Dalam sebuah pidato resminya di hadapan Kongres Amerika Serikat, Donald Trump kembali menunjukkan gaya komunikasinya yang provokatif dan mengundang kontroversi.
Dengan mengklaim bahwa dirinya telah "diselamatkan oleh Tuhan" untuk memimpin Amerika menuju era keemasan, Trump tidak hanya sedang mengandalkan retorika yang bersifat populis, ia juga sedang mencerminkan kecenderungan otoritarianismenya yang semakin mengakar dalam politik Amerika kontemporer.
Pidato Donald Trump dalam hal ini sarat dengan kebohongan-kebohongan faktual, nasionalisme yang ultraekstrem, dan berbagai ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi oleh Negeri Paman Sam.
Narasi Trump: Populisme yang Berkembang Menjadi Neo-Reaganisme
Salah satu poin utama dalam pidato Donald Trump adalah klaimnya bahwa ia memenangkan pemilu dengan "mandat elektoral terbesar dalam beberapa dekade." Pernyataan seperti ini jelas bertolak belakang dengan kenyataan bahwa ia hanya memperoleh "pluralitas" suara, bukan suara yang mayoritas absolut.
Bahkan, ia hanya meraih kemenangan yang lebih tipis dibandingkan pendahulunya, Joe Biden. Klaim sebagaimana Trump lakukan ini merupakan strategi klasik dalam politik narsistik yang berusaha untuk menciptakan realitas alternatif di mana "ia adalah pemimpin yang tak terbantahkan."
Lebih jauh lagi, Trump juga mengusung kebijakan ekonomi yang mencerminkan warisan dari politik ala Reaganisme, terutama dalam hal pemotongan pajak bagi kaum elite dan kebijakan yang meminggirkan kelas pekerja. Ia mengulang narasi lama tentang "pemborosan sosial" dengan menyebarkan klaim-klaim tak berdasar, seperti anggaran jutaan dolar untuk "membuat tikus menjadi transgender."
Kebijakan Trump tersebut jelas mengingatkan kita pada era Ronald Reagan yang menggunakan istilah "welfare queens" untuk membangun dukungan semu terhadap kebijakan pemotongan kesejahteraan sosial yang ia usung.
Kebijakan Luar Negeri: Ekspansi Imperialisme dalam Kemasan Baru
Dalam ranah politik luar negeri, Trump tampak semakin berani mengusung kebijakan ekspansionisme yang agresif. Salah satu pernyataan paling mencolok dalam pidatonya adalah tentang kepemilikan Greenland oleh Amerika Serikat yang dinyatakannya sebagai kebutuhan strategis nasional.
Pernyataan itu seakan-akan menghidupkan kembali kebijakan imperialistik abad ke-19, situasi di mana negara-negara besar merasa memiliki hak "suci" untuk mencaplok wilayah-wilayah lain demi kepentingan nasional mereka.