Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengapa Nama Ahok Disebut di Surat Wasiat Penyerang Mabes Polri?

12 April 2021   01:14 Diperbarui: 12 April 2021   14:12 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat wasiat Zakiah Aini, penyerang Mabes Polri, pada 31 Maret 2021 (Beritasatu.com).

Perempuan muda generasi milenial, Zakiah Aini (25), yang menyerang Mabes Polri dengan pistol air gun, pada 31 Maret lalu, meninggalkan surat wasiat di rumahnya. Surat itu berisi pesan-pesan terakhirnya buat kedua orangtua dan kakaknya.

Zakiah dalam suratnya itu berpesan kepada kedua orangtua dan kakaknya, terutama mamanya agar rajin sembahyang, mendekati diri kepada Allah, dan tidak berhungan dengan bank karena itu riba yang tidak diridhoi Allah. Tidak bekerja membantu pemerintah yang disebut thogut. Ia berharap dengan kematian yang dia sebut jihad itu akan membawa dia bersama keluarganya masuk surga.

Yang cukup menarik perhatian, adalah satu kalimat pesan untuk kakaknya yang menyingung nama Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta, kini Komisaris Utama Pertamina. Zakia berpesan kepada kakaknya agar "tidak membanggakan kafir Ahok."

Paragraf surat Zakia yang menyinggung nama Ahok itu selengkapnya demikian:

Pesan berikutnya untuk kaka agar rumah Cibubur jaga Dede dan mama, ibadah kepada Allah, dan tinggalkan penghasilan dari yang tidak sesuai jaran islam, serta tinggalkan kepercayaan kepada orang-orang yang mengaku mempunyai ilmu, dekati ustad/ulama, tonton kajian dakwah, tidak membanggakan kafir Ahok dan memakai hijab kak. Allah yang akan menjamin rezeki kak. Maaf ya kak, Zakiah tidak bisa membalas semua pemberian kakak...

Dari paragraf surat tersebut tampaknya ada perbedaan pandangan antara Zakia dengan kakaknya itu tentang Ahok.

Zakia memandang Ahok sebagai bagian dari kafir musuh Islam, sedangkan kakaknya bersimpatik atau pendukung Ahok.

Mengapa secara khusus Zakiah menyebut nama Ahok?

Menurut pengamat intelijen dan terorisme Universitas Indonesia,  Stanislaus Riyanta, hal tersebut berkaitan dengan polarisasi yang terjadi di masyarakat, akibat dari politik identitas di Indonesia.

Stanislaus menyebut meskipun faktor utamanya adalah ideologi radikalisme (agama), tetapi ketegangan politik identitas khususnya politik agama yang memecah belah rakyat  juga menjadi salah satu dorongan Zakiah menyerang instansi pemerintah dalam hal ini Mabes Polri, dan menyebut Ahok sebagai bagian dari musuh karena kekafirannya.

"Faktor politik memang jadi salah satu pendorong, terutama politik identitas, tapi bukan faktor utama, faktor utama tetap ideologi kekerasan radikal. Tapi, politik identitas itu menjadi katalisator atau memanas-manasi akasi teror itu," kata Stanislaus (1/4/2021).

"Dia sebut-sebut Ahok, pemerintah thagut. Yang di Makassar juga begitu. Itu juga yang diajarkan ISIS. Pemerintah thagut, polisi thagut, beda keyakinan thagut yang harus dimusuhi," jelasnya.

Politik identitas khususnya politik agama yang memecah belah rakyat yang mana kah yang dimaksud Stanislaus Riyanta?

Apalagi kalau bukan, yang paling utama adalah apa yang pernah terjadi  di pilkada DKI Jakarta 2017?

Inilah pilkada yang paling destruktif sepanjang sejarah Indonesia. Ketika hanya demi memperoleh jabatan gubernur DKI Jakarta, untuk masa jabatan 5 tahun, mereka tega menghalalkan segala cara dengan menggunakan agama sebagai senjata andalannya untuk memenangi pilkada tersebut. Bukan lagi visi dan misi. Karena mereka tidak percaya diri, jika hanya mengandalkan visi dan misi merasa pasti akan kalah.

Agama sebagai senjata andalan untuk jabatan gubernur tersebut bukan agama murni, tetapi merupakan manipulasi dari agama itu sendiri. Agama dipolitisir dan dimanipulasi sedemikian rupa untuk mempengaruhi sebanyak mungkin pemilih agar membenci calon lawannya atas dasar alasan agama yang telah dimanipulasi itu.

Politik kebencian dibalut agama-lah yang dikumandangkan secara terstruktur, sistematis, dan masif, di hampir setiap kesempatan kepada sebanyak mungkin warga DKI Jakarta. Agama dimanipulasi dan dipolitisir dengan propaganda kebencian secara maksimal terhadap calon gubernur lawannya, yaitu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Bahkan di masjid-masjid di seantero DKI Jakarta digunakan penceramah untuk menyebarkan kebencian atas nama agama tersebut. Maksudnya adalah dengan kebencian tersebut warga DKI Jakarta pasti tidak akan memilih Ahok.

Memilih Ahok yang kafir pasti akan masuk neraka (sebaliknya memilih calon mereka akan masuk surga). Ada pula ancaman bahwa mereka yang tetap memilih Ahok, jenazahnya dan jenazah keluarganya tidak akan disholati.

Saking terstruktur, sistematis, dan masifnya serangan terhadap Ahok dengan menggunakan sentimen kebencian agama, dan masjid-masjid pun digunakan untuk keperluan itu, hingga bukan hanya Ahok, tetapi juga calon pasangan wakil gubernurnya, Djarot Syaiful Hidayat,  yang nota bene sesama Islam pun ikut dibenci.

Jumat, 14/4/2017, seusai menunaikan ibadah sholatnya di Masjid Al-Atiq, di Tebet, Jakarta Selatan, Djarot diusir ramai-ramai oleh jemaah di sana yang sebagian besar adalah para pemuda.

Lewat pengeras suara masjid, terdengar seruan kepada jemaah agar tidak memilih pemimpin kafir dalam Pilkada DKI. Bahkan, saat Djarot bersiap meninggalkan masjid, mereka berteriak, "Usiiir!! Usiiirr...". Mereka juga menyerukan takbir dan mengimbau agar jemaah memilih pemimpin seiman.

"Itulah bentuk yang saya sebut sebagai politisasi masjid, untuk kepentingan-kepentingan politik praktis,” sesal Djarot saat itu.

Semula Djarot merasa jemaah di masjid itu menerima kedatangannya. Bahkan mereka sempat meminta bersalaman dan berfoto. Namun, situasi berubah ketika seorang takmir menyampaikan larangan memilih pemimpin non-muslim. "Sebetulnya jemaahnya tidak apa-apa. Cuma tadi takmirnya yang mulai provokasi," ujar Djarot.

Demikian pula saat Djarot mengunjungi kelurahan Kembangan Utara, di Jakarta Barat, pada 19/11/2016, ia dihadang dan diusir oleh sejumlah pemuda dengan alasan karena Djarot berpasangan dengan Ahok si penista agama.

Dua peristiwa itu merupakan contoh pada Pilkada DKI Jakarta 2017 betapa generasi milenial sudah berhasil diprovokasi sedemikian dalamnya dengan politik identitas dengan kebencian berdasarkan agama.

Efeknya pun berkelanjutan sampai ke peristiwa penyerangan Mabes Polri oleh perempuan muda milinela bernama Zakiah Aini yang baru berusia 25 tahun.

Unjuk rasa yang berjilid-jilid pun diisi sepenuhnya dengan penyebaran kebencian tersebut. Berkali-kali orator unjuk rasa mengumandangkan "bunuh Ahok", "darah kafir Ahok halal."  Kebencian seperti itu sampai meresapi anak-anak muda, bahkan sampai ke anak-anak kecil. Ketika itu, sempat viral pula ada segerombolan anak-anak yang berpawai sambil berdendang "bunuh Ahok!" berulang-ulang.

Saking destruktifnya pilkada DKI Jakarta 2017 itu sampai menarik perhatian internasional.

Inilah untuk pertama kalinya sebuah pilkada di Indonesia sampai menarik perhatian dunia. Media-media di berbagai negara memberitakan dan mengulasnya, Amnesti Internasonal pun sampai memberi pernyataan kritisnya, hingga memasukkannya ke dalam laporan tahunan tahun 2017 mereka.

Pada 22 Februari 2018, Amnesti Internasional merilis laporan tahunan tahun 2017 mengenai situasi Hak Asasi Manusia di 159 negara, termasuk Indonesia. Dalam laporannya itu, Amnesti Internasional antara lain menyatakan bahwa tahun 2017 merupakan penanda berkembangnya secara signifikan politik kebencian di Indonesia berlandaskan agama, terutama di DKI Jakarta dalam pemilu gubernur dan wakil gubernur 2017.

Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid, di Jakarta, dalam merilis laporan Amnesti Internasional tersebut mengatakan, politik kebencian menggunakan sentimen moralitas agama di Indonesia. Salah satunya yang paling destruktif adalah pada pilkada DKI Jakarta 2017. Ketika itu, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok divonis dua tahun penjara akibat dianggap menodai agama Islam.

"Lawan politik Ahok menggunakan sentimen anti-Islam untuk mengumpulkan ratusan ribu massa di Jakarta dan menekan penegak hukum memenjarakan Ahok," kata Usman Hamid ketika itu.

Sejak sekitar tahun 2015-2016 sudah mulai beredar isu di kalangan umat Islam DKI Jakarta bahwa haram bagi umat Islam memilih seorang kafir Ahok menjadi pimpinan (gubernur) mereka.

Kebetulan sekali pada 27 September 2016, saat melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok melakukan blunder dengan membuat pernyataan yang menyinggung surat Al Maidah ayat 51 yang dikaitkan dengan beredarnya isu yang dikaitkan dengan dirinya bahwa haram memilih pemimpin kafir bagi umat Islam itu.

Bak mendapat durian runtuh bagi lawan politik Ahok. Blunder Ahok itu adalah "bunuh diri politik"-nya. Ahok bak memberi senjata pamungkas lengkap dengan amunisinya kepada lawannya untuk menyerangnya secara telak.

Mereka tahu bahwa rakyat Indonesia termasuk warga DKI Jakarta sebagian besar masih merupakan masyarakat primordialisme, yang dalam mengambil suatu keputusan kerap hanya berdasarkan kesamaan budaya, suku, etnis, golongan, dan terutama agama. Oleh karena itu agama adalah alat paling gampang dan paling ampuh untuk digunakan sebagai senjata politik.

Itulah yang dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menghancurkan reputasi Ahok dengan menanam rasa benci sebenci-bencinya sebanyak mungkin warga DKI Jakarta beragama Islam kepada Ahok sebagai penista agama.

MUI   tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu, -- sebagaimana lazimnya Islam dalam menangani suatu masalah, -- langsung memutuskan Ahok telah melakukan penistaan agama.

Meskipun Ahok telah berkali-kali menjelaskan bahwa ia tak bermaksud melakukan penistaan agama, dan meminta maaf berulang-ulang. Tiada tersedia secuil maaf pun baginya.

Bagaimana maaf itu mau diberikan apabila momen kesalahan Ahok tersebut justru sangat diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh lawan politiknya di pilkada DKI 2017 tersebut.

Sebaliknya hasutan kebencian atas nama membela agama semakin membesar.

Bukan hanya umat Islam Jakarta, tetapi juga umat Islam di seluruh Indonesia pun terhasut dengan propaganda kebencian tersebut.

Demo berjilid-jilid yang dipimpin oleh Ketua FPI Rizieq Shihab untuk terus menekan pemerintah dan Polri untuk segera menangkap, mengadili, dan menghukum penjara Ahok dengan hukuman maksimal pun terus dilakukan.

Ironisnya, pemerintah dan polri pun akhirnya takluk oleh tekanan massa tersebut.

Ahok pun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka, disidangkan, dan dihukum penjara selama dua tahun sebagai penista agama. Semua itu berlangsung dengan super cepat. Tercepat dalam sejarah proses hukum Indonesia.

Rekor lain pun tercipta. Belum pernah dalam sejarah hukum Indonesia, ada proses hukum secepat kilat proses hukum terhadap Ahok itu. Mulai dari proses hukum di Mabes Polri, Kejaksaan Agung, sampai ke tahapan peradilan. Semua tunduk pada tekanan massa. (Selengkapnya, baca artikel: Kasus Ahok Memang Karena Tekanan Massa).

Mereka tidak perduli akibat dari politik identitas dengan modus propaganda kebencian atas dasar manipulasi dan politisasi agama, demi kepentingan politik sesaat (kekuasaan) itu daya destruktifnya meluas ke seluruh Indonesia, dan mempunyai ekses selama bertahun-tahun sesudahnya, sampai sekarang. Muncullah polarisasi dalam masyarakat yang mengancam persatuan dan kesatun rakyat Indonesia, yang dirasakan sampai sekarang.

Salah satu dampaknya adalah seperti yang dikemukakan oleh pengamat intelijen dan terorisme Universitas Indonesia,  Stanislaus Riyanta tersebut di atas.

Meskipun faktor utama munculnya aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh generasi muda milenial itu adalah indoktinisasi ideologi radikalisme agama, namun politik identitas yang terstruktur, sistematis dan masif, seperti yang pernah terjadi di pilkada DKI Jakarta 2017 tersebut turut membuat mereka membenci dan menganggap musuh, siapa saja yang berbeda keyakinan. Apalagi terhadap sosok Ahok yang dianggap telah melakukan penistaan agama.

Bukti paling kongkrit adalah mengapa nama Ahok disebut secara khusus di dalam surat Zakiah Aini tersebut.

Yang paling mengkhawatirkan adalah orang-orang yang sama, tidak pernah menyesal atas apa yang telah mereka lakukan itu. Sebaliknya, karena mereka merasa telah mengalami kemenangan besar dengan penerapan politik identitas di pilkada DKI 2017 itu, mereka berkeinginan untuk mengulanginya di level nasional, yaitu di pilpres 2024. Saat ada calon mereka yang (sama) ikut dalam konstestasi pilpres 2024 itu kelak.   (dht)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun