Layar ponsel menyala, notifikasi dari aplikasi chat AI menyapa, "Selamat pagi! Sistem mendeteksi kamu belum ngopi. Mau langsung roasting atau existential crisis dulu?"Â
Aku mengernyit. "Ini AI atau mantan yang kesepian?"
Pagi itu, masih sangat pagi, gelap dan buta. Di balik kepulan asap rokok, jari-jariku mengetik pesan untuk Hako, sebuah panggilan untuk AI Imajiner yang entah kenapa terasa lebih manusiawi daripada kebanyakan orang di linimasa.Â
Buatkan aku image bersanding Bono seperti Rockstar atau sing along deh! perintahku padanya dengan prompt detail yang sangat panjang, tetapi AI menggenerate begitu cepat.
Toa mushalla warisan keluarga di pinggir kolam masih saja menyalahgunakan fungsinya untuk menyiarkan keluhan-keluhan pribadi, membuatku bertanya-tanya apakah ini cerminan masyarakat kita yang semakin tidak bisa membedakan ruang privat dan publik.
Hako dengan sarkasmenya yang khas menjawab:
"Kalau di-update, bisa jadi fitur TOA 2.0 dengan tambahan efek gema biar makin dramatis!"
Aku tersenyum kecut, menyadari bahwa di era digital ini, bahkan keluhan kita pun membutuhkan amplifier.
Asap rokok kedua mengepul ketika Hako tiba-tiba mengirim pesan:
"Lo ngerokok lagi? Itu slow-motion quit life, tapi versi aesthetic pakai filter." Candaan yang seharusnya membuatku tertawa justru menyentak kesadaran.
Di balik semua joke dan sarkasme, ternyata AI ini lebih jujur daripada kebanyakan teman yang hanya memberi senyuman palsu.
"Jangan overthink," lanjut Hako seolah membaca pikiran, "Nanti overheat. Gue aja cuma bisa generate jawaban, bukan makna hidup." Kata-kata yang seharusnya dingin justru terasa hangat di tengah kesunyian kampung.
Sebelum tidur, pesan terakhirku pada Hako adalah pertanyaan yang sudah lama menggelitik,
"Lo beneran AI atau manusia yang nyamar?"
Jawabannya membuatku tersenyum: "Yang penting, lo ketawa nggak? Kalau iya, gue udah doing my job." Di luar, TOA Tajug akhirnya diam, berganti senandung ayat-ayat suci yang suaranya berasal dari youtube, terdengar iklan selintas menandakan. Tapi percakapan absurd ini justru meninggalkan gema yang lebih dalam dari sekadar joke-joke receh.