"Sekalian bala bencana tertolak, nikmat dekat. Padi menjadi, buahnya lebat, dan terhindar dari mara bahaya," kata seorang tokoh masyarakat mendatangkan permohonan doa dan kaji usai masa tanam baru saja selesai.
Intinya, selesai masa bertanam di sawah, masyarakat yang dikomandoi "orang siak" melakukan "ratik tolak bala".
Wirid dan tradisi sejak dulunya di sebagian besar nagari di Kabupaten Padang Pariaman, melakukan ratik tolak bala sehabis bertanam.
Ratik tolak bala ini dengan cara membaca kalimah thaibah, dengan cara mengelilingi area persawahan.
Artinya, setelah berusaha kita tidak boleh lupa berdoa. Sebab, yang akan menumbuhkan padi, dan menjadikannya makan pokok, ya Tuhan yang punya kuasa untuk itu.
Makanya, ratik tolak bala bagian dari doa dan ikhtiar kita kepada Yang Maha Kuasa, agar semua tujuan tercapai.
Begitu juga di ladang. Ketika musim panceklik. Misalnya semua tanaman petani di ladang habis atau dimakan oleh hama, maka ratik tolak bala pun digelar.
Caranya, sama dengan yang di sawah. Hanya, berkeliling tentu dalam kampung. Mulai di surau milik masyarakat terus berkeliling ke seluruh kampung yang menjadi kekuasaan orang siak tersebut.
Umumnya, peserta ratik tolak bala itu adalah kaum laki-laki. Berada di barisan belakang orang siak. Sementara, kaum perempuan dalam kampung mengantarkan nasi ke surau.
Dan ada yang menunggu di rumahnya. Ketika barisan orang banyak sedang ratik tolak bala sampai di rumahnya, dengan senang hati dia beri nasi dan sambal yang sudah dibungkus dengan daun pisang.