Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta || Nasionalis-marhaenis || Adil sejak dalam pikiran..

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Barang Rampasan Kolonial di Museum Eropa: Ajang Memamerkan Masa Lalu Eropa

25 Februari 2025   12:00 Diperbarui: 25 Februari 2025   07:26 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meriam Kandy, yang dijarah VOC pada 1765 dan ditempatkan di Rijksmuseum Amsterdam, bakal dikembalikan ke Sri Lanka (Sumber: http://trouw.nl/)

Pameran Roofkunst[1] di Mauritshuis, Belanda, menyoroti perdebatan global tentang barang rampasan kolonial. Namun, apakah pameran ini benar-benar menghadirkan diskusi yang mendalam atau justru gagal menyentuh akar masalah?

Kompleksitas Isu Barang Rampasan Kolonial

Istilah roofkunst merujuk pada barang seni dan artefak budaya yang diperoleh secara tidak sah, baik melalui kolonialisme, perang, atau perampasan paksa. Restitusi atau pengembalian benda-benda ini bukan hanya tentang keadilan sejarah, melainkan juga menyangkut ketimpangan kekuasaan, hak moral pemilik awal, serta bagaimana museum-museum Eropa membangun koleksi mereka dari barang jarahan.

Mauritshuis, yang namanya berasal dari Johan Maurits van Nassau-Siegen---seorang gubernur Belanda yang terlibat dalam perbudakan di Brasil---tampaknya menjadi tempat yang tepat untuk menggali persoalan ini. Sayangnya, pendekatan pameran ini justru kurang menggali kompleksitas sejarahnya secara mendalam.

Pendekatan Historis yang Kurang Mendalam

Pameran ini hanya menampilkan sepuluh benda dari tiga periode sejarah: masa kolonial, era pendudukan Nazi, dan Prancis di awal abad ke-19. Kurangnya konteks historis membuat pengunjung sulit memahami hubungan antara ketiga periode tersebut.

Tema-tema seperti "biaya", "peninggalan", dan "trofi" seakan mengelompokkan objek tanpa mengurai ketimpangan kekuasaan yang melatarbelakangi perampasan tersebut.

Penggunaan teknologi Virtual Reality (VR) dalam pameran juga dinilai kurang efektif. Misalnya, salah satu pengalaman VR membawa pengunjung ke sebuah pura di Bali pada tahun 1849, tepat setelah pasukan Belanda membantai penduduk setempat.

Diamond dari Banjarmasin, Indonesia, berada di Belanda, diambil pada 1875 (Sumber: nos.nl)
Diamond dari Banjarmasin, Indonesia, berada di Belanda, diambil pada 1875 (Sumber: nos.nl)

Akan tetapi, alih-alih menggugah pemahaman kritis, teknologi ini justru membuat pengunjung hanya menjadi saksi pasif tanpa keterlibatan dalam narasi sejarah yang lebih luas.

Pertanyaan yang Tak Terjawab...

Ada beberapa pertanyaan mendasar yang justru tidak disentuh dalam pameran ini.

Apakah etis bagi museum yang memperoleh benda-benda ini secara tidak sah tetap memamerkannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun