Puisi bukanlah kata dengan nada sama,
Bukan pula sajak tanpa makna,
Janganlah kau membuat irama,
Tiada sudi aku mendengar atau membaca,
Ah akupun seperti kau pada akhirnya...
Benarkah kau menggoreskan tinta,
Tulis yang hanya terbelah menjadi dua,
Itukah yang kau sebut puisi sempurna,
Tak sadar, kau sudah menjadi gila,
Ah aku masih seperti dirimu sepertinya...
Tiada patah kata yang tidak bernoda,
Semua sama seperti manusia, berdosa!
Tapi, kau membuatnya menjadi lelucon saja,
Hampir -- hampir aku lupa makna puisi sebenarnya,
Ah aku sudah terpengaruh dirimu, pujangga...
Demi sebuah pengakuan nama,
Kau hilangkan kesempatan bagi lainnya,
Ini bukan tempat sampah belaka,
Kalau -- kalau kau lupa tujuan menggoreskan perih sesungguhnya,
Ah aku kerasukan dirimu, tampaknya...
Bisakah aku meminta satu atau dua,
Bukan hanya untukku, juga untuk anakmu nantinya,
Biarlah yang ternoda menjaga dirinya,
Biarlah dosa menyebuhkan lukanya,
Pujangga...
Buatlah sebuah karya,
Karya yang memang benar ada artinya,
Kau tidak ingin menjadi bahan cemooh di dunia,
Terlebih bagi orang -- orang yang merasa kau tak sehebat dirinya,
Pujangga...
Sudahlah aku pergi saja,
Kau hanya diam saat aku berbicara,
Lalu pantulan itu menghilang bersama,
Menunjukkan punggungku yang sudah terlena...