Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Konspirasi di Balik Upaya Penangkapan Novel Baswedan (Kelemahan-kelemahan Pidato SBY - Bagian Kedua)

11 Oktober 2012   06:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:56 1562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_203816" align="aligncenter" width="517" caption="Karikatur Clekit (Sumber: Harian Jawa Pos, Kamis, 11/10/2012)"][/caption]

Poin kedua yang dibicarakan oleh Presiden SBY dalam pidatonya itu adalah mengenai kehendak Polri melakukan proses hukum (penyidikan/penangkapan) kepada Kompol Novel Baswedan. Menurut SBY kehendak Polri itu dilaksanakan dengan cara yang salah. Baik caranya, maupun timing-nya, salah.

Kelemahan pidato SBY di bagian ini adalah dia hanya berhenti pada pernyataan tersebut. Seharusnya, SBY melanjutkan dengan memerintahkan kepada Kapolri bahwa penyidikan kepada Kompol Novel itu dihentikan sementara sampai selesai proses penyidikan kasus korupsi pengadaan simulator SIM oleh KPK, yang dipimpin oleh Kompol Novel tersebut.

Karena SBY tidak tegas terhadap perihal masalah penyidikan Polri terhadap Kompol Novel itu, maka sekarang timbul dualisme tafsir terhadap ucapannya itu dari pihak Polri. Seperti yang diberitakan Harian Kompas, Kamis, 11/10/2012, Kepolisian kini terpecah dalam menyikapi pidato SBY tentang penanganan kasus Kompol Novel itu. Kepolisian Daerah Bengkulu memutuskan menunda sementara penanganan kasus itu (pernyataan Kapolda Bengkulu), tetapi Kepolisian Negara RI menyatakan masih mengevaluasi kasus itu (pernyataan Kapolri).

Kepala Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Suhardi Allyus, sehari setelah pidato SBY itu, mengatakan Polri tetap mengusut penyidik KPK, Kompol Novel Baswedan: “(Tuntutan) hukum harus berlanjut. Kalau terbukti, lanjut di pengadilan. Kalau tidak terbukti, dihentikan.”

Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan Kapolri Jenderal Timur Pradopo sebelumnya, ketika ditanya sikap Polri terhadap pidato SBY itu, bahwa Polri akan tetap mengevaluasi penyidikan terhadap Kompol Novel itu.

Menurut saya, secara tidak langsung, apa yang diputuskan oleh Kepolisian Negara RI (Mabes sPolri) ini merupakan bentuk ketidakpatuhan kepada atasan tertingginya, Presiden SBY.

SBY harus tuntas menyatakan bahwa Polri untuk sementara harus menghentikan penyidikan tersebut, karena akan mengganggu proses penyidikan KPK terhadap kasus korupsi pengadaan simulator SIM. Penyidikan oleh KPK itu, inisiatornya dan tim penyidiknya diketuai oleh Kompol Novel Baswedan.  Pasti kalau proses penyidikan terhadap Novel diteruskan, apalagi sampai ditangkap polisi, proses penyidikan kasus korupsi simulator SIM itu terganggu sekali. Halmana yang dicurigai merupakan maksud sebenarnya polisi menangkap Novel itu. Ini sangat kuat indikasinya, seperti yang saya ulas di bawah nanti. Maksud terselubung polisi inilah yang harus dicegah, dengan perintah dari SBY itu.

Selanjutnya, SBY harus memerintahkan Kapolri untuk membentuk tim independen, yang bisa terdiri dari unsur Polri, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komnas HAM, untuk melakukan penyelidikan untuk mengungkapan ada apa sebenarnya motif di belakang begitu bersemangat dan ngototnya Polri menangkap Kompol Novel berdasarkan tuduhan kasus penganiayaan berat 8 tahun lampau itu. Kenapa bisa bertepatan sekali dengan proses penyidikan terhadap Irjen Djoko Susilo. Apakah motifnya sungguh-sungguh murni melaksanakan tugas kepolisian yang profesional, ataukah merupakan kamuflase motif sebenarnya. Yakni, demi kepentingan pribadi-pribadi tertentu di Kepolisian untuk menyelamatkan mereka dari dari kasus korupsi simulator SIM, atau kasus lainnya yang bisa terungkap kalau kasus itu terus diselidik KPK.

Perihal investigasi menyeluruh mulai dari Kepolisian di Bengkulu. Polda Metro Jaya, Mabes Polri, hingga rencana penangkapan Kompol Novel di KPK, sudah disarankan oleh Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Albert Hasibuan. “Hasil penyelidikan oleh dua institusi ini, saya kira akan obyektif,” kata Albert (Kompas, Kamis, 11/10/2012).

Menurut saya, lebih baik lagi, kalau juga melibatkan unsur dari KPK untuk melakukan penyelidikan latar belakang, keabsahan prosedur, dan motif Polri mau menangkap Kompol Novel itu..

Albert Hasibuan tidak menjelaskan apakah saran Wantimpres itu secara resmi sudah disampaikan kepada Presiden SBY, ataukah belum. Kalau belum, seharusnya saran ini segera disampaikan kepada Presiden SBY.

*

Yang dimaksud SBY dengan “cara yang salah” adalah Polri hendak melakukan penangkapan tersebut dengan cara mendatangi Gedung KPK secara tiba-tiba, bahkan mengepung Gedung KPK dengan sekitar 200 orang polisi, baik yang berpakaian seragam polisi/provos, maupun preman/batik (TEMPO, 14/10/2012). Sedangkan yang langsung masuk ke Gedung KPK ada sekitar 10 orang dipimpin oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bengkulu Komisaris Besar Dedy Irianto didampingi sejumlah petinggi Polda Metro Jaya berpangkat Ajun Komisaris.

Yang dimaksud SBY dengan “waktu (timing) yang salah” adalah aksi untuk menangkap Kompol Novel itu dilakukan pada saat dia dalam kapasitasnya sebagai penyidik KPK sedang menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM itu (yang melibatkan Irjen Djoko Susilo).

Belakangan, setelah gagal menangkap Kompol Novel di Gedung KPK,  pihak Polri menyangkal mereka ke sana untuk menangkap Novel. Katanya, mereka ke Gedung KPK itu hanya hendak melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan pihak Pimpinan KPK tentang maksud tersebut.

Tentu saja cara berkelit dengan argumen itu benar-benar sangat konyol. Bagaimana bisa Polri mengatakan mereka ke sana hanya untuk koordinasi dengan Pimpinan KPK, sedangkan kedatangan itu dilakukan secara tiba-tiba. Para Pimpinan KPK tidak tahu-menahu, sehingga pada waktu mereka tiba di sana semua Pimpinan KPK sudah tidak berada di tempat. Kalau benar mau koordinasi, normalnya adalah seharusnya mereka telah melakukan kontak dengan Pimpinan KPK terlebih dulu, misalnya, melalui telepon tentang tempat dan waktunya.

Apalagi kedatangannya itu juga hanya dilengkapi surat perintah penangkapan yang tidak disertai dengan persetujuan pengadilan dan belum ada nomornya.

Kejanggalan lain, masakan hanya untuk koordinasi saja yang datang begitu banyak polisi? Yang masuk ke Gedung KPK itu diperkirakan ada 10 orang Perwira Polisi berpangkat Komisaris Besar dan Ajun Komisaris. Sedangkan di luar gedung ada sekitar 200 orang polisi berseragam dan berpakaian batik/preman. Apa iya untuk koordinasi saja sampai memerlukan begitu banyak polisi. Perkiraan saya, pasukan polisi itu dikerahkan ke Gedung KPK untuk mengantispasi kalau terjadi perlawanan ketika Kompol Novel ditangkap dan hendak dibawa pergi.

Waktu beraksinya polisi-polisi itu pun teramat sangat janggal. Hanya sekitar dua jam setelah Irjen Polisi Djoko Susilo meninggalkan Gedung KPK, sesudah menjalani pemeriksan, mulai berdatanganlah pasukan polisi itu ke Gedung KPK. Pasti aksi tersebut sudah direncanakan sebelumnya, diatur begitu Djoko Susilo meninggalkan Gedung KPK, polisi segera masuk untuk menangkap Kompol Novel. Aksi tersebut sengaja dilakukan secara tiba-tiba sebagai shock therapy kepada KPK, dan kepada Kompol Novel yang dianggap telah “mengkhianati” polisi. Bahkan berani “kurang ajar” dengan memeriksa seorang perwira berpangkat Inspektur Jenderal. Penangkapan itu bagi mereka sebagai suatu aksi menangkap “seorang pengkhianat.”

Bukan hanya insiden di Jumat, 5 Oktober 2012 di Gedung KPK itu saja yang penuh dengan kejanggalan, tetapi juga latar belakang, prosedur, dan alasan Polri hendak menangkap Kompol Novel pun penuh dengan kejanggalan. Sangat sulit untuk mengatakan bahwa semua itu bukan merupakan rekayasa.

Sebelum Polri melancarkan “serbuannya” ke Gedung KPK itu, terungkap bahwa sesaat setelah terjadi penggeledahandan dan penyitaan barang bukti  di kantor Korlantas, Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan,  pada 30 Juli 2012, dan ditetapkannya Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka oleh KPK. Kompol Novel dan keluarganya mulai mendapat teror dari “orang-orang tidak dikenal,” maupun oleh polisi secara langsung. Bahkan beberapa anggota Densus 88 dikabarkan sempat mendatangi rumah Novel di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Novel dijadikan sasaran karena dia adalah inisiator yang mengungkapkan kasus tersebut, dialah yang memimpin penggeladahan di kantor Korlantas itu, dan Novel pulalah adalah ketua tim penyidik kasus korupsi simulator SIM itu. Karena itulah dia paling tahu belangnya para koruptor di Polri itu.

TEMPO melaporkan bahwa dua minggu sebelum adanya upaya menangkap Novel itu, terungkap ada beberapa orang polisi, di antaranya Komisaris Polisi Rudi Asriman yang selama beberapa hari mengawasi rumah Novel itu. Rudi menemui Ketua RT tempat tinggal Novel menanyakan macam-macam tentang Novel, apakah rumah yang sedang dipugar itu benar rumah Novel, kapan dia beli, harganya berapa, dan seterusnya. Bahkan Rudi juga mendatangi toko material penyuplai bahan bangunan buat rumah Novel. Pemilik tokonya ditanyai macam-macam, antara lain siapa yang membayari bahan-bahan bangunan yang dibeli Novel itu. Maksudnya, siapa tahu ada cukong yang membayari Novel. Alias Novel bisa disalahkan menerima gratifikasi atau suap.

Kompol Rudi adalah personel Pusat Pengamanan Internal Mabes Polri.

Ada juga orang-orang tak dikenal yang diduga adalah polisi yang bertanya macam-macam kepada sopir Novel tentang mobil yang dipakai Novel. Kapan dibelinya, harganya berapa, bagaimana cara pembayarannya, dan sebagainya.

Intinya, telah terjadi operasi rahasia dari Perwira-perwira Polri tertentu untuk mencari-cari kesalahan Kompol Novel.

Gagal mencari-cari kesalahan Novel di Jakarta, mereka beralih ke Bengkulu. Kota tempat Novel pernah bertugas sebagai polisi dari 1999 - 2005. Di sana, polisi membongkar-bongkar arsip lama mengenai Polisi Novel Baswedan. Jabatan terakhir Novel di Bengkulu adalah dengan pangkat AKP menjabat sebagai Kasat Reserse di Malporesta Rejang Lebong, Bengkulu (2005). Tiga bulan kemudian, Novel mengikuti seleksi calon penyidik KPK, dan lulus. Sejak itu dia pindah ke Jakarta, dan mulai bekerja sebagai penyidik di KPK.

Sejumlah polisi dari Jakarta itu datang ke Kepolisian Resor Bengkulu untuk menjalankan misi rahasia mereka mencari-cari kesalahan Kompol Novel Baswedan. Mereka menanyai bagian Profesi dan Pengamanan untuk menelisik: barangkali Novel pernah melakukan kesalahan. Arsip-arsip lama tentang Novel pun diminta untuk dipelajari.

Kepala Polres Bengkulu Ajun Komisaris Besar Joko Suprayitno dan Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Bengkulu Ajun Komisaris Besar Hendrik Marpaung yang diminta konfirmasinya oleh TEMPO, membenarkan kedatangan polisi-polisi dari Jakarta itu. Cuma mereka mengatakan tidak tahu apa maksud kedatangan polisi-polisi dari Jakarta itu. Sesuatu yang kedengarannya tidak masuk akal.

Semua permintaan polisi-polisi dari Jakarta itu dipenuhi. Hal ini hanya dimungkinkan kalau ada perintah dari Perwira Polisi yang berpangkat tinggi dari Jakarta. Mungkin lebih tinggi daripada pangkat Kapolda Bengkulu.

Tentang “misi rahasia polisi” ini, sebelumnya, saya pernah mengulas di artikel saya yang berjudul Polri Membuka Front, “Perang” Melawan KPK (06/10/2012), sesaat setelah beredar kabar keadaan di Gedung KPK mencekam setelah didatangi sejumlah polisi.

Saya menulis di artikel tersebut, antara lain: Saya lebih percaya, kalau kejadian sebenarnya adalah begini, setelah mencari tahu, dan akhir mendapat informasi bahwa ternyata Kompol Novel-lah yang sebagai inisiator terungkapkan kasus dugaan korupsi itu, bahkan dia yang menjadi pimpinan tim penyidiknya, Mabes Polri pun memerintahkan Polda Bengkulu, tempat Kompol Novel pernah bertugas, untuk membongkar arsip-arsip lama tentang Novel. Apa saja pelanggaran yang pernah dia lakukan. Maka, ditemukan kasus penganiayaan di tahun 2004 itu. ...

Sekarang, terbukti dugaan dan analisa saya itu benar.

Dari hasil mencari-cari arsip lama di Kepolisian Daerah Bengkulu itu akhirnya polisi-polisi dari Jakarta itu berhasil menemukan apa yang dicari itu: Kesalahan masa lalu Kompol Novel Baswedan, yang bisa dipakai untuk menangkap Novel. Maka, terjadilah koordinasi antara polisi dari Jakarta (entah dari Mabes Polri, ataukah dari Polda Metro Jaya) dengan Polda Bengkulu. Berbekal berkas tahun 2004, yang mencatat “kesalahan” Novel dalam sebuah kasus penganiayaan berat 6 orang pencuri sarang burung walet itulah, mereka kembali ke Jakarta untuk menangkap Novel.

Tapi ternyata semua yang terjadi kemudian di luar skenario.

Mungkin karena terlalu tergesa-gesa mengingat waktu yang sangat mepet dengan jadwal pemanggilan KPK kepada Irjen Djoko Susilo itulah maka mereka tidak sempat lagi untuk memeriksa kembali dokumen tersebut, yang ternyata kemudian terbukti mempunyai banyak sekali kelemahan dan kejanggalan untuk bisa dipakai sebagai alasan hukum menangkap Novel.

Kini, saya menduga, penolakan Djoko Susilo dan tim pengacaranya ketika dipanggil pertamakali untuk diperiksa sebagai tersangka oleh KPK pada Jumat, 28 September 2012 dengan alasan adanya dualisme kewenangan menyidik, dengan meminta fatwa MA segala itu ternyata adalah alasan kamuflase saja.

Mungkin pada waktu itu karena polisi belum berhasil menemukan kesalahan Kompol Novel. Maka, mereka melakukan taktik mengulur-ulur wakyu dengan alasan dualisme kewenangan dan minta fatwa MA tersebut. Mustahil, tim pengacaranya yang terdiri dari para pengacara kawakan, Hotma Sitompel dan kawan-kawannya itu tidak mengerti bahwa UU KPK, khususnya Pasal 50-nya sudah dengan sangat jelas menyatakan KPK yang paling berwenang menyidik kasus tersebut. Mustahil pula mereka tidak tahu bahwa fatwa MA hanya bisa diminta oleh suatu lembaga negara, bukan orang perorang, apalagi ketika berkaitan dengan suatu kasus hukum.

Semua “kebodohan” Djoko Susilo dan tim pengacara itu ternyata hanya taktik mengulur-ulur waktu untuk memberi kesempatan kepada polisi-polisi di lapangan menemukan kesalahan Novel. Prinsip mereka: Mustahil selama bertugas sebagai polisi, Novel tidak pernah melakukan satu pun kesalahan. Akhirnya, perjuangan mereka itu berhasil juga, dengan menemukan kasus penganiayaan itu. Namun kemudian, mungkin karena terlalu terburu-buru, apa yang diperoleh dengan susah payah itu pun masih belum kuat untuk bisa dipakai menangkap Novel. Karena ditemukan banyaknya kejanggalan di dalamnya. Termasuk  kejanggalan Kapolri yang katanya, tidak tahu-menahu tentang kedatangan sejumlah polisi yang mau menagkap Novel di Gedung KPK itu, dan begitu terlalu bersemangatnya Polri untuk mati-matian mau menangkap Novel atas kejadian 8 tahun lampau. Seolah-olah dia adalah penjahat kelas super kakap yang sudah lama menjadi buronan polisi. Maka itu tidak bisa ditunda-tunda lagi, harus segera ditangkap. Sekarang juga, apapun yang terjadi.

Pidato Presiden SBY itu untuk sementara telah meredam kehendak mereka menagkap Novel itu. Tetapi, tidak cukup dengan meredam, SBY sebagai atasan tertinggi Polri juga harus menindaklanjuti dengan perintah yang jelas dan tegas: Untuk sementara hentikan upaya penyidikan terhadap Novel itu sampai selesai proses penyidikan kasus korupsi simulator SIM.

Setelah itu SBY harus memerintahkan kepada Kapolri, membentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki  apa yang sebenarnya terjadi di belakang begitu bersemangatnya polisi menangkap dan menyidik Komnpol Novel itu seperti yang saya singgung di atas.

Tim juga harus menyelidiki, apakah kasus Novel itu memang layak untuk diproses secara hukum, ataukah memang sebenarnya kasus tersebut sudah selesai pada 2004 yang lalu.

Dari hasilnya penyelidikan itu, kalau ditemukan ada kesalahan prosedur, dan penyalahgunaan wewenang polisi-polisi itu, maka mereka semua harus dijatuhi sanksi yang keras dan tegas. Karena apa yang mereka lakukan telah semakin merusak nama buruk Polri.

Langkah penjatuhan sanksi itu, rupanya sudah dilakukan Kapolri kepada Kapolda Bengkulu. Seperti yang diinformasikan dari Mabes Polri. Atas kejadian tersebut, Kapolri Jenderal Timur Pradopo sudah melakukan teguran keras langsung kepada Kapolda Bengkulu Brigjen (Pol) Albertus Julius Benny Mokalu, pada Rabu, 10 Oktober 2012. Teguran itu dilayangkan karena Mabes Polri menilai tindakan tersebut tidak tepat secara etik.

Demikian yang disampaikan oleh Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Sutarman. "Teguran sudah diberikan langsung. Teguran itu sanksi. Secara hukum, kan tidak salah. Mungkin secara etika (salah)," kata Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Sutarman di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu siang, 10 Oktober 2012 (Kompas.com).

Namun, sorenya, di hari yang sama, ketika ditanya wartawan, Kapolda Bengkulu Brigjen (Pol) Albertus Benny Mokalu membantah bahwa dia sudah ditegur secara langsung oleh Kapolri. Albertus mengatakan, dia sama sekali belum menerima teguran dari Kapolri itu.

Dua pernyataan yang saling bertentangan ini menunjukkan betapa buruknya koordinasi di Kepolisian RI. Entah siapa yang berbohong.

Lepas dari siapa yang berbohong, pernyataan dari Mabes Polri, yang disampaikan oleh Komisaris Jenderal Sutarman itu. Bahwa Kapolri telah menjatuhkan sanksi kepada Kapolda Bengkulu berupa teguran keras tersebut, terdengar aneh. Sebab bukankah sebelum SBY berpidato, Mabes Polri justru ikut mendukung proses upaya penangkapan dan penyidikan terhadap Kompol Novel Baswedan itu?

Dari Polda Metro Jaya pun sejumlah perwiranya ikut mendatangi Gedung KPK mendampingi Komisaris Besar Dedy Irianto dari Bengkulu, pada Jumat, 5 Oktober 2012, untuk menangkap Kompol Novel itu, kok Kapolda-nya tidak ditegur Kapolri?

Bahkan konferensi pers yang menjelaskan sikap mendukung Mabes Polri terhadap upaya penangkapan dan penyidikan terhadap Kompol Novel Baswedan itu pun sempat digelar di Mabes Polri, pada 6 Oktober 2012, dihadiri juga oleh Komisaris Jenderal Sutarman sendiri. Mendampingi Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bengkulu Komisaris Besar Dedy Irianto itu. Kok, sekarang menyalahkan Polda Bengkulu?

[caption id="attachment_203811" align="aligncenter" width="448" caption="Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Sutarman (tengah), saat menggelar jumpa pers tentang sikap Polri yang mendukung upaya penangkapan dan penyidikan Kompol Novel, oleh Polda Bengkulu. Kanan: Komisaris Besar Dedy Irianto dari Polda Bengkulu, Sabtu (6/10). Sekarang, malah berbalik, mengatakan upaya Polda Bengkulu itu salah secara etik. Foto: Natalia/jpnn"]

1349936159192580705
1349936159192580705
[/caption]

Terlalu banyak sandiwara dan kejanggalan di sini. SBY sebagai atasan langsung dan  tertinggi Polri harus memerintahkan Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk meng-clear-kan sampai tuntas, dengan penetapan batas waktu tertentu. Jika, tidak sanggup sudah selayaknya Timur dipecat dari jabatannya itu.

Jika SBY tidak melakukan hal ini, maka sia-sialah pidatonya yang bagus itu. ***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun