Mohon tunggu...
Shafwan R
Shafwan R Mohon Tunggu... Marhaenis yang yakin, "Marhaen pasti menang!"

Secara rutin menulis esai dan analisis terhadap ketidakadilan sosial-ekonomi dan politik dari sudut pandang Rakyat, sekaligus menawarkan gagasan progresif serta solusi praktis bagi kaum Marhaen. Lewat penelusuran historis dan konstitusional, saya berusaha mendalami pemikiran para pendiri bangsa, termasuk Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir, serta relevansi ideologi-ideologi kerakyatan ketiganya untuk tantangan masa kini, seperti tantangan geopolitik, ketidakadilan sosial, dan ketimpangan ekonomi. Saya berupaya konsisten menyintesiskan berbagai warisan pemikiran-pemikiran pendiri bangsa untuk memperkuat jiwa Marhaen dan mendorong terwujudnya Pancasila di bumi Nusantara, terutama keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Sampai Indonesia Jadi Seperti Kenya: Krisis Akuntabilitas Aparat dan Impunitas di Kenya

29 Juni 2025   11:31 Diperbarui: 29 Juni 2025   11:31 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh carnegieendowment.org

Serangkaian insiden kekerasan oleh aparat keamanan di Kenya, yang baru-baru ini berpuncak pada kematian seorang blogger dan penembakan seorang pedagang kaki lima, telah memicu gelombang kemarahan publik dan secara tajam menyoroti masalah akut kebrutalan polisi serta impunitas di negara tersebut. Peristiwa tragis ini, yang terjadi hanya setahun setelah penindasan mematikan terhadap demonstrasi antipajak, secara gamblang memperlihatkan adanya pola pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis oleh aparat penegak hukum dan tantangan serius terhadap prinsip supremasi hukum di Kenya. Kondisi ini menjadi sebuah case study yang relevan dan penting untuk dicermati oleh Indonesia, mengingat upaya berkelanjutan dalam memperkuat reformasi kepolisian dan penegakan hukum yang akuntabel tengah diperjuangkan.

Kasus kematian Albert Ojwang, seorang blogger berusia 31 tahun yang meregang nyawa dalam tahanan polisi pada awal Juni, menjadi pemicu utama protes yang meluas di seluruh Kenya. Ojwang ditangkap setelah Wakil Kepala Polisi Kenya, Eliud Lagat, mengajukan pengaduan atas tuduhan pencemaran nama baik di media sosial.

Kendati pada awalnya pihak kepolisian mengklaim bahwa Ojwang meninggal dunia karena luka yang ditimbulkan sendiri, hasil autopsi secara definitif membantah klaim tersebut, mengindikasikan bahwa ia kemungkinan besar meninggal akibat luka penganiayaan. Perkembangan krusial ini memaksa Eliud Lagat untuk mengundurkan diri sementara menunggu hasil investigasi, meskipun ia menyangkal melakukan kesalahan.

Selanjutnya, tiga petugas polisi---Samson Kiprotich, Talaam James Mukhwana, dan Peter Kimani---bersama dengan tiga warga sipil lainnya, kini telah didakwa atas pembunuhan Ojwang. Proses hukum ini, meskipun masih dalam tahap awal, merupakan ujian penting bagi sistem peradilan Kenya dalam menegakkan akuntabilitas terhadap aparat negara dan memberikan keadilan bagi korban. Bagi Indonesia, kasus Ojwang adalah pengingat betapa krusialnya transparansi dalam penanganan kasus kekerasan aparat dan pentingnya sistem peradilan yang independen untuk mencegah impunitas yang dapat mengikis kepercayaan publik.

Eskalasi Kebrutalan dan Impunitas di Kenya: Kasus Penembakan Boniface Kariuki

Kemarahan publik di Kenya semakin memuncak menyusul insiden tragis penembakan Boniface Kariuki, seorang pedagang kaki lima, selama demonstrasi di Nairobi yang menuntut keadilan atas kematian blogger Albert Ojwang. Peristiwa ini secara tajam menggarisbawahi eskalasi kebrutalan polisi dan masalah impunitas yang mendalam di negara tersebut, sekaligus menjadi pelajaran penting bagi Indonesia dalam konteks penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.

Kariuki, yang dilaporkan tengah menjual masker, ditembak dari jarak dekat oleh seorang petugas polisi berseragam. Rekaman video yang beredar di media sosial menunjukkan petugas yang menembak berusaha menyembunyikan wajahnya dengan masker, sementara Kariuki sendiri terlihat tidak bersenjata dan tidak menimbulkan ancaman apa pun. Insiden ini secara tragis memperkuat tuduhan luas tentang penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat kepolisian terhadap pengunjuk rasa damai di Nairobi tersebut.

Kondisi kritis Kariuki dan pengakuan pahit dari keluarganya yang menyebutnya sebagai tulang punggung keluarga, secara signifikan memperkuat desakan publik untuk menuntut penuntutan terhadap petugas yang bertanggung jawab. Kasus ini telah menarik perhatian luas, termasuk dari kedutaan asing dan berbagai organisasi hak asasi manusia internasional, yang secara kolektif menyerukan transparansi penuh dalam investigasi dan penegakan akuntabilitas yang tegas bagi para pelaku.

Situasi di Kenya ini menunjukkan bagaimana kegagalan dalam menegakkan keadilan dan memberikan akuntabilitas atas pelanggaran yang dilakukan oleh aparat dapat mengikis kepercayaan publik, memicu protes yang lebih besar, dan menarik kecaman internasional. Bagi Indonesia, kasus Boniface Kariuki di Kenya adalah peringatan penting bagi negara kita tentang perlunya mekanisme pengawasan internal dan eksternal yang kuat terhadap aparat penegak hukum, serta pentingnya respons cepat dan transparan terhadap setiap dugaan pelanggaran hak asasi manusia guna mencegah eskalasi konflik dan menjaga stabilitas sosial.

Pola Kekerasan dan Impunitas Aparat di Kenya: Pelajaran Berharga bagi Indonesia

Insiden kematian Albert Ojwang dan penembakan Boniface Kariuki di Kenya tidak dapat dipandang sebagai peristiwa terpisah, melainkan merupakan bagian dari pola kekerasan aparat dan impunitas yang berulang, yang telah menjadi sorotan tajam setahun sebelumnya di Kenya. Tepatnya pada 25 Juni 2024, pasukan keamanan Kenya menembaki kerumunan pengunjuk rasa antipajak di luar gedung parlemen, sebuah peristiwa berdarah yang kemudian diungkap secara mendetail oleh investigasi BBC World Service.

Analisis terhadap lebih dari 5.000 gambar dan video dari hari tersebut secara definitif mengidentifikasi aparat keamanan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penembakan mematikan tersebut, serta secara tegas mengonfirmasi bahwa para korban tidak bersenjata dan tidak menimbulkan ancaman apa pun. Pola berulang ini menjadi peringatan keras bagi Indonesia, menekankan pentingnya menjaga akuntabilitas aparat penegak hukum agar tidak terjerumus pada kondisi serupa yang mengancam hak asasi manusia dan stabilitas negara.

Analisis mendalam oleh BBC lebih dalam mengungkapkan rincian mengerikan yang menggambarkan tingkat kebrutalan dan impunitas tersebut. Rekaman video menunjukkan seorang petugas polisi berpakaian preman, yang kemudian diidentifikasi sebagai John Kaboi, secara provokatif meneriakkan "uaa!" (bunuh!) sebelum penembakan terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun