Mohon tunggu...
Daniel Nikon Martua Situmorang
Daniel Nikon Martua Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa S1 Ilmu Hukum di Universitas Airlangga, Surabaya

Seorang mahasiswa Ilmu Hukum yang antusias mengeksplorasi dunia hukum, sosial, dan politik. Aktif di organisasi kampus dan komunitas. Pengetahuan adalah kunci untuk menciptakan perubahan. Menulis adalah salah satu cara saya untuk berbagi perspektif dan menggugah pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Doa Terakhir Sang Jenderal: "Jadilah Kehendak-Mu!"

2 Oktober 2025   19:09 Diperbarui: 2 Oktober 2025   19:07 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permintaan terakhir sang Jenderal hanyalah satu: "Izinkan aku berdoa terlebih dahulu". Namun, para penculik itu justru menghujaninya dengan peluru tanpa belas kasihan.

Dini hari, 1 Oktober 1965.
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Di rumah yang tenang, Jenderal Angkatan Darat Donald Isaac Panjaitan tengah tertidur bersama istrinya. Seorang prajurit yang dikenal tegas, jujur, dan penuh wibawa.

Ia tak mengetahui bahwa di luar rumah, sekelompok pasukan Cakrabirawa sudah mengepung. Datang bukan untuk berdialog, melainkan untuk merenggutnya dari keluarganya. Suara gedoran pintu dan tembakan di lantai bawah membangunkan seluruh penghuni rumah. Pasukan itu menerobos masuk, menodongkan senjata kepada keponakan-keponakannya.

Jenderal Panjaitan mendengar semuanya dari kamarnya. Ia sadar betul apa yang sedang terjadi. Ia bisa saja melarikan diri. Ia bisa saja sembunyi. Namun ia memilih jalan seorang ksatria. Ia keluar dari kamarnya dengan tenang dan berkata bahwa ia bersedia ikut.

Tapi sebelum itu, ia bersiap. Bukan dengan piyama, bukan dengan pakaian seadanya. Ia membuka lemari dan dengan perlahan mengenakan seragam militernya yang lengkap, lengkap dengan bintang dan lencana kebanggaan. Seakan bukan menuju kematian, melainkan menghadiri upacara kehormatan.

Ketika ia menuruni tangga dengan gagah, para penculik mulai gusar. Di halaman rumahnya, ia meminta satu hal: kesempatan untuk berdoa, menyerahkan jiwanya kepada Tuhan.

Namun, martabat dan ketenangan itu justru memancing amarah. Mereka menilainya terlalu lama, terlalu menyulitkan. Dan di hadapan istri serta anak-anaknya, di tanah miliknya sendiri, ia ditembak tanpa ampun. Tubuhnya roboh, lalu diseret, dilemparkan ke dalam truk, dan dibawa menuju Lubang Buaya.

Kisah Jenderal D.I. Panjaitan adalah kisah tentang perlawanan yang sunyi, namun luhur. Ia meninggalkan teladan: bahkan ketika nyawa direnggut, kehormatan tidak boleh tergadaikan.

Selamat jalan, Jenderal.
Doa dan hormat kami tak akan pernah padam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun