Mohon tunggu...
Danar Wiyoso
Danar Wiyoso Mohon Tunggu... -

biasa disapa Danar, mahasiswa tingkat akhir Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota di Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bersepeda: Cara Nikmat Merasakan Ruang Kota

25 Januari 2010   01:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:17 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kota Yogyakarta, yang dahulu dikenal dengan kota sepeda, kini mulai ‘menggenjot’ warganya untuk kembali bersepeda. Hal ini dikarenakan oleh banyaknya kendaraan bermotor yang berdampak negatif pada kualitas udara di kota ini. Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto, mengawali aksi membudayakan gowes ini dengan ‘gerakan’ SEGO SEGAWE (SEpeda kangGO SEkolah lan nyambut GAWE) yang artinya naik sepeda untuk sekolah dan bekerja. Selain Sego Segawe masih banyak lagi komunitas dan klub sepeda yang ada di kota ini misalnya Podjok (Paguyuban Onthel Jokja), Jogja Onthel Club, Bike to Work chapter Jogja, Jogja Folding-Bike (komunitas sepeda lipat), komunitas Low Rider dan masih banyak lagi.
Tulisan ini terinspirasi setelah penulis mengikuti salah satu acara sepeda gembira yang diadakan oleh SMAN 3 Yogyakarta sebagai puncak acara ulang tahunnya ke-67, Padmanaba Fun Bike 2009. Acara yang diikuti oleh sekitar 8.000an pegowes dan dibuka oleh Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X, ini berlangsung pada Minggu (6/12) dengan start-finish di Alun-Alun Utara Yogyakarta yang kemudian menempuh rute jalan protokol di Kota Yogyakarta. Acara ini adalah salah satu dari sekian banyak acara bersepeda yang mulai membudaya di Yogyakarta dan bertujuan mengembalikan kota ini sebagai kota sepeda sekaligus membantu mengurangi dampak global warming, jadi bersepeda ini diharapkan tidak hanya menjadi tren sesaat. Berbagai komunitas dan klub sepeda dari berbagai penjuru turut ambil bagian dalam acara ini.
Genjotan para pegowes dimulai dari Jalan Trikora kemudian belok ke kiri (arah Barat), dalam genjotan ini citra kota yang tampak antara lain: bangunan kuno Gedung KONI, Gedung Bank BNI 46 (dulu bernama Nill Maattschappij), Gedung Senisono (dulu Societeit de Vereneging), kemudian koridor jalan yang ‘berasa’ nuansa Kampung Kauman dan Kampung Suronatan, perempatan Ngabean, Pasar Serangan dengan hiruk pikuknya di pagi hari, dan sampai ke perempatan Wirobrajan belok ke kiri (arah Selatan). Ketika melintas di jalur ini pegowes disuguhi nuansa kawasan yang boleh dikatakan mulai mengkota (urbanize) karena kawasan Bugisan-Patangpuluhan ini terletak di pinggiran kota, yaitu perbatasan Kecamatan Wirobrajan (Kota Yogyakarta) dengan Kecamatan Kasihan (Kabupaten Bantul). Pada etape selanjutnya ditempuh rute panjang dimulai dari perempatan Bugisan ke arah Timur melewati Pojok Beteng (Jokteng) Kulon, disini dapat merasakan keberadaan bangunan cagar budaya berupa bagian dari Beteng Kraton di sebelah Barat, Plengkung Gading, dan Pojok Beteng Wetan, serta keberadaan Museum Perjuangan. Etape ini merupakan trek berupa jalan lurus yang membentang dari Jalan Sugeng Jeroni sampai ujung Jalan Menteri Supeno, di sepanjang jalan ini dapat dirasakan keberadaan ruko-ruko, rukan (rumah kantor), losmen, dan pasar sepeda PPSY yang cukup legendaris.
Sesampainya di ujung Jalan Menteri Supeno, genjotan sepeda diarahkan menuju Jalan Veteran, disini dapat melihat bekas Terminal Umbulharjo yang sedang dibangun menjadi sebuah pusat kerajinan dan seni, selain itu juga melewati bangunan kuno berupa situs Warungboto yang pada jaman Sultan Hamengku Buwono II bernama Pesanggrahan Rejowinangun, tempat untuk bermeditasi. Perjalanan di etape ini bersambung ke perempatan SGM (sebuah pabrik susu terkenal), kemudian melewati Balaikota Yogyakarta, di sepanjang Jalan Kenari dapat dirasakan keberadaan kantor-kantor pemerintahan dan instansi lain, yang pada hari kerja selalu sibuk dengan aktivitasnya. Setelah melewati dua ruang publik berupa Stadion Mandala Krida dan bekas GOR Among Rogo yang kini sedang dibangun kembali pasca gempa, genjotan dapat dinikmati setelah memasuki kawasan yang teduh dan sejuk, yaitu kawasan Gayam.
Kawasan ini berada di sepanjang Jalan Gayam atau Jalan Bung Tardjo, disini dulu masih banyak pohon-pohon perindang yang berfungsi sebagai paru-paru kota, namun sekarang sudah berkurang akibat terpaan angin putting beliung. Di kawasan ini bangunan penting yang dilewati adalah studio Radio Geronimo FM – radio yang telah berusia 38 tahun dan menjadi radio kenamaan di kota ini, oleh karena itu tagline radio ini adalah ‘The Real Sound of Yogya’ dan ‘Love Yogya and You’ – dan gedung Gayam 16, gedung ini tempat berkumpulnya komunitas Gayam 16, komunitas yang didirikan oleh seniman dan budayawan (Alm) Sapto Rahardjo, beliau yang memprakarsai Yogyakarta Gamelan Festival, event internasional yang bertujuan mengenalkan gamelan kepada generasi muda melalui ‘gamelan gaul’ dan menjadi musik yang dapat dimainkan dengan jenis musik apapun.
Sesampainya di perempatan Gayam, genjotan diteruskan ke Jalan Dr. Sutomo, disini melewati kawasan komersial dan Museum Batik sebelum menuju jalan layang Lempuyangan, setelah melewati jalan layang pegowes menuju kawasan Kotabaru, yang hanya menyisakan sedikit bangunan-bangunan dengan arsitektur kolonial Belanda, salah satunya adalah bangunan SMAN 3 ‘Padmanaba’ Yogyakarta (dulu bernama gedung A.M.S). Di kawasan ini pegowes melewati Jalan Atmo Sukarto, Jalan Yos Sudarso, dan Jalan Suroto, sehingga masih dapat merasakan nuansa historis dari kawasan ini, karena masih dijumpai bangunan-bangunan bersejarah. Sampai di perempatan Gramedia, etape diteruskan ke arah Barat menuju Jalan Jenderal Sudirman. Koridor jalan ini banyak berdiri bangunan denga fungsi perdagangan dan jasa, seperti hotel, bank, dan restoran, di jalan inipun juga masih dijumpai adanya bangunan dengan arsitektur indis. Etape ini berujung di perempatan Tugu, yang dilanjutkan ke etape berikut yaitu melewati hiruk pikuk Pasar Kranggan dan menjumpai aktivitas lain di sepanjang koridor komersial di Jalan Diponegoro, lanjut lagi ke Jalan Tentara Pelajar melewati gedung Samsat, Perpustakaan Daerah, dan bangunan lainnya dengan fungsi perdagangan dan jasa, serta fungsi pendidikan.
Ini merupakan etape terakhir, dimulai dari perempatan Badran menuju Jalan Pasar Kembang melewati sisi Selatan dari Stasiun Tugu, lalu berbelok ke Kanan (arah Selatan) menuju kawasan Malioboro yang setiap hari Minggu pagi (05.00-08.00) ditutup untuk kendaraan bermotor, sehingga sepanjang Jalan Malioboro sampai Jalan Ahmad Yani menjadi ruang publik yang dapat digunakan masyarakat untuk melakukan aktivitas seperti berolahraga (senam pagi, jogging, lari pagi), bersepeda, dan bermain skateboard. Citra kota yang dapat dinikmati di sepanjang koridor ini adalah beberapa bangunan dengan ciri khas shophouse. Memasuki Jalan Ahmad Yani seakan-akan bernostalgia ke jaman kolonial karena di jalan ini sampai perempatan Kantor Pos Besar (yang dikenal dengan kawasan Nol Kilometer), pegowes disuguhi beberapa bangunan dengan arsitektur kolonial seperti Gedung Agung (dulu dikenal dengan Loji Kebon), Benteng Vredeburg (dulu bernama Rustenburg), dan Kantor Pos Besar. Selain itu juga ada Monumen Serangan Oemoem 1 Maret, Monumen Ngejaman, dan tak ketinggalan Pasar Beringharjo. Para penggenjot pun memasuki garis finish di Alun-Alun Utara setelah melewati koridor historis ini.
Tidak hanya bangunan dan hiruk pikuknya, beberapa bentang alam berupa keberadaan tiga sungai yang mengaliri kota inipun juga terlintasi oleh para pegowes. Pegowes dapat melihat Sungai Winongo ketika melintas diatas Jalan RE Martadinata, kemudian dapat menikmati Sungai Code dari atas jembatan di Jalan Kolonel Sugiono serta dari Jalan Jenderal Sudirman, dan Sungai Gajahwong dapat dilihat ketika pegowes melintasi Jalan Veteran.
Kenikmatan merasakan ruang-ruang kota dapat ditemukan dengan cara bersepeda, dengan bersepeda seolah-olah waktu akan berjalan melambat, sehingga masyarakat pengguna sepeda dapat merasakan perubahan ruang di kotanya. Hal sederhana dengan cara yang sederhana juga ini baru ditemui ketika mengikuti sepeda gembira, belum lagi ketika nanti gowes melewati jalan-jalan kampung yang pastinya akan menyajikan nuansa keramahan penduduk kampung selain kenikmatan ruang-ruang yang ada di kampung. Inilah efek positif dari bersepeda, selain menyehatkan, murah, dan dapat mambantu mengurangi emisi bahan bakar, juga dapat memotret keunikan ruang-ruang kota beserta segala perkembangannya.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun