Pada abad ketiga hijriah (abad kesembilan Masehi), muncul seorang teolog penting bernama Abu Al-Hasan Ali bin Isma'il Al-Asy'ari (wafat di Baghdad sekitar tahun 330 H/941 M), yang menjadi pendiri aliran teologi Asy'ariyyah. Pemikirannya memiliki pengaruh besar dalam sejarah perkembangan pemikiran teologi Islam. Al-Asy'ari lahir di Basra dan awalnya merupakan penganut aliran Mu'tazilah, sebuah aliran teologi yang menekankan rasionalitas dan penggunaan akal dalam memahami agama.
Namun, ia kemudian meninggalkan pandangan-pandangan Mu'tazilah dan mengembangkan ajaran yang berbeda, yang secara tegas menolak beberapa doktrin utama dari aliran tersebut. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji latar belakang, perkembangan pemikiran, dan kontribusi Al-Asy'ari dalam konteks sejarah perkembangan teologi Islam.
Latar Belakang Kehidupan dan Konversi Teologis Al-Asy'ari
Al-Asy'ari lahir di Basra, sebuah kota penting dalam sejarah pemikiran Islam, terutama pada masa keemasannya sebagai pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Pada awal kariernya, Al-Asy'ari adalah seorang penganut Mu'tazilah dan belajar kepada beberapa ulama Mu'tazilah yang terkemuka.
Namun demikian, pada usianya yang telah menempuh sekitar empat puluh tahun, ia mengalami perubahan pemikiran teologis yang dramatis. Ia meninggalkan aliran Mu'tazilah dan mengembangkan pemikiran teologisnya sendiri, yang kelak dikenal sebagai aliran Asy'ariyyah.
Salah satu alasan penting yang dikemukakan mengenai konversi Al-Asy'ari dari Mu'tazilah adalah ketidakpuasannya terhadap jawaban-jawaban teologis yang diberikan oleh guru-guru dalam aliran Mu'tazilah mengenai beberapa isu penting dalam teologi Islam.Â
Salah satu cerita yang sering dikutip berkaitan dengan perdebatan Al-Asy'ari dengan gurunya tentang nasib tiga saudara---seorang mukmin, seorang kafir, dan seorang anak kecil---dan bagaimana nasib ketiganya di akhirat kelak. Jawaban dari gurunya tidak memuaskan Al-Asy'ari, yang kemudian menyadari kelemahan-kelemahan dalam doktrin Mu'tazilah mengenai "janji dan ancaman" (al-wa'd wa al-wa'id). Hal ini menjadi titik awal keraguan Al-Asy'ari terhadap keseluruhan doktrin Mu'tazilah dan akhirnya membuatnya beralih ke pemikiran yang baru.
Perbedaan Utama antara Pemikiran Al-Asy'ari dan Mu'tazilah
Setelah meninggalkan Mu'tazilah, Al-Asy'ari mengembangkan pemikiran yang berbeda dengan doktrin Mu'tazilah, terutama dalam beberapa aspek teologi yang fundamental. Salah satu perbedaan utama adalah pandangan tentang sifat-sifat Allah.Â
Mu'tazilah memandang sifat-sifat Allah sebagai bagian dari esensi-Nya yang tidak terpisah, demi menjaga konsep tauhid yang murni dan menghindari pengandaian bahwa ada sesuatu yang kekal selain Allah. Sebaliknya, Al-Asy'ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah, seperti ilmu, kekuasaan, dan kalam (firman), adalah nyata dan bukan bagian dari esensi Allah, tetapi juga bukan sesuatu yang terpisah dari-Nya. Pendekatan ini bertujuan untuk mempertahankan kebesaran Allah tanpa mengorbankan kepercayaan akan sifat-sifat-Nya.
Dalam hal kehendak bebas dan takdir, Al-Asy'ari juga berbeda secara tajam dengan Mu'tazilah. Mu'tazilah sangat menekankan kehendak bebas manusia dalam rangka mempertahankan keadilan Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas sepenuhnya, sehingga setiap perbuatan baik atau buruk yang dilakukan adalah hasil dari kehendaknya sendiri, bukan dipaksakan oleh Tuhan. Sebaliknya, Al-Asy'ari menekankan bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak dan ketetapan Allah, tetapi manusia tetap memiliki tanggung jawab terhadap perbuatannya. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah "kasb," yang menggambarkan bagaimana manusia "memperoleh" atau "mengusahakan" tindakan yang sebenarnya diciptakan oleh Allah.
Al-Asy'ari juga mengkritik pandangan Mu'tazilah tentang hukum ilahi dan definisi kejahatan. Mu'tazilah berpendapat bahwa akal manusia mampu menentukan mana yang baik dan buruk tanpa memerlukan wahyu, sedangkan Al-Asy'ari menekankan bahwa pengetahuan tentang baik dan buruk harus didasarkan pada wahyu dan ketetapan Allah. Baginya, hukum ilahi tidak dapat ditentukan oleh akal manusia semata, melainkan merupakan otoritas Tuhan yang mutlak.