Mohon tunggu...
Daniel Kalis
Daniel Kalis Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Ingin meraih mimpi lewat untaian kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kultus Sebuah Pengorbanan dalam Ritual Saparan Bekakak

17 Desember 2020   09:46 Diperbarui: 17 Desember 2020   09:55 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Budayajogja.com


Yogyakarta terkenal dengan wilayah yang memiliki beragam budaya, salah satunya adalah Saparan Bekakak yang merupakan upacara adat masyarakat di wilayah Ambarketawang, Gamping, Sleman. Acara ini disebut ‘saparan’ karena pelaksanaannya yang selalu dilakukan pada bulan Sapar dalam kalender Jawa.

Saparan Bekakak merupakan salah satu identitas budaya masyarakat Gamping.  Fong menjelaskan identitas budaya sebagai:

identifikasi komunikasi dan sistem perilaku simbolis verbal dan non-verbal yang memiliki arti dan yang dibagikan di antara anggota kelompok yang memiliki rasa saling memiliki dan yang membagi tradisi, warisan, bahasa, dan norma-norma yang sama. Identitas budaya merupakan konstruksi sosial (Fong dalam Samovar, 2014)

Dari definisi di atas, kata kunci yang perlu kita tekankan di sini yakni tradisi, warisan, dan konstruksi sosial. Saparan Bekakak merupakan sebuah upacara adat yang dilakukan secara turun temurun. Awal mula diadakannya upacara ini tidak bisa kita lepaskan dari sejarah mengenai Gunung Gamping dan Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Sejarah Saparan Bekakak

Dilansir dari Liputan 6, pada sekitaran tahun 1755, Sri Sultan Hamengkubuwono I yang bergelar Pangeran Mangkubumi sedang membangun Keraton yang berada di daerah kotamadya. Sembari mengawasi dan menunggu pembangunan Keraton, Pangeran Mangkubumi beserta keluarganya tinggal untuk sementara waktu di Pesanggrahan Ambarketawang bersama abdi kinasih (abdi yang setia) yakni Kyai dan Nyai Wirasuta. Bagi yang belum tahu, Pesanggrahan Ambarketawang letaknya bersebelahan dengan Gunung Gamping yang merupakan pegunungan batu kapur. Banyak masyarakat sekitar sana yang berprofesi sebagai pengumpul batu kapur.

Setelah pembangunan Keraton selesai, Pangeran Mangkubumi beserta keluarga dan abdi dalem Keraton hendak kembali ke kota. Kyai dan Nyai Wirasuta memutuskan tidak ikut dan tetap tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang.

Namun, sebuah malapetaka terjadi pada Jumat Kliwon di bulan Sapar. Gunung Gamping yang merupakan tempat tinggal bagi Kyai dan Nyai Wirasuta runtuh dan menewaskan mereka berdua. Kabar ini pun kemudian sampai ke telinga Sri Sultan yang langsung memerintahkan para prajuritnya untuk menggali reruntuhan dan mencari jasad kedua abdi kinasih ini. Anehnya, jasad mereka tidak pernah ditemukan. Masyarakat Gamping percaya bahwa Kyai dan Nyai Wirasuta moksa dan masih tinggal di Gunung Gamping hingga saat ini.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat setempat diresahkan dengan terus adanya pekerja yang tertimbun reruntuhan gunung setiap bulan Sapar. Melihat kondisi ini, Sri Sultan melakukan pertapaan di Gunung Gamping. 

Dari pertapaan itu, beliau mendapat wisik atau bisikan dari Setan Bekasakan (penunggu Gunung Gamping) untuk mengorbankan sepasang pengantin setiap tahun sebagai imbal balik atas penggalian batu kapur yang dilakukan di wilayah tersebut. Namun, Sultan mengakali hal ini dengan membuat sepasang boneka pengantin dari tepung ketan dan sirup gula merah yang ternyata berhasil. Sejak saat itulah, upacara Saparan Bekakak rutin dilaksanakan setiap tahunnya di Desa Ambarketawang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun