Pameran Roofkunst[1] di Mauritshuis, Belanda, menyoroti perdebatan global tentang barang rampasan kolonial. Namun, apakah pameran ini benar-benar menghadirkan diskusi yang mendalam atau justru gagal menyentuh akar masalah?
Kompleksitas Isu Barang Rampasan Kolonial
Istilah roofkunst merujuk pada barang seni dan artefak budaya yang diperoleh secara tidak sah, baik melalui kolonialisme, perang, atau perampasan paksa. Restitusi atau pengembalian benda-benda ini bukan hanya tentang keadilan sejarah, melainkan juga menyangkut ketimpangan kekuasaan, hak moral pemilik awal, serta bagaimana museum-museum Eropa membangun koleksi mereka dari barang jarahan.
Mauritshuis, yang namanya berasal dari Johan Maurits van Nassau-Siegen---seorang gubernur Belanda yang terlibat dalam perbudakan di Brasil---tampaknya menjadi tempat yang tepat untuk menggali persoalan ini. Sayangnya, pendekatan pameran ini justru kurang menggali kompleksitas sejarahnya secara mendalam.
Pendekatan Historis yang Kurang Mendalam
Pameran ini hanya menampilkan sepuluh benda dari tiga periode sejarah: masa kolonial, era pendudukan Nazi, dan Prancis di awal abad ke-19. Kurangnya konteks historis membuat pengunjung sulit memahami hubungan antara ketiga periode tersebut.
Tema-tema seperti "biaya", "peninggalan", dan "trofi" seakan mengelompokkan objek tanpa mengurai ketimpangan kekuasaan yang melatarbelakangi perampasan tersebut.
Penggunaan teknologi Virtual Reality (VR) dalam pameran juga dinilai kurang efektif. Misalnya, salah satu pengalaman VRÂ membawa pengunjung ke sebuah pura di Bali pada tahun 1849, tepat setelah pasukan Belanda membantai penduduk setempat.
Akan tetapi, alih-alih menggugah pemahaman kritis, teknologi ini justru membuat pengunjung hanya menjadi saksi pasif tanpa keterlibatan dalam narasi sejarah yang lebih luas.
Pertanyaan yang Tak Terjawab...
Ada beberapa pertanyaan mendasar yang justru tidak disentuh dalam pameran ini.
Apakah etis bagi museum yang memperoleh benda-benda ini secara tidak sah tetap memamerkannya?