Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kerusuhan Mei 1998, Saya Malah "Patroli" Keliling Kota

21 Mei 2012   17:34 Diperbarui: 8 Mei 2018   11:39 7889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta (Sumber: akumassa.org)

Maksud saya “patroli” itu adalah ingin tahu seperti apa kondisi kota Surabaya pada waktu itu. Saya lupa, apakah setelah meletus kerusuhan besar di Jakarta (13 – 15 Mei 1998), ataukah sebelumnya. 

Yang pasti waktu saya keliling kota Surabaya, mulai dari kawasan Mayjen Sungkono, Ahmad Yani, Raya Darmo, Urip Sumoharjo, Basuki Rachmat, sampai ke kawasan Kertajaya, semuanya terlihat mencekam sekali. Suasana kota sepi sekali, semua toko dan kantor tutup. Di hampir setiap perempatan jalan dan beberapa kantor bank, dan lain-lain terlihat dijaga banyak tentara bersenjata lengkap. Ada pula yang dilengkapi dengan panser-panser.

Kenapa saya bilang bodoh dan konyol? Karena saya tidak pikir panjang, bagaimana seandainya ketika “patroli” di kota Surabaya itu, mendadak meletus kerusuhan besar seperti di Jakarta, dan saya terjebak di tengah-tengahnya? Bukankah kemungkinan besar saya akan menjadi korban kerusuhan?

Namun, dari pengalaman itu, dan dari hasil pengamatan saya ketika itu, serta kemudian dalam beberapa peristiwa serupa dalam skala yang lebih kecil, seperti Peristiwa Semanggi, di Jakarta, boleh dikatakan Surabaya adalah satu-satunya kota besar, bahkan terbesar kedua setelah Jakarta, yang relatif paling aman. 

Ketika meletus kerusuhan besar yang berdarah-darah dan merengut ribuan korban jiwa selama beberapa hari di Jakarta, yang kemudian merembet ke kota-kota (besar) lainnya seperti Medan, Makassar, dan terutama di Solo, situasi dan kondisi Surabaya relatif aman terkendali. Tidak ada aksi-aksi anarkis yang destruktif secara signifikan. Tidak ada pembakaran dan penjarahan toko-toko milik orang-orang WNI keturunan Tionghoa, seperti di Jakarta, Solo, Medan, dan lain-lain. 

Sepanjang masa krisis dan kerusuhan-kerusuhan itu, Surabaya “tidak ikut-ikut”. Meskipun tetap diliputi dengan suasana mencekam, kota Surabaya adalah satu-satunya kota besar yang relatif aman.

Kata pengamat, dan saya setuju, itu antara lain karena hubungan kemasyarakatan warga kota Surabaya, yang terdiri dari berbagai etnis dan agama itu jauh lebih baik daripada situasi dan kondisi di kota-kota (besar) lainnya, yang terkesan serba eksklusif. Terutama sekali di Jakarta. Di samping itu ada juga karakteristik warga Surabaya yang serba blak-blakan. Tidak suka dibilang tidak suka. Tidak berpura-pura baik di depan, tetapi menyimpan dendam di belakang. Yang seperti api dalam sekam, bisa meledak setiap waktu.

Hubungan antara etnis Tionghoa dengan warga “asli” Surabaya, misalnya relatif sangat baik. Ada juga pemersatu di antara mereka yang kerap menggunakan bahasa daerah khas Suroboyoan yang sama dalam pergaulan sehari-hari. Semuanya bersatu dalam sebutan “Arek Suroboyo”.

Berpikir dan merenung, saya berkata kepada diri saya sendiri, lain kali, jangan lagi melakukan tindakan konyol seperti di Mei 1998 itu. Tentu saja yang jauh lebih penting, kita berdoa bersama agar peristiwa seperti Kerusuhan Mei 1998 jangan lagi terulang kembali. Tetapi, mungkin apa yang saya lakukan itu juga terdorong dari naluri dan semangat seperti seorang wartawan, ya? Yang selalu ingin tahu secara langsung suatu peristiwa. Meskipun, saya bukan wartawan. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun