu Sawar dan berhasil menguasainya. Sultan Johor (Sultan Alaudin) yang telah berusia lanjut menyingkir ke Pulau Bintan. Tetapi, Sultan Muda yang disebut Raja Sabrang (Raja Abdullah) bersama keluarganya dan juga orang Belanda yang mencoba membantu Johor dapat ditangkap dan dibawa ke Aceh.
Raja Sabrang selama di Aceh, rupa-rupanya telah dapat meyakinkan Sultan Aceh bahwa dia juga merupakan orang yang memusuhi Portugis seperti juga orang-orang Aceh. Oleh karenanya, Sultan Aceh menaruh kepercayaan kepada Raja Sabrang dan kemudian dia dikawinkan dengan saudara perempuan sultan. Setelah beberapa lama di Aceh, pada September 1614 M Raja Sabrang bersama istrinya dikirim kembali ke Johor yang diantar sekitar 2000 orang Aceh. Pengantar sebanyak ini dimaksudkan untuk membangun kembali ibukota Kerajaan Johor (Batu Sawar) yang telah rusak akibat diserang oleh tentara Aceh sebelumnya. Kemudian Raja Sabrang menjadi sultan dengan gelar Sultan Hammat Shah. Setelah beberapa lama menduduki tahta kerajaan, Sultan Hammat Shah mengadakan hubungan atau suatu perjanjian kerja sama di bidang ekonomi dan politik dengan Portugis di Melaka yang diwakili oleh Fernando da Costa. Hal ini menimbulkan kemarahan Sultan Aceh.
Pada tahun 1615 pasukan Aceh yang sedang dipersiapkan untuk menyerang Melaka, dialihkan untuk menggempur kembali Kerajaan Johor. Namun setelah tentara Aceh tiba di sana, ibukota Kerajaan Johor telah dikosongkan. Sultan Hammat Shah bersama dengan sebagian penduduknya yang telah mengetahui akan adanya serangan dari pihak Aceh telah pindah ke Lingga, sebuah pulau di selatan Singapore.
Hubungan baik antara Kerajaan Johor dengan Kerajaan Aceh pernah pula terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani (1637-1641) dan Sultan Abdul Jalil Shah III (1623-1677), masing-masing selaku Sultan Aceh dan Sultan Johor. Dalam kitab Bustanus Salatin karya Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa pada masa Iskandar Thani, datang ke Kerajaan Aceh utusan dari Raja Johor yang dipimpin Paduka Raja bersama dengan 4 orang hulubalang. Ketika menghadap sultan, utusan ini menyerahkan surat Raja Johor dan persembahan-persembahan lainnya. Setelah membaca surat itu sultan sangat gembira, sehingga ia memberikan berbagai hadiah kepada utusan Johor itu. Selain itu, mereka juga diajak bersama sultan untuk bersama-sama pergi negeri Pasai. Ketika telah kembali dari Pasai, Paduka Raja bersama dengan 4 orang hulubalang memohon diri kepada sultan untuk kembali ke Johor. Bersama dengan kembalinya utusan Raja Johor, Sultan Iskandar Thani menitipkan hadiah-hadiah untuk dipersembahkan kepada Raja Johor. Hadiah-hadiah ini antara lain berupa cincin-cincin intan, kancing dan anting-anting intan serta sejumlah pakaian keemasan beserta beberapa ekor kuda dan keledai.
Dara Mata Biru
Tidak heran jika di Aceh ada keturunan Portugis yang identik dengan bola mata biru, Karena kehadiran orang Portugis di daerah Aceh, ratusan tahun yang lalu tersebut, hingga sekarang masih meninggalkan bekasnya. Tepatnya di daerah Lamno, Kabupaten Aceh Jaya atau kurang lebih 81 km dari Banda Aceh ke sebelah barat. Peninggalan orang Porto (begitu panggilannya-red) di Lamno yakni gadis cantik yang bermata biru, hidung mancung, kulih putih dengan perawakan yang tinggi di atas rata-rata warga Aceh lainnya.
Gadis-gadis cantik itu bak bule tadi adalah keturunan dari pedagang Porto yang singgah di Lamno beberapa abad yang lalu. Di antara pedagang Porto ini ada yang menetap lama di Lamno dan meminang perempuan setempat. Keturunan mereka hingga sekarang masih ada, dengan ciri fisik sebagaimana orang-orang Eropa.
            Budayawan Lamno M. Yunus mengemukakan orang Portugis masuk ke Lamno sekira tahun 1492. Waktu itu, di Lamno ada kerajaan kecil yang kaya dengan rempah-rempah, seperti lada dan lainnya. Di bawah Raja Pahlawan Syah (Sultan Alaidin Riayah Syah II) atau lebih dikenal dengan nama Marhum Daya, Kerajaan Lamno berhasil menjalin hubungan perdagangan dengan orang Portugis.
Kerajaan Lamno ini berpusat di Keluang atau Kuala Daya daerah pinggir pantai. Di lokasi itu juga dulu dibangun pelabuhan laut Lamno sebagai tempat berlabuh kapal laut dari luar daerah. Karena memiliki pelabuhan yang memadai dan strategis di Samudra Hindia, perdagangan antara Portugis dengan Lamno berjalan dengan baik. Sistem perdagangan waktu itu masih menggunakan barter. Orang-orang Porto itu membawa lada dan tembakau dari Lamno.
            Karena hubungan perdagangan itu, ada di antara pedagang Portugis yang tertarik dengan gadis asal Lamno. Akhirnya di antara mereka ada yang meminang gadis setempat, dan menetap tinggal di daerah Kuala Daya dan di Lamso, masih masuk ke daerah Lamno. Saat itulah secara turun-temurun lahir keturunan orang Portugis di Lamno.
Selain orang Portugis di Lamno, sebenarnya masuk juga pedagang dari Cina, India, Arab, hingga VOC sendiri. Bahkan konon ACEH adalah singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan (India). Maka pada zaman itu, Aceh benar-benar merupakan sebuah daerah kosmopolitan.
           Itu dibuktikan dengan ditemukannya mata uang kuno di Lamno. Yunus menunjukkan delapan mata uang kuno, yang di temukan di sekitar pelabuhan. Mata uang itu, diyakini mata uang VOC karena berlambangkan atau bertuliskan VOC, Arab (ada tulisan Arabnya), Cina (bahasa Cina), dan India. Dengan adanya mata uang itu, kemungkinan besar pelabuhan di Lamno ini dulu sangat ramai sebagai pusat perdagangan. "Makanya, saat ini selain ada keturunan Portugis, ada juga keturunan Arab maupun India di daerah Lamno ini," papar Yunus kepada "PR". Keturunan Arab juga dimungkinkan adalah yang menyebarkan Islam di daerah ini, termasuk keturunan Portugis juga beragama Islam.
Hanya, kejayaan Lamno mulai pudar, itu terjadi saat Raja Alaidin Riayah Syah II yang merupakan putra dari Raja Inayatsyah meninggal pada 1508. Setelah raja Alaidin ini meninggal, Kerajaan Lamno masuk menjadi bagian wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Hal itu terjadi karena Putri Alaidin yakni putri Hur (pewaris takhta) menikah dengan Raja Sultan Halim Murayat Syah (Raja Aceh Darussalam). Sejak itu, pelabuhan Lamno menjadi sepi, karena pusat perdaganan dialihkan oleh raja baru ke Sabang dan Banda Aceh.
            Para pedagang dari Portugis maupun India saat itu juga tidak lagi masuk ke Lamno. Namun, orang Portugis yang sudah berkeluarga di daerah itu menetap untuk selamanya. Mereka bekerja sebagaimana warga setempat yaitu melaut dan bertani. Karena pelabuhan sepi, lambat laun usaha lada dan tembakau mulai ditinggalkan oleh warga setempat.
Alasannya, karena untuk menjualnya menjadi sulit dan harga murah. Nama Lamno sebagai penghasil lada dan tembakau pun sekaligus sebagai pusat perdagangan internasional akhirnya meredup dari tahun ke tahun. Bahkan, kini sangat jarang sekali tanaman lada atau usaha tembakau digeluti oleh warga daerah ini. Julukan kota perdagangan untuk Lamno pun akhirnya memudar.
            Julukan kota perdagangan serta penghasil rempah-rempah boleh saja pudar. Tapi, satu julukan yang akhirnya tak pernah pudar untuk daerah Lamno adalah sebagai tempat lahirnya gadis si mata biru. Karena kecantikan gadis yang tetap bersinar dari abad ke abad, akhirnya membuat daerah Lamno masih terkenal di Nanggroe Aceh, hingga sekarang. Menyebut nama Lamno, di Aceh sepertinya sudah identik dengan gadis keturunan Porto yang jelita.
Kesempatan dan peluang langka yang dialami Martunis memang tidak semua anak dan orang bisa mengalaminya, setidaknya menjadi harapan dan asa bagi generasi muda Aceh lainnya untuk terus bercita-cita, berkarya, berbuat, dan bermimpi dengan berbagai bakat dan ketrampilan yang dimiliki niscaya suatu saat akan dihargai di masa mendatang, bukan hanya di sepak bola seperti Martunis, juga bisa di berbagai bidang dan displin ilmu, dunia pasti melirik dan kesempatan terbuka lebar. Martunis tidak hanya mengharumkan nama keluarganya namun juga mengharumkan Aceh dan Indonesia, khusus untuk olahraga sepak bola sangatlah jarang bahkan tidak ada para pencari bakat dari Eropa dan klub-klub sepak bola dunia melirik talenta-talenta dari Aceh ataupun Indoensia, kini harapan kita semua ada dipundak Martunis untuk membuka lembaran baru antara Aceh dan Portugis, bahkan antara Aceh dan Negara-negara Eropa lainnya juga dunia, tentu bukan dalam hal peperangan namun dalam hal bakat, prestasi dan olahraga.
Â
Martunis mendadak terkenal kembali setelah pada usianya delapan tahun menjadi trending topic, setelah ditemukan dilautan lepas Samudera Hindia, diusianya ke delapan belas tahun atau 10 tahun pasca tsunami nama Martunis kembali terkenal dan menjadi trending topic untuk kedua kalinya tetapi kali ini lebih takjub dan hebat, dimana Martunis awalnya diundang ke Portugal atas undangan Cristiano Ronlado, namun beberapa saat kemudian dia direkrut untuk begabung dengan akademi sepak bola Sporting Lisbon, klub dimana sang angkat Martunis, Cristiano Ronaldo memulai karir sepak bolanya. Dengan mendapat beasiswa penuh segala kebutuhan hidup ditanggung selama belajar dan meniti karir di akademi sepak bola Sporting Lisbon sampai menjadi pesepakbola professional seperti alumni-alumni akademi tersebut. Sejumlah penguna internet atau netizenpun merespon positif sepak terjang Martunis dan disejumlah media social, media internet, media cetak serta media elektronikpun memberitakan berita seputaran Martunis.
Â
Harapan masyarakat Aceh dan Indonesia pada Martunis untuk tetap istiqamah dalam aqidah Islam sekalipun kesuksesan sudah berada di depan mata dan menjadi inspirasi bagi ribuan anak Aceh dan Indonesia yang mempunyai impian dan cita-cita yang ingin digapai walaupun tidak seperti yang dialami Martunis, paling kurang membuka mata dunia bahwa di belahan dunia manapun anak-anak mempunyai harapan dan cita-cita yang sama. Semoga momentum Martunis tidak hanya pemerintah Aceh dan Indonesia mamfaatkan dalam hal sepak bola saja namun bisa lebih luas dari itu dalam hal hubungan diplomatik, ekonomi, pariwisata dan social budaya antara Aceh, Indonesia dan Portugal. Semoga! Â
  Â
*) Penulis adalah Internal Auditor
   pada ASDC Bireuen
   Aceh 24251
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI