Mohon tunggu...
Daniel SetyoWibowo
Daniel SetyoWibowo Mohon Tunggu... Tutor - Tutor kelompok belajar anak-anak

Seorang warga negara Indonesia yang mau sadar akan kewarganegaraan dengan segala ragam budaya, agama, aliran politik, sejarah, pertanian / kemaritiman tetapi dipersatukan dalam semangat nasib dan "imagined communities" yang sama Indonesia tetapi sekaligus menjadi warga satu bumi yang sama.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Jawa Dicengkeram Candu

12 Juli 2019   09:43 Diperbarui: 12 Juli 2019   10:04 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perih di dalam dada melihat gambar dan membaca paparan buku ini tentang kondisi korban-korban opium. Berdiri bulu kuduk mendengar penjelasan perilaku, sistem, kultur, dan tradisi yang menciptakannya dan yang mendukungnya karena keuntungan material semata dan hasrat menguasai (will to power) belaka meskipun dibungkus dengan alasan-alasan dan infrastruktur etis 

Itu kesan utama membaca huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, dan bab demi bab (tetapi tidak jarang terlewatkan juga) buku James R. Rush berjudul Opium To Java; Jawa Dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860 - 1910 ini.

Opium adalah nama lain dari produk narkotik yang dijual di Jawa dengan nama candu, yaitu opium mentah yang disuling dan kemudian dicampur dengan penguat rasa dan sejumlah bahan campuran lainnya. Sedangkan produk yang kualitasnya rendah dan lebih murah disebut oleh orang Jawa sebagai tike. 

Candu dihisap dengan bedutan (pipa penghisap) yang sangat mahal harganya dengan jika berbahan bagus. Sedangkan tike biasanya dicampur dengan daun awar-awar (ficus septica) atau bisa dicampur dengan tembakau yang digulung dengan daun jagung (klobot) sebagai rokok.

Yang mengherankan, ternyata konsumsi candu di Jawa pada tahun 1882 sangat tinggi. Diperkirakan satu dari dua puluh orang Jawa menghisap opium. Candu diperjualbelikan bebas.

Sebelum Belanda (VOC) menguasai dan memonopoli opium, saudagar-saudagar Arab pun juga memperjualbelikan opium ini di Asia, termasuk Jawa. 

Setelah berhasil berkuasa pada tahun 1677, Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) membuat perjanjian dengan Raja Amangkurat II dari Jawa yang menjamin diberikannya monopoli untuk mengimpor opium dan mengedarkannya di wilayah kerajaannya, Mataram. Tidak lama kemudian, kerajan Cirebon bertindak hal yang sama. 

Akhirnya, peredaran opium menyebar keseluruh Jawa, kecuali Priangan (Sunda) dan Banten karena kuatnya penolakan para ulama. Baru setelah dibuka toko-toko opium di bawah Regi Opium, peredaran opium juga melanda wilayah-wilayah ini.

Buku karya James R Rush ini banyak menguraikan bagaimana Jawa berada dalam cengkeraman bandar-bandar opium Cina Cabang Atas, Regi Opium Belanda, dan jaringan masing-masing dari pusat sampai ke pedesaan-pedesaan, termasuk mata-mata bandar atau regi sampai peran pamong desa hingga jagabaya, khususnya pada masa kolonial pada paruh akhir  abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Di pusat hierarki, Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) mengimpor opium mentah dan menarik pajak (cukai) untuk penjualannya. Ini dapat dilakukan karena Belanda mempunyai hak monopoli perdagangan opium dan melelangnya kepada syahbandar-syahbandar opium Cina Jawa. Syahbandar-syahbandar ini beroperasi sesuai kontrak satu tahun atau tiga tahun. 

Dalam operasinya, syahbandar-syahbandar ini mempunyai penjamin berupa kongsi dan mempunyai jaringan ke bawah dan ke samping. Bandar-bandar ini adalah sebuah elite kecil tetapi berkuasa, yang paling kaya, dan sukses. Inilah orang-orang Cina Cabang Atas dalam komunitas orang-orang Cina Jawa.

Dianggap Wajar

Peredaran opium sudah dianggap wajar dan biasa di Jawa, bahkan tidak jarang dipakai sebagai obat misalnya penurun panas atau menahan sakit dan sebagainya. Sebenarnya, pasar gelap opium tidak ada gunanya lagi karena peredaran resmi saja sudah marak. 

Benarkah begitu ? Ternyata, peredaran opium di pasar gelap justru ramai, mencapai 60 % dari perdagangan ke seluruhan di Jawa. Salah satu penyebabnya, candu resmi harganya mahal. Jadi, tidak ada gunanya sebenarnya membedakan opium gelap atau resmi dalam kondisi semacam ini.            

Bisa dibayangkan, petani-petani sederhana dan miskin serta keluarganya dan masyarakat pada umumnya semakin dipermiskin dengan sistem opium ini. Rasanya, sulit dibayangkan kalau Jawa dapat lepas dari konsumsi si mbok lara ireng ini. 

Dari mana datangnya kesadaran untuk lepas dari opium dan harapan hari esok lebih baik ? Apakah konsep ratu adil yang memang marak di kalangan Jawa? Pasukan Diponegoro sekalipun ternyata juga tergantung pada opium untuk berperang agar lebih berani. 

Dalam alenea terakhir buku inipun, mengisyaratkan pesimisme tersebut. Untuk membiayai perjuangan kemerdekaan pun, ternyata juga dibaiayai oleh pelelangan habis stok regi opium yang masih tersisa (hal.553).

Meskipun demikian, selalu ada perlawanan dalam sistem ekspolitatif ini, ada berkas terang meskipun kecil dari suatu kegelapan akibat opium itu. Kita perlu mencari jejak-jejaknya untuk menumbuhkan optimisme yang bukan sekedar membuai tetapi yang lebih realistik. Dari mana kita menemukan kesadaran itu ?

Dari para syahbandar opium, jelas tidak mungkin. Dari pemerintah (Belanda), rasanya juga sulit meskipun menempuh politik etis dan menganggap Hindia Belanda sebagai 'adik kandung'-nya sendiri yang perlu diangkat. Atau dari para priyayi Jawa dalam pemerintah-pemerintah lokal seperti bupati, wedana, asisten wedana, camat, demang, jagabaya ? Ini lebih sulit lagi di samping sistem feodal yang sangat kuat, mereka mendapat cantolan kekuasannya pada pemerintahan Belanda karena cantolan pada raja sudah longgar atau bahkan tidak ada lagi. 

Atau mungkin kesadaran itu muncul dari pecandu opium itu sendiri yang selalu pergi ke pondok-pondok opium di kota dan menghisap candu di 'bale-bale', berbaring berselonjor kaki dengan badan setengah miring sambil melepas ikat kepala supaya rambut hitam yang panjang tergerai di atas bantal 'bale-bale' itu ? Sepertinya juga tidak. 

Kalau demikian, jangan-jangan yang muncul justru 'Suluk Gatoloco' yang ditulis seorang priyayi mistik Jawa yang mengolok kaum muslim farisi.

dokpri
dokpri

Kesadaran

Kesadaran itu bisa diharapkan, misalnya dari seorang bernama Multatuli alias Eduard Douwes Dekker yang menulis Max Havelar sebagai novel politik bahkan dikenal sebagai 'opium roman'. Novel itu menjadi semangat zamannya untuk berjuang. 

Kesadaran itu juga bisa diharapkan dari sosok seperti M.T.H. Perelaer yang melawan sistem opium ini dengan novel anti-opiumnya berjudul Baboe Dalima yang diterbitkan sekitar tahun 1886 dalam bahasa Belanda. Tentu novel ini menusuk jantung pemerintahan Belanda dan elit berkuasa di Belanda. 

Nama Isaac Groneman juga menyerukan semangat yang sama anti-opium dengan novelnya berjudul  Een Ketjoegeschiedenis, Kisah Seorang Ketjoe (baca: kecu = rampok, bandit). Tidak ketinggalan juga Pieter Brooshooft ujung tombak koran Semarang De Locomotief yang mengeluarkan petisi dalam buku Memorie Over den toestana in Indie (Memorandum tentang Keadaan di Hindia).

Tidak kalah menariknya dalam semangat anti-opium ini adalah RA Kartini dengan surat-suratnya (Surat-Surat Kartini. Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya diterjemahkan Sulastin Sutrisno, 1979). Dalam surat pertamanya kepada Nona E.H. Zeehandelaar atau Nona Stella, justru dia merasa prihatin terhadap kesengsaran bangsanya, Jawa. 

Ia menyebut candu sebagai benda laknat (putri Jawa yang halus perasanya harus mengatakan demikian). Penyakit sampar Jawa bukannya pes tetapi lebih dari pada pes, yaitu candu.

Semangat anti-opium yang memang kecil pada awalnya tetapi terus menggelinding makin besar dan akhirnya membelok ke arah politik dan melahirkan Politik Etis. Apa yang terjadi ketika Politik Etis itu menangkap semangat dan gelora anti-opium itu ? Kita boleh ikut bersorak karena bandar-bandar opium dihapus. 

Tapi, ternyata bandar-bandar opium itu hanya diganti dengan sistem Regi Opium yang tidak kalah eksploitatifnya dibanding dengan bandar-bandar sebelumnya bahkan jauh lebih terang-terangan.

Akibatnya, jaringan opium bandar-bandar Cina Cabang Atas porak poranda. Tapi, dengan demikian malah muncul pengusaha-pengusaha tangguh dan ulet dari kalangan Cina seperti Oei Tiong Ham dan generasi muda Cina Jawa yang menjauhi opium. Sementara orang-orang Jawa tetap dicengkeram opium di bawah Regi Opium. Bahkan dengan semangat Politik Etis, Belanda dengan bangga menunjukkan proyek etisnya berupa pabrik opium terbesarnya di Batavia. 

Dari pabrik opium terbesar setidaknya di Asia yang berpusat di kawasan Salemba ini (sayangnya saat kini di tempat ini tidak didirikan museum opium seperti dilakukan di Thailand), disebarlah candu-candu dengan pelbagai bentuk dan rasa ke seluruh pelosok Hindia Belanda, Asia, dan bahkan Eropa.

Program pendidikan juga digalakkan di kalangan elite Jawa, tetapi hasilnya kebanyakan diserap sebagai pegawai-pegawai Regi Opium, mantri penjualan opium dan pembantu-pembantunya. Merekalah yang bertugas menjual opium kepada bangsanya sendiri, saudara-saudaranya sendiri, tetangga-tetangganya sendiri, teman-temannya sendiri.

Dengan alasan moral, politik etis Belanda memang berhasil mengenyahkan bandar-bandar opium yang sebenarnya adalah ciptaan Belanda sendiri. Sebagai gantinya, penjualannya di tangan Belanda sendiri. Dengan demikian, keuntungannya berlipat-lipat. 

Selain itu, kesadaran orang-orang Jawa di bawah kendalinya, tanpa perlawanan yang berarti sampai berakhirnya kekuasaan Belanda sendiri karena dipaksa Jepang.

Buku ini merupakan penelitian James R. Rush dimulai di Yale University. Sungguh sangat bermanfaat untuk mempelajari lebih lanjut tantangan-tantangan kini dalam bentuk-bentuk barunya seperti narkotika dan yang lebih dekat dengan opium adalah rokok. 

Belajar dari sistem-sistem dan kultur yang terjadi di masa lalu, kita bukan hanya memetik hikmah saja tetapi lebih mampu memahami sistem yang sekarang terjadi sehingga menyiapkan antisipasi yang mungkin akan terjadi di masa depan. Itulah gunanya sejarah.

Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit MataBangsa yang dilakukan E.Setiyawati Alkhatab, juga perlu dilihat dalam konteks itu sehingga buku ini tidak hanya menjadi milik elite intelektual di kantung-kantung lembaga universitas atau LSM, tetapi juga dapat memberi semangat publik. 

Dalam banyak hal, misalnya, buku ini juga mengacu sejarawan seperti Onghokham. Dan, ia sosok anti-rokok (saudara sepupu candu) mulai di era BPPC meskipun ia tetap hedonis masakan dan minuman.

Akhirnya, meskipun buku James R. Rush ini diterbitkan dalam Bahasa Indonesia delapanbelas tahun yang lalu, kiranya masih relevan untuk masa kini mengingat narkotika (dan tentunya rokok) masih mencengkeram bangsa Indonesia. Selamat membaca (kembali).

D. Settyo Wibowo

Tinjauan ini mengalami pembaruuan dari tulisan yang pernah dimuat di blog pribadi tanggal 1 Juni 2012.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun