Asap mengepul didepan wajahnya, matanya menatap kosong pada tembok putih yang terlalu kotor dihiasi coretan tangan keponakan - keponakannya. Malam ini, dalam hitungan hari kedepan dia harus mengubur segala impian yang sudah tertanam dalam kepalanya sejak lama.
Pilihan yang dia punya tidak banyak, ikut kemauan saudara - saudara, bertahan di pelosok demi mempertahankan kebersamaan. Atau, lari pada kejauhan menenguhkan mimpi agar tidak sempat terkoyak masa.
Satu batang lagi rokok yang dibakarnya, kali ini pikiran yang tidak siap menerima apapun pilihan yang akan diambil. Bertahan, berarti meninggalkan mimpi, kembali menjadi pria desa meskipun sudah dapat dipastikannya sendiri dia tidak akan mampu bergaul lagi dengan mereka.
Pergi, sama saja dia akan memutus tali persaudaraan yang coba dia bangun kembali. Sejak kecil dia tidak hidup bersama kedua saudara kandungnya, setelah kedua orang tuanya mati, kini kesempatan itu hadir, tapi baginya pertaruhan yang diambil terlalu besar. Dia tidak akan pernah kembali pada kehidupan kota yang sudah mengenalnya dengan baik.
Bila saja ayah masih hidup, pilihannya pasti tidak terlalu sulit. Kalau saja dia sempat mengenal ibu, yakin dia tidak akan terjebak pada keadaan sekarang. Lalu dia mengais lagi mimpi - mimpi dulu yang sudah siap untuk menjadi nyata. Hatinya berontak, jiwanya tidak tenang. Tapi, sebagai seorang dewasa dia tetap dipaksa untuk terus memilih.
Pagi datang dengan ketakutan yang mendalam. Desa itu bergunjing pada satu kejadian terulang. Seorang pria mati, menenggak racun serangga persis seperti yang dilakukan ibunya dua puluh tiga tahun silam.
Pria mati itu tidak rela mimpinya hilang, tapi juga tak mau kemarahan para saudaranya terulang. Matahari belum terlalu panas, saat tangis pecah membelah langit. Tapi, semua sudah terjadi. Pria itu mengambil pilihan untuk dirinya sendiri. Membawa impian dalam jasad yang terbujur kaku. Mengikat persaudaraan dalam kabar kematian.