Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta || Nasionalis-marhaenis || Adil sejak dalam pikiran..

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Visi Indonesia Berparlemen: Lahirnya GAPI Sebagai Tonggak Persatuan Politik Indonesia

6 Maret 2025   08:00 Diperbarui: 4 Maret 2025   15:50 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembukaan Ruang Politik di Jawa pada Tahun 1936

Pada tahun 1936, terjadinya perubahan kepemimpinan di Hindia Belanda dengan diangkatnya Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer sebagai gubernur jenderal menandai awal dari periode baru dalam politik di Hindia Belanda. Gubernur jenderal yang tidak seotoriter sebelumnya, membuka peluang bagi aktivitas politik Indonesia yang lebih dinamis.[1]

Partai-partai politik yang tidak terlalu radikal diizinkan kembali untuk berkumpul dan anggota-anggota Dewan Rakyat yang kooperatif diberikan kebebasan untuk berbicara secara terbuka. Perubahan ini menciptakan suasana yang lebih kondusif bagi para aktivis dan pemimpin politik Indonesia untuk mengembangkan ide-ide mereka tanpa takut akan represi yang ketat.

Perubahan kebijakan ini tidak hanya memberikan ruang bagi partai-partai yang moderat, tetapi juga menginspirasi solidaritas di kalangan rakyat Indonesia yang mulai menyadari ancaman dari situasi internasional yang tengah berkembang. Situasi politik di Eropa, khususnya ekspansi agresif Jerman yang merebut wilayah-wilayah tetangganya, seperti Saarland, Rhineland, Austria, Sudetenland, dan Cekoslowakia, menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang Indonesia.

Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer Anefo (Sumber: Wikimedia Commons)
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer Anefo (Sumber: Wikimedia Commons)

Pertanyaan-pertanyaan mendasar muncul mengenai masa depan Hindia Belanda: Apakah wilayah ini akan diambil alih oleh Jepang? Ataukah menjadi milik Inggris dan Amerika Serikat? Ketidakpastian ini mendorong terjadinya solidaritas yang lebih kuat di antara masyarakat Indonesia.

Kelahiran Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada 1939

Menghadapi situasi global yang semakin tidak menentu, tepat pada bulan Mei 1939 Hindia Belanda menyaksikan kelahiran Gabungan Politik Indonesia (GAPI). GAPI merupakan front persatuan dari hampir seluruh gerakan politik yang belum dibungkam atau diasingkan, termasuk para pemimpin Muslim yang berhati-hati, sosialis yang ragu-ragu, dan nasionalis moderat. Pembentukan GAPI ini mencerminkan upaya kolektif untuk mempersatukan berbagai elemen masyarakat Indonesia dalam menghadapi ancaman kolonialisme dan fasisme.

Setelah kegagalan Petisi Soetardjo pada tahun 1938, para aktivis Indonesia melakukan penyesuaian ulang terhadap cita-cita politik mereka. Sebelumnya petisi tersebut bertujuan untuk mencapai “otonomi parsial” melalui negosiasi dengan Belanda, tetapi hasilnya sangat mengecewakan, sehingga mendorong pencarian strategi baru yang lebih efektif. GAPI pun muncul sebagai jawaban atas kebutuhan akan persatuan dan koordinasi yang lebih baik dalam perjuangan kemerdekaan dengan fokus pada pembentukan lembaga legislatif yang mewakili rakyat.

Manifesto GAPI dan Kampanye “Indonesia Berparlemen”

Pada September 1939, hanya tiga minggu setelah dimulainya Perang Dunia II, GAPI mengajukan manifesto yang menyerukan bentuk kerja sama baru antara rakyat Hindia dan pemerintah Belanda. Manifesto ini menekankan pentingnya kerja sama sebagai kunci untuk menghadapi berbagai krisis yang mungkin akan muncul di masa depan. GAPI menyadari bahwa Belanda memiliki kekuatan politik dan ekonomi, tetapi rakyat Indonesia merupakan kekuatan massa yang tak terbantahkan. Oleh karena itu, kerja sama antara kedua belah pihak dianggap sebagai satu-satunya cara efektif untuk merespons tantangan yang ada.

Kampanye “Indonesia Berparlemen” menjadi inisiatif politik terbesar pada tahun-tahun terakhir kolonialisme di Hindia Belanda. Gerakan ini mengajak berbagai lapisan masyarakat, termasuk organisasi mahasiswa, asosiasi wanita, gerakan pemuda, dan serikat pekerja, untuk bergabung dan mendukung visi pembentukan parlemen yang mewakili rakyat Indonesia.

Pada musim gugur 1939, GAPI berhasil mengadakan banyak pertemuan dengan lebih dari 80.000 peserta secara total. Hal ini menunjukkan tingkat partisipasi dan dukungan yang luar biasa terhadap GAPI dari masyarakat.

Respons Pemerintah Belanda terhadap Tuntutan GAPI

Meskipun GAPI berhasil mengumpulkan dukungan yang luas, pemerintah Belanda tetap tidak responsif terhadap tuntutan mereka. Para pemimpin GAPI, seperti Mohammad Husni Thamrin, Amir Sjarifuddin, dan Abikusno Tjokrosujoso, berharap bahwa kerja sama konstruktif dengan Belanda akan membuka jalan bagi pembentukan lembaga legislatif yang sesungguhnya. Mereka terinspirasi oleh contoh Filipina yang baru saja diberikan “otonomi relatif” oleh Amerika Serikat.

Namun, pemerintah Belanda menolak untuk menanggapi permintaan tersebut dengan serius. Mereka beralasan bahwa pembentukan parlemen sepenuhnya mungkin akan dilakukan di masa depan, ketika koloni dianggap “siap”. Penolakan ini dianggap sebagai pengulangan sikap Belanda terhadap upaya kerja sama yang sebelumnya dilakukan oleh Filipina, tetapi tidak dapat dipahami mengapa model yang sama tidak bisa diterapkan di Indonesia. Para aktivis merasa frustrasi karena tawaran kerja sama mereka diabaikan, meski mereka telah menunjukkan komitmen dan solidaritas yang kuat.

Perbandingan dengan Filipina dan Tantangan Unik di Indonesia

Keberhasilan Filipina dalam mencapai otonomi relatif melalui kerja sama konstruktif dengan penjajah Amerika Serikat memberikan inspirasi bagi para pemimpin GAPI. Namun, konteks Indonesia memiliki tantangan yang berbeda. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat beragam dengan keragaman suku, agama, dan budaya, yang membuat upaya unifikasi dan kerja sama menjadi lebih kompleks dibandingkan dengan Filipina yang lebih homogen secara geografis.

Selain itu, posisi Indonesia yang terletak di Asia Tenggara menjadikannya lebih rentan terhadap intervensi dari kekuatan besar seperti Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Perbedaan dalam struktur sosial dan politik antara Indonesia dan Filipina juga menjadi faktor penghambat dalam menerapkan model kerja sama yang sama. GAPI harus menghadapi tantangan tambahan dalam membangun konsensus di antara berbagai kelompok dengan kepentingan dan aspirasi yang berbeda.

Solidaritas Nasional di Tengah Ancaman Global

Meskipun menghadapi penolakan dari Belanda, pembentukan GAPI dan kampanye “Indonesia Berparlemen” berhasil menumbuhkan solidaritas nasional yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah gerakan politik pribumi. Kesadaran akan ancaman internasional, baik dari kolonialisme yang terus menekan maupun dari kebangkitan fasisme di Eropa, memperkuat tekad rakyat Indonesia untuk bersatu dalam perjuangan mereka.

Solidaritas ini tercermin dalam partisipasi massal dari berbagai elemen masyarakat, yang sebelumnya mungkin memiliki pandangan politik yang berbeda-beda. Kesatuan ini menunjukkan bahwa krisis internasional dapat menjadi katalisator untuk memperkuat identitas nasional dan mempercepat proses dekolonisasi. Meskipun tantangan masih besar, solidaritas yang terbentuk melalui GAPI memberikan dasar yang kuat bagi gerakan kemerdekaan Indonesia di masa depan.

Referensi

Reybrouck, David Van. Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World. New York City: W. W. Norton & Company, Incorporated, 2024. https://books.google.co.id/books?id=lA3wzwEACAAJ.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun