Mohon tunggu...
Dania Sabrina Ziliwu
Dania Sabrina Ziliwu Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Hukum President University

Imago Dei

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Persamaan Hak Perempuan dalam Hukum Waris Masyarakat Patrilineal

16 Maret 2021   12:10 Diperbarui: 16 Maret 2021   12:19 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam hal sengketa objek waris yang terjadi diantara anak-anak alm. I Wayan Nardo ini, I Gede Sadha tidak mencoba membawa perkara ini untuk dimusyawarahkan kepada petua-petua adat seperti bendesa adat ataupun prajuru desa. Padahal tergugat menggunakan hukum adat Bali dalam argumentasinya. Tergugat beralasan bahwa dalam hukum adat Bali, hanya anak laki-laki atau anak perempuan yang diberikan status sebagai anak laki-laki yang bisa mendapatkan status sebagai ahli waris dan juga mendapatkan bagiannya dalam pembagian objek waris.

Dengan kata lain, tergugat sangat selektif untuk membangun argumentasinya dan juga menggunakan argumentasi tersebut untuk mendukung kepentingannya agar bisa menguasai objek waris berdasarkan hukun adat Bali lama tanpa memperhatikan eksistensi dari Keputusan Pesamuhan Agung III atau MUDP Bali 2010.

Penggugat menggunakan Keputusan Pesamuhan Agung III sebagai dasar argumenatasinya agar para penggugat bisa mendapatkan status sebagai ahli waris dan juga mendapatkan bagiannya dalam pembagian objek waris ini. Namun sayangnya, majelis hakim baik majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi, Pengadilan Tinggi Surabaya, maupun Mahkamah Agung tidak mengindahkan adanya peraturan terbaru di Bali yang mengatur tentang hak waris, yaitu Keputusan Pesamuhan Agung III. Tentu hal ini bisa dipertanyakan, mengapa majelis hakim tidak menggunakan Keputusan Pesamuhan Agung III sebagai dasar pertimbangannya dan dasar penilaian dalam memutus perkara ini. Apakah hakim tidak setuju dg keputusan MUDP? Atau hakim menganggap bahwa keputusan MUDP itu bukan sumber hukum? Atau hakim mungkin berpandangan bahwa keputusan MUDP hanya berlaku di Bali, sedangkan perkara ini terjadi untuk orang yang tinggal di luar Bali dan objek sengketanya juga di luar Bali.

Untuk menjawab pertanyaan diatas, penulis berargumen bahwa majelis hakim tidak mempertimbangkan Keputusan Pesamuhan Agung III karena memang dalam praktiknya Keputusan Pesamuhan Agung III belum dilaksanakan dengan baik. Dalam artian masyarakat adat Bali pun masih menggunakan hukum adat Bali yang lama.[2] Namun, memang sebaiknya Keputusan Pesamuhan Agung III dijadikan pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara ini. Sebab Keputusan Pesamuhan Agung III dapat menjadi jawaban untuk persamaan hak waris perempuan dan juga laki-laki. 

Sementara itu, melihat hakim memutus perkara dengan menggunakan hukum adat Bali meskipun objek waris tidak berada di Bali, dapat disimpulkan bahwa hukum adat Bali mengikuti 'orangnya'. Sebab hakim memutus perkara sengketa waris ini dengan menggunakan hukum adat Bali, sekalipun objek warisnya berada di Banyuwangi, Jawa Timur. Dengan demikian, dapat juga disimpulkan bahwa hukum adat itu 'berjalan' mengikuti orangnya kemanapun mereka pergi.

Pada dasarnya, hakim sudah menjalankan kewajibannya untuk menerapkan hukum yang hidup dalam masyarakat, sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat."  Akan tetapi dalam menerapkan Pasal 5 UU Kehakiman ini pun, hakim abai memperhatikan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat itu pun mengalami perkembangan. Dengan kata lain, hukum yang hidup di dalam masyarakat itu bersifat dinamis, contohnya Keputusan Pesamuhan Agung III.

Implikasi Putusan Mahkamah Agung Terhadap Masyarakat Bali

Dengan adanya Putusan Mahkamah Agung ini tentunya memberikan dampak, baik kepada para penggugat dan tergugat, juga memberikan dampak kepada masyarakat adat Bali. Hakim tidak menerapkan Keputusan Pesamuhan Agung III, dan bahkan tidak menjadikan Keputusan Pesamuhan Agung III sebagai dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini.

Selain Keputusan Pesamuhan Agung III yang diabaikan oleh hakim, hakim juga mengabaikan Putusan Nomor 179 K/SIP/1961 yang sudah menjadi yurisprudensi bagi penyelesaian sengketa waris. Meskipun Putusan Nomor 179 K/SIP/1961 menyelesaikan sengketa waris dalam masyarakat adat Karo, namun tetap saja putusan tersebut bisa dikaitkan dalam kasus sengketa waris di Bali ini. Sebab kedua wilayah adat tersebut sama-sama menggunakan sistem patrilineal. Yang mana, dalam putusan Putusan Nomor 179 K/SIP/1961 menyatakan bahwa Mahkamah Agung mengakui atas dasar kemanusiaan, keadilan, dan persamaan hak waris antara perempuan dan laki-laki dianggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia. Maka dari itu, di Tanah Karo juga dapat diterapkan hukum ini sehingga anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris dan berhak menerima bagian dari harta warisan yang dimiliki oleh orangtuanya.

Atas dasar itulah, patut dipertanyakan mengapa hakim tidak menggunakan Keputusan Pesamuhan Agung III dan juga Putusan Nomor 179 K/SIP/1961 yang jelas memaparkan keberpihakannya terhadap persamaan hak waris antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan Mahkamah Agung inkonsistensi dalam menyelesaikan perkara waris. Dengan tidak diaplikasikannya Keputusan Pesamuhan Agung III serta penolakan Mahkamah Agung dalam putusan sengketa waris di bali ini maka dapat dikatakan bahwa eksistensi Keputusan Pesamuhan Agung III hanya sebagai formalitas saja untuk memperlihatkan adanya kesamaan hak waris dalam masyarakat adat Bali.

Kesimpulan

Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menganut sistem patrilineal. Sistem kekerabatan patrilineal merupakan sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari laki-laki (ayah). Maka dari itu status ahli waris hanya bisa diberikan kepada anak laki-laki saja atau anak yang diberi status sebagai laki-laki (purusa). Namun, pada tahun 2010 Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali mengeluarkan Keputusan Pesamuhan Agung III yang mengatur tentang hukum waris terbaru, yang menyatakan bahwa anak perempuan atau anak yang diberi status sebagai perempuan (predana) bisa mendapatkan harta warisan.

Dalam kasus ini, penggugat menggunakan Keputusan Pesamuhan Agung III untuk membangun argumentasinya agar bisa mendapatkan haknya sebagai ahli waris. Namun hakim tidak mengindahkan bahkan tidak menyinggung Keputusan Pesamuhan Agung III dan juga Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 1961 tentang sengketa waris di tanah Karo sebagai pertimbangan dalam memutus perkara ini. Atas dasar itulah, patut dipertanyakan mengapa hakim tidak menggunakan Keputusan Pesamuhan Agung III dan juga Putusan Nomor 179 K/SIP/1961 yang jelas memaparkan keberpihakannya terhadap persamaan hak waris antara laki-laki dan perempuan. Dengan tidak diaplikasikannya Keputusan Pesamuhan Agung III serta penolakan Mahkamah Agung dalam putusan sengketa waris di bali ini maka dapat dikatakan bahwa eksistensi Keputusan Pesamuhan Agung III hanya sebagai formalitas saja untuk memperlihatkan adanya kesamaan hak waris dalam masyarakat adat Bali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun