Di suatu sore yang teduh di sebuah sudut desa di Bali, suara kulkul (kentongan kayu) terdengar ritmis dari sebuah bangunan terbuka yang disebut bale banjar. Tak lama kemudian, para pria berdatangan, mengenakan udeng di kepala dan sarung, duduk bersila membentuk lingkaran. Mereka tidak sedang berkumpul tanpa tujuan. Mereka sedang menjalankan sebuah sistem yang telah berusia berabad-abad, sebuah sistem yang menjadi napas sekaligus tulang punggung kehidupan sosial masyarakat Bali: Banjar.
Bagi banyak dari kita yang hidup di kota-kota besar, pemandangan ini mungkin terasa eksotis. Kehidupan kita sering kali tersekat oleh dinding-dinding apartemen atau pagar rumah yang tinggi. Kita mengenal rekan kerja lebih baik daripada tetangga sebelah. Gotong royong menjadi kata yang lebih sering kita dengar dalam pidato ketimbang kita praktikkan.
Di tengah derasnya arus individualisme yang mengglobal, sistem Banjar di Bali berdiri tegak. Ia bukan sekadar relik masa lalu, melainkan sebuah laboratorium hidup tentang bagaimana merawat "api" kesadaran komunal. Apa yang bisa kita pelajari darinya?
Banjar: Jantung Sosial yang Berdetak untuk Semua
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita pahami apa itu Banjar. Secara sederhana, Banjar adalah unit komunitas terkecil di Bali, setingkat dusun atau RW. Namun, fungsinya jauh melampaui urusan administratif. Banjar adalah institusi adat yang mengikat warganya (krama banjar) dalam sebuah jaring pengaman sosial yang luar biasa kuat.
Fungsinya mencakup seluruh siklus kehidupan:
Saat Suka Cita: Ketika ada warganya yang menikah, seluruh anggota Banjar akan turun tangan (ngayah). Ada yang membantu mendirikan tenda, ibu-ibu memasak di dapur umum, dan yang lain mempersiapkan upacara. Beban biaya dan tenaga ditanggung bersama.
Saat Duka Cita: Inilah saat di mana kekuatan Banjar paling terasa. Jika ada yang meninggal, Banjar akan mengambil alih hampir seluruh prosesi, dari memandikan jenazah hingga upacara kremasi (ngaben) yang rumit. Keluarga yang berduka tidak akan pernah merasa sendirian.
Saat Menjaga Harmoni: Banjar memiliki aturan adatnya sendiri (awig-awig) yang disepakati bersama untuk menjaga ketertiban dan menyelesaikan sengketa. Ia juga memiliki pecalang, petugas keamanan adat, yang memastikan lingkungan aman, terutama saat upacara besar.
Dalam sistem Banjar, individu adalah bagian tak terpisahkan dari komunitas. Identitas Anda tidak hanya sebagai "saya", tetapi sebagai "kami, krama Banjar...".
Sekoci di Tengah Badai Individualisme
Di kota besar, masalah sering kali menjadi urusan pribadi. Rumah kebanjiran? Urus sendiri. Sakit dan butuh diantar ke rumah sakit? Pesan taksi online. Kesepian? Buka media sosial. Kita terbiasa menyelesaikan masalah dengan transaksi, bukan dengan interaksi.
Banjar menawarkan sebuah antitesis. Ia adalah "sekoci" di tengah badai individualisme. Ia mengajarkan bahwa ketergantungan pada sesama bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan. Rasa aman yang ditawarkan Banjar bukanlah rasa aman yang dibeli dari perusahaan asuransi atau jasa keamanan, melainkan rasa aman yang lahir dari kepastian bahwa ada puluhan tangan yang siap menolongmu saat kau jatuh.
Ini adalah bentuk modal sosial yang paling murni. Kepercayaan, resiprositas, dan jaringan sosial yang membuat sebuah komunitas tangguh. Sesuatu yang kini mulai langka dan mahal harganya di banyak tempat.
Tantangan Zaman: Merawat Api Agar Tak Padam
Tentu, sistem Banjar tidaklah statis dan tanpa tantangan. Arus modernitas membawa gelombang baru yang menguji ketahanannya.
Banyak generasi muda Bali kini bekerja di sektor formal dengan jam kerja yang kaku, menyulitkan mereka untuk aktif dalam kegiatan Banjar. Paham individualisme yang meresap melalui media dan budaya pop juga perlahan mengikis nilai-nilai kolektif. Selain itu, masifnya pembangunan vila dan perumahan modern yang dihuni oleh pendatang sering kali menciptakan kantong-kantong komunitas yang eksklusif dan tidak terintegrasi dengan Banjar setempat.
Namun, yang menakjubkan adalah kemampuan Banjar untuk beradaptasi. Rapat Banjar kini sering diumumkan melalui grup WhatsApp. Jadwal ngayah diatur agar lebih fleksibel. Ada upaya terus-menerus untuk menyeimbangkan antara tuntutan zaman dengan pelestarian tradisi.
Refleksi untuk Kita Bersama
Kita tentu tidak bisa serta-merta mereplikasi sistem Banjar di Menteng, Kemang, atau di Kelapa Gading. Konteks sejarah, budaya, dan agamanya sangat spesifik. Namun, kita bisa dan seharusnya belajar dari spirit-nya.