Mohon tunggu...
daniel lopulalan
daniel lopulalan Mohon Tunggu... Penulis - Student of life

Belajar berbagi. Belajar untuk terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perlunya Pertanggungjawaban Donasi Bencana

24 Oktober 2018   23:07 Diperbarui: 25 Oktober 2018   05:00 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.protectyourcare.org

Bencana alam datang silih berganti. Gempa bumi di Lombok, Palu, dan Situbondo. Letusan gunung berapi di Sinabung-Sumatera dan Agung-Bali. Tak terhitung bencana banjir, longsor, dan tsunami. 

Indonesia memang terletak  di daerah rawan bencana alam. Labilnya daratan Indonesia akibat dari pertemuan beberapa lempeng bumi yang rawan bergeser dan masuknya wilayah nusantara dalam ring of fire, jajaran gunung berapi aktif di sekitar samudra pasifik. Itu semua membuat Indonesia akrab dengan peristiwa bencana alam.

Setiap bencana datang, selalu langkah spontanitas pertama adalah membuka rekening untuk sumbangan bagi korban bencana alam. Itu dilakukan oleh media cetak maupun televisi, perusahaan pemerintah atau swasta, maupun organisasi keagamaan dan sosial, bahkan perseorangan.

Ketika penggalangan dana dilakukan oleh sebuah badan untuk suatu maksud tertentu, selalu pertanyaan iseng muncul, "Dana tersebut sebetulnya dipakai untuk apa ya?" 

Transparansi Informasi

Pertanyaan itu sebetulnya wajar, waras, dan normal. Setidaknya menurut Saya. Tapi pertanyaan itu menjadi kurang sopan ditanyakan ketika hal itu terkait dengan sumbangan untuk kemanusiaan dan bencana.


Seakan pertanyaan itu menyiratkan kecurigaan, ketidakikhlasan menyumbang, dan syak wasangka pada pihak pengelola sumbangan. 

Sebetulnya bukanlah hal yang berlebihan bila dana yang sudah dikumpulkan dari masyarakat untuk suatu tujuan tertentu mesti dipertanggungjawabkan secara terbuka.

Transparansi mesti berjalan karena dana yang dikumpulkan berasal dari banyak pihak dan untuk banyak pihak juga. Pertanggungjawabannya mesti jelas. 

Apalagi sudah jamak terjadi penyelewengan dana dilakukan oleh oknum pengumpul dana. Kejadian terakhir, dugaan penyelewengan dilakukan oleh oknum pengumpul dana yang menggunakan dana penanggulangan bencana Sinabung untuk operasi plastik pribadinya. 

Payung Hukum

Menurut Sudaryatmo dalam tulisan di Kompasiana terkait pertanggungjawaban penggalangan dana publik, Pemerintah telah menyusun undang-undang yang terkait dengan partisipasi publik dalam penggalangan dana untuk kemanusiaan. 

Undang-undang tersebut tertuang dalam UU no 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Penerapan Undang-undang ini diperjelas dalam Peraturan Pemerintah no 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana.

Undang-undang tersebut dengan jelas menyebutkan partisipasi masyarakat dalam bentuk pengumpulan dana diperbolehkan asalkan dilakukan oleh pihak yang telah mendapatkan ijin dari Pemerintah.

Namun undang-undang itu tidak menyebut secara spesifik bentuk pertanggungjawaban atas dana yang sudah dikumpulkan tersebut.

Pada tahun 2013, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, menyelenggarakan penelitian terkait transparansi lembaga penerima dana penanggulangan bencana banjir Jakarta 2013. Hasilnya, dari 11 lembaga penerima dana, hanya ada 3 lembaga yang melaporkan kepada publik mengenai pertanggungjawaban dana donasi yang berhasil dikumpulkan. 

Yang Bisa Dilakukan

Dari beberapa hal di atas, terdapat usulan yang dapat dirangkum sebagai patokan untuk kita menyumbangkan dana untuk kemanusiaan.

Pertama, sebaiknya pihak yang menyumbang, pihak yang menjadi pengumpul donasi, dan pihak yang mendistribusikan dana adalah 3 pihak yang berbeda. Hal ini untuk memastikan kontrol dan mencegah conflict of interest dari pihak-pihak tersebut. 

Dompet kemanusiaan Kompas sudah mencantumkan nama dari donatur yang memastikan bahwa donasi tersebut sudah betul-betul diterima. Namun penulis belum pernah membaca pertanggungjawaban dana yang sudah dikumpulkan tersebut. Apakah langsung didistribusikan ke korban bencana, atau diberikan lagi ke lembaga lain yang mendistribusikannya.

Kedua, Lembaga penerima dana sebaiknya adalah lembaga yang sudah dikenal memiliki integritas, misalnya yayasan sosial, badan penanggulangan bencana, atau lembaga keagamaan. 

Hindari lembaga berorientasi profit seperti perusahaan swasta, ataupun lembaga negara yang tidak berurusan dengan penanganan bencana. 

Ketiga, rekening penerima dana sebaiknya merupakan rekening lembaga dan bukan rekening atas nama pribadi.

Dalam beberapa kesempatan, penulis sempat melihat beberapa penggalangan dana yang dilakukan oleh pribadi melalui rekening atas nama pribadi. Maksimal sumbangan ditentukan. Misalnya 500 ribu per orang. 

Mungkin pembatasan sumbangan ini dilakukan untuk menghindari conflict of interest dari satu pihak yang mengklaim sebagai penyumbang terbesar. Atau menghindari pencucian uang. Sejujurnya saya juga sedang meraba maksud dan tujuannya. 

Namun, apapun itu, pemberian sumbangan melalui rekening individu sangat rawan penyelewengan. Jadi sebaiknya dihindari.

Keempat, Salah satu ukuran integritas sebuah lembaga adalah akuntabilitas, sehingga lembaga yang dapat memberikan laporan pertanggungjawaban atas dana yang dikelola, merupakan lembaga yang baik untuk dipilih. 

Kelima, efektivitas pemberian sumbangan juga perlu diperhatikan. Pemberian mesti tepat guna dan tepat sasaran sehingga betul betul menyentuh kebutuhan di dalam situasi yang serba darurat. Dengan bantuan sosial media, efektivitas bantuan dapat dengan cepat diusahakan dan menghubungkan pihak-pihak yang berkepentingan.

Di Palu, kebutuhan korban bencana dikomunikasikan oleh tim di lapangan melalui group sosmed. Donatur menerima informasi dan menyerahkan sumbangan melalui pengumpul sumbangan, dan diantar dengan bantuan TNI Angkatan Udara. Semua dilakukan dengan cepat dan efektif.

Budaya dan Kredibilitas

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban atas dana publik yang sudah dikumpulkan untuk bantuan bencana, belumlah terimplementasi dengan baik di negara ini. 

Faktor budaya yang mengharamkan pertanyaan atas dana yang disumbangkan dengan ikhlas, mungkin menjadi salah satu hal yang menjadi kendala dan mendasari keengganan sebagian masyarakat donatur untuk mengkritisi sumbangan yang diberikan.

Faktor lainnya adalah kredibilitas lembaga pemeriksa keuangan di Indonesia belumlah terlalu baik sebagai lembaga kontrol atas akuntabilitas pengelolaan dana lembaga terkait.

Mungkin kita perlu memulai untuk mengontrol atas dana masyarakat yang ada. Agar niat baik untuk menolong sesama, dapat diproses dengan cara yang baik, dan tersampaikan dengan optimal ke saudara yang membutuhkan.  

Sumber : 

Sudaryatmo Mamo, Menyoal Penggalangan Dana Publik untuk Bencana, Kompasiana.com, 26 Juni 2015

YLKI, Mengupas Transparansi Penggalangan Dana Publik, YLKI.co.id, Januari 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun