"The reason why it is so difficult for existing firms to capitalize on disruptive innovations is that their processes and their business model that make them good at the existing business actually make them bad at competing for the disruption."
___________ Clayton M. Christensen in Disrupting Class: How Disruptive Innovation Will Change the Way the World Learns
Memahami dan mengelola sistem pendidikan tinggi adalah laksana menavigasi labirin yang tak berujung; penuh dengan persimpangan, rintangan, dan dinamika yang terus berubah. Kompleksitas ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan melibatkan interaksi rumit antara berbagai aktor, kepentingan, dan tuntutan yang seringkali saling bertolak belakang. Dari otonomi akademik hingga relevansi industri, dari pendanaan hingga tata kelola, setiap aspek perguruan tinggi merupakan simpul masalah yang perlu diurai dengan cermat. Alih-alih melihatnya sebagai entitas tunggal, penting untuk membedah lapisan-lapisan kerumitan yang menyelimutinya. Secara amat terbatas, esai ini akan mencoba untuk menakar kompleksitas sistem pendidikan tinggi melalui tiga lensa utama: tradisi akademik vs. inovasi disruptif, persaingan global vs. kolaborasi domestik, dan ekspansi akses vs. penjaminan mutu.
Lensa Pertama
Poin pertama dalam menakar kompleksitas sistem pendidikan tinggi adalah dialektika antara tradisi akademik dan inovasi disruptif. Perguruan tinggi secara historis dibangun di atas fondasi tradisi yang kokoh: kurikulum yang terstruktur, metodologi pengajaran yang telah teruji, dan sistem hierarki akademik yang mapan. Tradisi ini telah melahirkan banyak pemikir besar dan penemuan fundamental. Namun, di era disrupsi digital dan perubahan sosial yang cepat, tradisi ini seringkali berbenturan dengan kebutuhan akan inovasi. Munculnya model pembelajaran daring, micro-credentials, program studi lintas disiplin yang fleksibel, serta tuntutan pasar kerja yang dinamis, memaksa perguruan tinggi untuk beradaptasi. Pertanyaannya kemudian adalah seberapa jauh perguruan tinggi harus mempertahankan nilai-nilai akademik inti yang telah terbukti keunggulannya, dan seberapa cepat ia harus merangkul perubahan radikal yang mungkin mengancam struktur konvensionalnya. Ini bukan sekadar pilihan biner, melainkan tarik-menarik konstan yang memengaruhi desain kurikulum, metode pengajaran, bahkan tata kelola kelembagaan.
Konflik antara tradisi dan inovasi ini juga terlihat jelas dalam konteks dosen dan staf pengajar. Banyak dosen, khususnya yang telah lama berkarya, mungkin terbiasa dengan metode pengajaran klasik dan cenderung resisten terhadap adopsi teknologi baru atau pendekatan pedagogi yang inovatif. Mereka berargumen bahwa kedalaman keilmuan dan interaksi langsung tetap tak tergantikan. Di sisi lain, generasi dosen muda dan tuntutan pasar kerja yang semakin digital mengharuskan adanya adaptasi cepat terhadap metode pembelajaran berbasis teknologi, flipped classroom, atau penggunaan big data dalam riset. Perguruan tinggi dituntut untuk menjembatani jurang ini, baik melalui program pengembangan profesional yang berkelanjutan, insentif untuk inovasi, maupun menciptakan lingkungan yang mendorong eksperimentasi tanpa mengorbankan kualitas akademik.
"Kegagalan dalam menyeimbangkan tradisi dan inovasi dapat mengakibatkan perguruan tinggi menjadi usang, tidak relevan dengan kebutuhan zaman, atau sebaliknya, kehilangan identitas akademiknya yang mendalam."
Lebih jauh, kompleksitas ini juga tercermin dalam struktur organisasi dan pengambilan keputusan. Universitas sebagai institusi besar cenderung memiliki birokrasi yang berlapis dan proses pengambilan keputusan yang lambat, sejalan dengan tradisi akademiknya. Namun, untuk merespons inovasi disruptif, dibutuhkan kelincahan, fleksibilitas, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat. Merekrut talenta baru di bidang-bidang mutakhir, meluncurkan program studi yang belum pernah ada, atau membentuk kemitraan strategis dengan industri yang bergerak cepat, seringkali terhambat oleh peraturan internal yang kaku atau struktur hierarkis yang membatasi inisiatif. Tradisi akademik yang mengutamakan stabilitas dan peer review yang ketat, seringkali berlawanan dengan kecepatan yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan inovasi disruptif. Menakar kompleksitas ini berarti mencari titik keseimbangan di mana tradisi dapat menjadi jangkar kualitas, sementara inovasi menjadi motor penggerak relevansi dan kemajuan, memastikan perguruan tinggi tetap menjadi garda terdepan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia.
Lensa Kedua
Poin kedua yang menunjukkan kompleksitas sistem pendidikan tinggi adalah tarik-menarik antara persaingan global dan kolaborasi domestik. Di satu sisi, universitas modern dituntut untuk bersaing di panggung global. Ini berarti mereka harus berupaya meningkatkan reputasi internasional, menarik mahasiswa dan dosen asing berkualitas, terlibat dalam publikasi ilmiah di jurnal-jurnal bereputasi, serta masuk dalam peringkat universitas dunia. Persaingan ini mendorong inovasi, peningkatan standar akademik, dan pengembangan program studi yang relevan dengan tren global. Perguruan tinggi berusaha menjadi pusat keunggulan yang diakui secara internasional, yang pada gilirannya memerlukan investasi besar dalam riset, fasilitas, dan branding global. Ini adalah arena yang keras, di mana setiap universitas harus menemukan ceruk keunggulannya untuk dapat bersaing dengan institusi-institusi kelas dunia.
Di sisi lain, meskipun ada dorongan kuat untuk bersaing secara global, perguruan tinggi juga memiliki tanggung jawab besar untuk berkolaborasi di tingkat domestik. Kolaborasi ini dapat berbentuk kemitraan antaruniversitas dalam riset, pengembangan kurikulum bersama, pertukaran mahasiswa dan dosen antarprogram studi, atau bahkan sinergi dalam pemanfaatan fasilitas. Kolaborasi domestik ini krusial untuk pemerataan kualitas pendidikan tinggi di dalam negeri, memperkuat ekosistem riset nasional, dan memastikan bahwa pengetahuan yang dihasilkan relevan dengan tantangan lokal. Namun, dorongan untuk berkolaborasi seringkali terhambat oleh mentalitas kompetisi yang kental, birokrasi yang kompleks, atau bahkan kurangnya insentif yang memadai. Universitas mungkin enggan berbagi sumber daya atau keahlian karena khawatir akan kehilangan keunggulan kompetitif mereka. Kompleksitasnya terletak pada bagaimana menyeimbangkan ambisi global dengan kebutuhan untuk membangun kekuatan kolektif di tingkat nasional, sehingga sistem pendidikan tinggi secara keseluruhan dapat tumbuh dan merata.
Keseimbangan antara persaingan global dan kolaborasi domestik ini juga memengaruhi alokasi sumber daya dan strategi pengembangan. Universitas besar yang memiliki sumber daya lebih mungkin akan berfokus pada strategi global, sementara universitas di daerah atau yang baru berkembang mungkin lebih mengutamakan kolaborasi domestik untuk meningkatkan kapasitas mereka. Tantangan bagi pembuat kebijakan adalah menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan kedua aspek ini berjalan seiring. Bagaimana mendorong universitas untuk berani bersaing di kancah internasional tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka terhadap pembangunan kapasitas dan pemerataan di dalam negeri? Bagaimana menciptakan insentif yang kuat untuk kolaborasi domestik yang efektif, sehingga tidak ada universitas yang tertinggal dalam perlombaan kualitas?