Mohon tunggu...
Daniel Mashudi
Daniel Mashudi Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer

https://samleinad.com E-mail: daniel.mashudi@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

"Menggugat" Batasan 70 Kata di Kompasiana

5 September 2012   10:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:53 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Tentunya banyak yang mengetahui bahwa puisi yang indah di atas adalah karya Chairil Anwar yang terkenal itu. Meski terdiri tidak lebih dari 50 kata, kata demi kata dan bait demi bait dari puisi tersebut begitu indah dan memiliki sebuah kekuatan di dalamnya. Pemilihan sebuah kata yang masif maknanya dalam menulis puisi bisa menggantikan beberapa kata lain yang bermakna biasa-biasa saja. Tak jarang kita perlu membuka kamus untuk menemukan arti sebuah kata yang baru bagi kita. Itulah sebabnya seringkali kita memerlukan waktu beberapa lama untuk merenung dan memahami apa pesan yang terkandung dalam sebuah puisi yang pendek. Tak jarang bahkan kita bisa merasakan kedahsyatan puisi tersebut.

Nah, kembali kepada batasan 70 kata untuk menulis di Kompasiana. Menurut saya ketentuan ini bisa dikaji ulang. Mungkin untuk rubrik-rubrik tertentu seperti puisi, batasan minimal tersebut perlu dikurangi. Atau mungkin ada masukan dari rekan-rekan kompasianer?  Sebagai bagian akhir, berikut saya tampilkan  dua buah puisi pendek (kurang dari 70 kata) yang indah karya Sitok Srengenge dan Sapardi Djoko Damono yang menjadi sastrawan atau pujangga favorit saya.

Kata Berkata
(Karya: Sitok Srengenge)

Panggil aku kata
Akulah asal mula
Jangan tanya siapa si pertama mengatakanku
Aku malu tak mampu memberi tahu
Walau dengan sepenuh daya
Aku tak sanggup sebut namanya
Aku cuma kata
Asal mula

Hujan Bulan Juni
(Karya: Sapardi Djoko Damono)

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun