Polemik dan Kritik terhadap Konsep Insan Kamil
Konsep al-Insan al-Kamil telah menjadi subjek polemik dan kritik di kalangan intelektual dan praktisi Islam. Kritik-kritik ini berasal dari berbagai sudut pandang, termasuk dari tokoh-tokoh seperti Ahmad Daudy dan Simuh, yang mempertanyakan keaslian dan kesesuaian konsep ini dengan ajaran Islam yang asli.
1. Kritik dari Ahmad Daudy
Ahmad Daudy menyatakan bahwa konsep al-Insan al-Kamil berasal dari luar ajaran Islam dan kemudian diadopsi ke dalam Islam. Menurutnya, konsep ini membawa implikasi negatif terhadap pemahaman Islam dengan mengarah pada pemikiran "gnostik".
Gnostikisme dalam konteks ini diartikan sebagai kecenderungan dalam menjalani hidup yang lebih fokus pada pencarian keselamatan pribadi dan kelepasan spiritual, yang berpotensi mengabaikan tanggung jawab umat Islam terhadap realitas duniawi mereka.
Ahmad Daudy berargumen bahwa penekanan pada al-Insan al-Kamil dapat menyebabkan stagnasi dalam berbagai aspek kehidupan duniawi umat Islam. Hal ini disebabkan tentunya oleh fokus yang berlebihan pada ilmu rahasia penyucian diri (tasawuf), sehingga dapat mengurangi motivasi untuk menata dan mengurus bumi, sesuai dengan perintah dalam Al-Qur'an:
"Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat." (QS Al-Baqarah: 30)
Menurut Ahmad Daudy, interpretasi terhadap ayat ini menekankan bahwa manusia tidak hanya diciptakan untuk mendalami ilmu hakikat, tetapi juga untuk aktif dalam membangun dan memelihara tatanan dunia.
2. Kritik dari Simuh
Simuh mengemukakan bahwa konsep al-Insan al-Kamil bertentangan dengan ajaran Al-Qur'an tentang taqw (kebajikan dan ketakwaan). Menurutnya, taqw lebih menekankan pada kesadaran akan kelemahan dan keterbatasan diri serta rasa takut kepada Allah, yang mendorong manusia untuk taat dan menjunjung tinggi perintah-Nya.Â
Konsep al-Insan al-Kamil, yang menggambarkan manusia sebagai makhluk sempurna, dianggap oleh Simuh sebagai penyimpangan dari pemahaman ini.
Simuh mengutip ayat Al-Qur'an sebagai dasar kritiknya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat: 13)