Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dalang Politik Kotor “Tedjo”

1 Februari 2015   23:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:59 2448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_348984" align="aligncenter" width="630" caption="(Harian Kompas, Minggu, 1 Februari 2015)"][/caption]

Mangkirnya Komisaris Jenderal Budi Gunawan dari panggilan penyidik KPK, Jumat, 30 Januari 2015, selain menunjukkan bahwa dia memang tidak patut dan layak menjadi Kapolri, juga dia – demikian juga sejumlah polisi, termasuk beberapa perwira tingginya yang mangkir dari panggilan KPK, bahkan sudah yang kedua kalinya – terancam pidana karena menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice).

Ancaman pidana terhadap sikap mereka yang mangkir terhadap panggilan penyidik KPK itu diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 21, karena telah menghalang-halangi proses suatu penyidikan oleh petugas yang berwenang (penyidik KPK), demikian dijelaskan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari (Harian Kompas, Minggu, 1 Februari 2015).

Pasal 21 Undang-Undang tersebut berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Hukum yang Sudah Jelas, Sengaja Dibuat Menjadi Tak Jelas

Perilaku Komjen Budi Gunawan dan para perwira polisi lainnya itu sungguh merupakan suatu ironi yang teramat sangat. Betapa tidak mereka itu adalah para perwira tinggi Polri, salah satu lembaga tinggi negara dalam penegakan hukum, justru tidak menghormati suatu proses hukum.

Ditambah lagi bahwa Presiden Jokowi sebelumnya dengan tegas telah menyerukan kepada semua pejabat Polri, maupun KPK agar mematuhi proses hukum masing-masing yang sedang berlangsung, termasuk dan terutama memenuhi panggilan dari penyidik KPK, maupun Polri. Tetapi baru beberapa hari seruan yang sejatinya harus dibaca para perwira Polri itu sebagai suatu perintah dari Presiden, atasan tertinggi mereka, malah diabaikan begitu saja, dengan alasan-alasan yang sebenarnya tidak jelas secara hukum, tetapi direkayasa menjadi seolah-olah jelas oleh pengacaranya.

Budi Gunawan dan para koleganya itu lebih patuh kepada pengacaranya daripada atasan tertingginya, Presiden! Pengacara yang membuat alasan-alasan tak jelas secara hukum, tetapi direkayasa menjadi seolah-olah jelas itu.

Dikatakan Budi Gunawan menolak panggilan KPK, karena belum pernah mendapat surat penetapannya sebagai tersangka, padahal hal itu tidak perlu, dan tidak pernah dipraktikkan KPK, sesuai KUHAP, di dalam surat panggilan itu sudah disebutkan dengan tegas: dipanggil dengan status tersangka tindak pidana gratifikasi. Itu sudah cukup dan ada dasar hukumnya.

Alasan tak jelas kedua, surat panggilan diserahkan dengan cara-cara tak patut, hanya diletakkan begitu saja di kediaman Budi, tidak ada yang menerimanya. Padahal KPK punya bukti surat panggilan itu dikirim ke empat alamat yang berbeda dari Budi Gunawan, dan semuanya ada tanda terimanya.

Alasan tak jelas ketiga, Budi Gunawan menolak datang ke Gedung ke KPK untuk diperiksa itu, karena masih dalam proses permohonan praperadilan. Padahal tidak ada ketentuan hukum yang mengatakan bahwa praperadilan mempengaruhi, atau menghentikan proses penyidikan. Apalagi yang lebih jelas adalah berdasarkan Pasal 77 KUHAP, permohonan praperadilan hanya bisa dilakukan jika terjadi antara lain penangkapan dan penahanan. Penetapan seseorang sebagai tersangka, bukan merupakan obyek praperadilan.

Jelaslah sudah, pengacara Budi Gunawan itu berupaya membuat hukum yang telah jelas ketentuannya menjadi seolah-olah tak jelas. Parahnya para perwira Polri itu pun sepertinya pura-pura tidak tahu tentang hal ini. (Selengkapnya baca artikel: Sikap Budi Gunawan yang Membuat Kita Semakin Yakin Dia Tak Layak dan Patut Menjadi Kapolri).

Seharusnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang diajukan permohonan praperadilan itu, menolak permohonan tersebut, karena tidak ada dasar hukumnya. Jadi, tak perlu lagi ada sidang praperadilan itu. Apa dasar hukumnya untuk pengadilan memproses permohonan tersebut, karena jelas-jelas Budi Gunawan tidak ditangkap, dan juga tidak sedang ditahan. Dia masih berstatus tersangka, sedangkan status tersangka bukan obyek dari praperadilan.

Mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa, dengan tegas mengatakan bahwa gugatan praperadilan Budi Gunawan itu cacat hukum, karena status tersangka tidak bisa digugat. Dasar hukumnya jelas ada di KUHAP. "Penetapan tersangka itu kewenangan penyidik. Tak bisa digugat," katanya, 30 Januari 2015 (Tempo.co).

Salah satu pengacara Budi Gunawan, Fredrich Yunadi, membuat pernyataan yang semakin membuat tidak jelas perkara praperadilan ini. Dia membantah tidak ada landasan hukum permohonan praperadilan Budi Gunawan itu. Fredrich merujuk pada Pasal 95 ayat 1 KUHAP, yang berbunyi: Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Padahal, Pasal ini dengan jelas menyebutkan hanya mereka yang ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili, atau terkena tindakan lain dari penyidik yang keliru dalam penerapan hukumnya, yang berhak menuntut ganti ruginya.

Apa yang dimaksud dengan frasa “tindakan lain”, dijelaskan dalam Penjelasan pasal demi pasal di KUHAP, yaitu: Yang dimaksud dengan kerugian karena tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.

Sekali lagi, dengan jelas Undang-Undang (KUHAP) tidak memasukkan penetapan status tersangka terhadap seseorang sebagai obyek dari praperadilan. Singkatnya: orang yang baru ditetapkan sebagai tersangka tidak bisa mengajukan permohonan praperadilan. Tetapi, kenapa Pengadilan tetap memproses permohonan yang tidak jelas dasar hukumnya ini? Karena hukum di Indonesia memang seringkali tidak jelas kepastian hukumnya, apalagi hendak ditangani oleh penegak hukum yang tidak jelas seberapa tegaknya dia sendiri, alias rekam jejaknya yang sangat meragukan.

Sidang Praperadilan oleh Hakim Tak jelas Rekam Jejaknya

Ketidakjelasan perkara praperadilan yang rencananya akan mulai disidangkan pada Senin, 2 Februari 2015 itu, semakin meragukan kejelasannya, karena ternyata hakim tunggal yang akan menyidangkan permohonan praperadilan tersebut, Sarpin Rizaldi, mempunyai latar belakang hukum yang banyak masalahnya.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mempunyai sedikitnya tiga catatan bermasalah hakim Sarpin Rizaldi ini. Pertama, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pada 2008, dalam kasus terdakwa kepemilikan narkoba Raja Donald Sitorus. Jaksa menuntut Donald hukuman 10 tahun penjara karena terbukti memiliki narkoba seberat 180 gram. Tetapi, Hakim Sarpin hanya mengvonisnya dengan lima tahun penjara.

Pada 2009, dalam sidang kasus korupsi Camat Ciracas, M. Iwan. Jaksa menuntut Iwan tujuh tahun penjara karena terbukti korupsi Rp. 17,9 miliar. Namun, Hakim Sarpin malah membebaskannya.

Pada 2014, Sarpin dilaporkan oleh Komisi Yudisial (KY) atas dugaan suap pada penanganan perkara sengketa paten di Pengadilan negeri Medan.



Di KY sendiri ada delapan laporan terkait Sarpin. Ketua KY Suparman Marzuki menyatakan, salah satu di antara delapan laporan itu menyangkut suap. “Laporan yang menyangkut suap masih terus kami dalami,” ujar Suparman (Harian Jawa Pos, Minggu, 01/02/2015).

Apakah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, tidak ada hakim lain yang lebih patut dan bereputasi bersih untuk menyidangkan permohonan praperadilan yang seharusnya tidak perlu dilaksanakan karena permohonan itu tak punya dasar hukumnya itu?

Dalam peribahasa ada pertanyaan retoris yang berbunyi: “Dapatkan sapu kotor dipakai untuk membersihkan kotoran?”

“Janganlah menyelesaikan masalah dengan masalah!”

Jika hakim yang menyidangkan permohonan praperadilan itu adalah hakim yang berintegritas tinggi, saya yakin, dia akan membuka sidang tersebut dalam waktu singkat saja. Begitu sidang dibuka, dia akan membaca keputusannya bahwa sidang tersebut tidak bisa dilanjutkan karena permohonan praperadilan itu tidak punya landasan hukumnya.

Tentu pihak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak mau menjadi pihak yang menambah keruhnya perkara yang semakin tak jelas penyelasaian hukumnya itu, karena sudah bercampur baur dengan politik kotor dari para politikus bermental tikus.

Revisi Pasal Sangkaan kepada Bambang, yang Tetap Tak Jelas

Saat ini, penyidik Polri telah melayangkan surat panggilan kepada Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto untuk diperiksa lagi sebagai tersangka, pada Selasa, 3 Februari 2015. Namun di dalam surat panggilan terbaru tersebut ada revisi pasal yang disangkakan kepada Bambang.

Sebelumnya, ketika dia ditangkap, polisi menyangkakan Bambang telah melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 242 KUHP juncto Pasal 55 KUHP. Menurut Bambang, pasal-pasal tersebut sifatnya terlalu generik unsur-unsur pidananya dikaitkan dengan tuduhan yang disangkakan kepadanya, oleh karena itulah yang menjadi salah satu alasannya tidak menjawab delapan pertanyaan yang diajukan penyidik Polri kepadanya tempo hari.

Menyadari kekeliruannya itu kini di dalam surat panggilan terbarunya kepada Bambang, penyidik Polri telah merevisi pasal-pasal dimaksud dengan mencantumkan ayatnya yang secara spesifik disangkakan kepada Bambang, yaitu dengan spesifik menyebutkan Pasal 242 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat 1 angka ke-1 dan ayat 1 angka ke-2 KUHP.

Pasal 242 ayat 1 KUHP itu mengenai pidana kepada orang yang melakukan kesaksian palsu, sedangkan Pasal 55 ayat 1 angka ke-1 dan ayat 1 angka ke-2 mengenai ancaman pidana kepada orang yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana kejahatan, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55 (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Namun, meskipun sudah direvisi, tetap saja pasal-pasal tersebut tidak bisa dikenakan kepada Bambang, karena dalam kasus primernya, tidak pernah ada fakta hukum bahwa saksi, atau saksi-saksi yang dimaksud dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat pada 2010 itu ketika memberi kesaksian palsunya karena disuruh oleh pihak lain, atau pengacaranya.

Saksi-saksi palsu siapakah yang dimaksud penyidik Polri yang telah mengaku kesaksian mereka karena disuruh Bambang Widjojanto? Apakah Ratna Mutiara, yang pada Maret 2011 sudah dijatuhi hukum pidana lima bulan penjara? Fakta hukumnya, di persidangan tersebut ketika itu jangankan bukti dia disuruh bersaksi palsu, perihal ada yang menyuruh dia saja tidak ada dalam dakwaan jaksa.

Demikian juga jika memang ada saksi-saksi baru yang mengakui mereka bersaksi palsu karena disuruh Bambang, siapakah manusia-manusia tak waras itu, yang rindu masuk penjara? Karena apabila benar mereka mengaku pernah bersaksi palsu di Mahkamah Konstitusi ketika Mahkamah menyidangkan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat itu, maka berarti sebagai saksi-saksi palsu mereka juga harus masuk penjara, dengan ancaman hukuman sampai tujuh tahun penjara!

Perilaku polisi ini semakin membuat tak jelas kepastian hukum. Hukum direkayasa sebagai prasarana untuk membalas dendam sekaligus menghancurkan KPK. Jika semua pimpinan KPK yang sekarang berhasil dipidanakan, maka dengan sendirinya KPK lumpuh. Budi Gunawan bisa saja lolos dari jeratan hukum yang sudah disangkakan KPK kepadanya.

Dalang Politik Kotor "Tedjo”

Sampai sekarang pun Presiden Jokowi belum mengambil sikap yang tegas dan efektif untuk memperjelas dan menyelesaikan kekisruhan yang semakin buruk ini. Padahal salah satu janji dan program prioritas pemerintah Jokowi adalah memperkuat dengan cara membersihkan lembaga tinggi penegak hukum di bawahnya: Kepolisian dan Kejaksaan dari para pejabat yang bermasalah dengan hukum, maupun yang bermental korup.

Seruan Presiden Jokowi agar tidak terjadi gesekan antara KPK dengan Polri jelas sudah tidak relevan lagi. Karena, jelas yang terjadi sekarang ini bukan hanya sekadar gesekan, tetapi sudah merupakan benturan antara KPK dengan Polri. Sebentar lagi barangkali akan menjadi “perang terbuka”.

Untuk mencegah dan menyelesaikan kasus ini maka jelas diperlukan kecepatan, ketegasan, dan ketepatan Presiden Jokowi dalam mengambil sikap. Hal terpenting yang pertama kali yang harus dilakukan Jokowi adalah mengumumkan bahwa dia membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, yang diikuti dengan proses pemilihan calon Kapolri yang baru mulai dari awal lagi, serta harus belajar dari pengalaman agar jangan salah memilih calon lagi.

Jika Presiden Jokowi masih terus bersikap tidak cepat, tegas, dan tepat dalam mengambil keputusannya menghadapi kasus ini, maka ketidakjelasan kasus ini akan semakin mendalam dan memburuk. Ini sesungguhnya bertentangan dengan karakter Jokowi sebelumnya. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena Jokowi dikelilingi oleh beberapa pembantunya di kabinet, yang tidak jelas kredibilitas dan kapasitasnya sebagai menteri, atau dalam istilah yang lagi ngetrend sekarang adalah mereka disebut sebagai menteri(-menteri) “tedjo”, menteri yang tak jelas kredibilitas dan kapasitasnya. Jadi, yang dimaksudkan di sini bukan spesifik Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo  Edhy Purdijatno, meskipun bisa jadi, dia termasuk di dalamnya.

Dari hari ke hari, perkembangan kasus ini bukannya semakin membaik, tetapi malah semakin memburuk dan semakin serius. Siapa sebenarnya dalang dari semua kekisruhan politik dan hukum yang termasuk terburuk dan paling serius dalam sejarah Republik ini pun belum diketahui secara pasti, mereka masih merupakan para dalang politik terkotor yang berada di belakang layar. Mereka masih merupakan dalang yang tidak jelas alias dalang politik kotor “tedjo”.

Untuk menyelesaikan kekisruhan ini, salah satu caranya adalah Presiden Jokowi harus berani  baik secara langsung atau tidak, mengungkapkan kepada rakyat, siapa saja para dedengkot atau dalang politik “tedjo” itu, dan juga harus berani melawan mereka. Karena dia harus sadar bahwa dia adalah Presiden Republik Indonesia, bukan presiden partai politik di Indonesia mana pun.

Yang justru sejak awal sudah jelas adalah rakyat yang antikorupsi, yang oleh karena itu cinta mati kepada KPK dengan mendukungnya (bukan para pimpinannya). Kepada merekalah Jokowi harus menjelaskan dan melawan, siapa saja para dalang politik kotor "tedjo" itu.

[caption id="attachment_348985" align="aligncenter" width="496" caption="(sumber: Twitter)"]

1422782331650519527
1422782331650519527
[/caption]

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun