Mohon tunggu...
Daffa Rizqy Naufal
Daffa Rizqy Naufal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Highly motivated final year law student at Universitas Indonesia, with a strong passion for defense and diplomacy issues. Proficient in legal research and analysis, demonstrated through achievements in prestigious competitions.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengokohkan Kedaulatan Maritim melalui United ASEAN Maritime Patrol: Strategi Indonesia Menghadapi Dinamika Laut Cina Selatan

26 Mei 2024   13:40 Diperbarui: 26 Mei 2024   15:32 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Dinamika Klaim Wilayah Laut Cina Selatan, Sumber Foto: Benuanta

Semboyan "Jalesveva Jayamahe!, (di lautan kita jaya!)" tidak sekadar sekumpulan kata, melainkan sebuah panggilan tekad bagi Indonesia, sebuah negara kepulauan yang memeluk lautannya sebagai penjaga kedaulatan. Terdiri atas lebih dari 17.000 pulau dan merupakan pemilik garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia dihadapkan pada tantangan yang kompleks dalam menjaga perbatasan lautnya. Bagi Indonesia, laut bukan hanya batas geografis, melainkan perekat yang menyatukan Nusantara, sumber kehidupan, dan garis depan dalam mempertahankan kedaulatan bangsa.

Dinamika perebutan wilayah di Laut Cina Selatan (LCS) akibat klaim yang saling tumpang tindih masih menjadi isu keamanan utama di negara-negara ASEAN. Laut dengan luas sekitar 3 juta km tersebut berbatasan dengan  pantai selatan Tiongkok dan Taiwan di Utara, pantai negara-negara Asia Tenggara di Barat, gugusan pulau di Filipina di Timur, serta pulau Kalimantan di Selatan. Sengketa di LCS pertama kali muncul pada dasawarsa 1970-an dan belum menemukan titik akhir hingga kini. Negara-negara yang terlibat, seperti Tiongkok, Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Taiwan, masing-masing, mengklaim bahwa LCS adalah bagian dari kedaulatan wilayahnya. Pada saat negara-negara ASEAN menggunakan landasan geografis berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS), Tiongkok dengan penuh percaya diri menggunakan dasar historis untuk menyatakan seluruh bagian LCS tunduk di bawah kekuasaan Beijing.

LCS bukan sekadar lautan biasa; ia adalah panggung penting di mana drama geopolitik dunia berlangsung. Sebagai pusat lalu lintas Sea Lines of Trade dan Sea Lines of Communication, LCS adalah nadi arteri yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selain itu, LCS juga mengandung khazanah alam yang sangat kaya, dengan cadangan minyak dan gas alam yang melimpah. Potensi yang sangat menggiurkan ini menjadi pangkal sengitnya persaingan antara negara-negara pengklaim untuk mempertahankan kepentingan nasional mereka melalui berbagai manuver, seperti peluncuran peta sembilan garis putus-putus oleh Tiongkok, pengajuan gugatan Filipina terhadap Tiongkok ke Pengadilan Arbitrase Permanen PBB, hingga tindakan asertif seperti pembangunan pulau-pulau buatan dan kehadiran militer Tiongkok di LCS. Bahkan, kekuatan besar seperti Amerika Serikat turut hadir dengan meningkatkan aktivitas Freedom of Navigation Operation (FONOPS) untuk menentang ekspansi Tiongkok di kawasan tersebut.

Sejak tahun 2010, konflik di LCS juga mulai menyeret Indonesia, setelah Tiongkok mengklaim wilayah utara Kepulauan Natuna yang merupakan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Tiongkok beralasan pihaknya berhak atas perairan di Kepulauan Natuna dengan dasar traditional fishing zone. Klaim sepihak ini terus berlanjut hingga membawa Indonesia dan Tiongkok pada situasi tegang, yang mana puncaknya terjadi pada tahun 2016 ketika kapal-kapal nelayan Tiongkok berlayar memasuki wilayah ZEE Indonesia dan melakukan kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU fishing). Insiden serupa kembali terjadi pada tahun 2019 dan 2020, melibatkan tidak hanya kapal nelayan, tetapi juga kapal penjaga pantai Tiongkok. Pemerintah Indonesia hingga hari ini tidak mengakui klaim sembilan garis putus-putus dan secara tegas menyatakan Tiongkok telah melanggar wilayah ZEE Indonesia di perairan Laut Natuna Utara.

Kapal Coast Guard Tiongkok (kiri) menyemprotkan meriam air pada 5 Maret 2024 menuju kapal pengisian ulang Filipina, Sumber Gambar: Adrian Portugal
Kapal Coast Guard Tiongkok (kiri) menyemprotkan meriam air pada 5 Maret 2024 menuju kapal pengisian ulang Filipina, Sumber Gambar: Adrian Portugal
Indonesia terus menghadapi tantangan signifikan terkait manuver Cina di LCS, terutama dengan penerapan strategi Grey Area oleh Beijing. Strategi ini menggunakan lembaga sipil dan perangkat sipil dengan kemampuan militer untuk memaksakan klaim teritorial Cina tanpa melanggar hukum internasional secara langsung. Kapal-kapal penjaga pantai Cina, meskipun diklasifikasikan sebagai lembaga sipil, telah dipersenjatai dan berukuran lebih besar serta lebih kuat daripada kapal perang dan kapal patroli negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Hal tersebut memberikan Cina keuntungan signifikan dalam mengukuhkan klaimnya di wilayah yang disengketakan, mengaburkan batas antara operasi sipil dan militer.

Dalam menghadapi tantangan ini, Indonesia membutuhkan otot di laut yang kuat tanpa harus menimbulkan eskalasi atau tudingan pelanggaran hukum internasional. Oleh karena itu, penguatan lembaga nonmiliter seperti Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) menjadi sangat penting. Sebagai lembaga sipil, Bakamla memiliki kewajiban untuk mengawasi dan menegakkan hukum di perairan Indonesia, memainkan peran krusial dalam menjaga keamanan maritim tanpa memperkeruh suasana dengan aksi militer yang bisa meningkatkan ketegangan.


Terdapat alasan strategis dan operasional yang membuat pendekatan sipil melalui Bakamla lebih utama dibandingkan pendekatan militer melalui TNI AL. Pertama, Bakamla sebagai lembaga sipil berfokus pada penegakan hukum maritim dan pengawasan, yang lebih sesuai untuk menangani pelanggaran yang dilakukan sipil pula, seperti kapal-kapal nelayan asing yang melakukan IUU Fishing. Pendekatan ini menghindari eskalasi konflik yang bisa terjadi jika respons militer digunakan, mengingat sensitivitas tinggi di kawasan sengketa. Kedua, penggunaan Bakamla memungkinkan adanya pendekatan diplomatis yang lebih fleksibel dan tidak langsung konfrontatif. Bakamla dapat bekerja sama dengan badan penjaga pantai negara-negara ASEAN lainnya, memperkuat kerja sama regional tanpa meningkatkan ketegangan militer. Ketiga, pendekatan sipil dapat memperkuat persepsi internasional bahwa Indonesia berkomitmen pada penyelesaian konflik secara damai dan berdasarkan hukum internasional. Hal ini penting untuk mendapatkan dukungan internasional dalam sengketa LCS.

Meskipun pendekatan sipil melalui Bakamla lebih diutamakan, peran TNI AL sebagai back-up force tetap krusial. TNI AL dapat memberikan dukungan operasional dan logistik kepada Bakamla dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan dan penegakan hukum di laut. Kehadiran TNI AL sebagai kekuatan cadangan memberikan lapisan tambahan keamanan dan ketangguhan dalam menghadapi potensi ancaman yang lebih serius. TNI AL dapat dikerahkan secara fleksibel sebagai respons terhadap peningkatan ketegangan atau ancaman yang lebih serius di LCS. Dalam situasi di mana eskalasi konflik tidak dapat dihindari, kehadiran TNI AL dapat memberikan sinyal kekuatan dan kesiapan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatannya. Hal ini akan memberikan lapisan keamanan tambahan dan menciptakan efek pencegahan terhadap tindakan agresif dari pihak lain.

Tantangan di Laut Cina Selatan tidak bisa ditangani sendirian, kerja sama dengan negara-negara tetangga dan mitra regional menjadi kunci dalam mencapai stabilitas dan perdamaian yang berkelanjutan. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah revolusioner dengan menginisiasi pembentukan United ASEAN Maritime Patrol, sebuah tonggak dalam memperkuat kedaulatan maritim dan kerja sama regional. Inisiatif ini bertujuan untuk mengatasi konflik di LCS dengan meningkatkan kerja sama antara negara-negara ASEAN dalam pengawasan dan penegakan hukum di perairan yang disengketakan. 

Gagasan ASEAN Maritime Patrol dapat mulai diejawantahkan dengan mengadakan latihan rutin antar coast guard negara-negara ASEAN untuk meningkatkan koordinasi, keterampilan, dan saling pengertian. Selanjutnya, dilakukan pembangunan pangkalan laut bersama (sea base) di wilayah strategis LCS. Ide ini pernah diusulkan oleh Kepala Bakamla RI Laksamana Madya TNI Irvansyah, sea base akan mendukung operasi patroli dan pengawasan, dengan dilengkapi fasilitas pendukung seperti pengisian bahan bakar, perawatan, serta perbaikan angkutan laut. Pertukaran informasi dan intelijen maritim di antara negara-negara anggota akan mempercepat respons terhadap insiden dan pelanggaran hukum. Melalui kerja sama multilateral Maritime Patrol, ASEAN dapat memperkuat posisinya dalam menghadapi klaim dan tindakan asertif dari pihak luar.

Kapal Bakamla, Sumber Foto: bakamla.go.id
Kapal Bakamla, Sumber Foto: bakamla.go.id
Pembentukan United ASEAN Maritime Patrol akan memberikan beberapa keuntungan strategis. Patroli bersama akan meningkatkan keamanan maritim di LCS, mengurangi insiden pelanggaran hukum, dan mencegah eskalasi konflik. Inisiatif ini akan memperkuat solidaritas dan kesatuan negara-negara ASEAN dalam menghadapi tantangan maritim. United ASEAN Maritime Patrol akan mengirim pesan kuat kepada pihak eksternal bahwa ASEAN bersatu dalam menjaga stabilitas dan kedaulatan maritim di kawasan LCS. Selain itu, keamanan maritim yang lebih baik akan mendukung stabilitas ekonomi, menjaga kelancaran jalur perdagangan, dan melindungi sumber daya alam yang vital bagi pembangunan berkelanjutan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun