Tentu persoalan banyak hal pula tamu itu datang ke pondoknya yang sederhana itu. Ada yang sekedar curhat soal konflik dalam kampung, cerita soal pertanian, dan ada juga yang minta didoakan, lewat sebotol air putih untuk obat bagi tamu dan keluarganya, misalnya.
Dan banyak pula yang minta dirukyah lewat bacaan ayat Quran. Tamu ini datang lengkap dengan anak atau dunsanaknya yang sedang sakit. Lalu oleh Buya Zainuddin dirukyah.
Namun, ketika jam dia sedang mengajar, tamu harus sabar menunggu sampai selesai baru dilayaninya.
Sebab, mengajar adalah tugas pokok dalam pengabdiannya yang panjang di pesantren yang ikut didirikannya bersama Buya Ahmad Yusuf Tuanku Sidi itu.
Tak heran, tamu yang sudah tahu jamnya tak pernah datang pagi. Paling siang hingga malam.
Hanya tamu baru yang belum tahu jamnya mengajar, sering tiba pagi. Tapi beruntung, bila pagi itu libur mengaji, seperti hari Kamis, misalnya langsung saja ke tujuan maksud.
Sepertinya, Buya Zainuddin, ayah dari tiga orang putra-putri ini mewarisi ulama besar dan hebat zaman dulu. Belajar tawaduk dan rendah hati dari Buya Musa Tapakis, Buya Tuanku Shaliah Lubuk Pandan, membuat dia selalu istiqamah.
Alim dan taat beribadah, tentunya bagian dari buah belajar yang panjang dan lama. Tahan akan segala godaan, mampu berlayar di tengah gelombang pasang yang begitu dahsyat, Buya Zainuddin Tuanku Bagindo Basa seorang ulama yang selalu memelihara ketaatannya.
Ditambah lagi, mengajar di Lubuk Pua, sebuah surau yang dulunya banyak melahirkan ulama hebat dan terkenal. Surau Pekuburan, nama asli Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pua ini.
Terkenal dengan kehebatan seorang ulama besar, Tuanku Bagindo Lubuk Pua. Seorang ulama wara', selalu menjaga ibadah, dan terkenal keramatnya.
Sepertinya, kebesaran nama Lubuk Pua oleh Tuanku Bagindo dulunya, tak terputus. Terus bersambung dan bersambung hingga akhir yang panjang tentunya.
Tiap waktu suara azan bergema di surau itu, membuat pelaksanaan shalat berjemaah tak pernah putus di surau itu.