Dalam dunia akademik, kebebasan berpendapat seharusnya menjadi napas utama yang menghidupi semangat berpikir kritis. Sayangnya, realita sering kali berkata lain. Salah satu kejadian yang baru-baru ini terjadi dalam grup WhatsApp mahasiswa di sebuah kampus menunjukkan bahwa kebenaran pun bisa dibungkam ketika kekuasaan berada di tangan yang salah.
Diskusi yang awalnya berjalan sehat, menghadirkan pro dan kontra tentang bagaimana kampus menampilkan prestasi dalam brosur, berujung pada tindakan yang tidak mencerminkan nilai intelektualitas. Seorang mahasiswa dengan berani mengkritisi manipulasi citra, menyuarakan bahwa mengklaim prestasi yang bukan hasil pembinaan sendiri adalah bentuk manipulasi, bukan kebanggaan. Sebuah pandangan yang logis dan sah dalam ruang diskusi akademik.
Namun, alih-alih merespon dengan argumen yang berbobot, seorang admin grup memilih mengambil tindakan mengeluarkan anggota yang mendukung kritik tersebut. Tidak hanya itu, akses pengiriman pesan di grup juga langsung dikunci, membungkam suara-suara lain yang mungkin ingin menyuarakan hal serupa.
Fenomena ini adalah contoh nyata dari matinya ruang dialog di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya pemikiran. Ketika kekuasaan digunakan bukan untuk mengelola diskusi, melainkan untuk membungkam perbedaan pendapat, maka nilai-nilai akademik pun perlahan terkikis.
Seharusnya, mahasiswa sebagai kaum intelektual muda dilatih untuk menghadapi kritik dengan kepala dingin, bukan dengan arogansi kekuasaan. Seharusnya, ruang diskusi dijaga agar tetap sehat, terbuka, dan menghormati setiap pendapat yang disampaikan dengan itikad baik.
Membungkam kebenaran hanya akan memperlihatkan satu hal yaitu ketakutan terhadap kekuatan pikiran yang tidak bisa dikendalikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI