Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, telah menimbulkan berbagai pandangan dan interpretasi dari kalangan intelektual, politisi, dan tokoh masyarakat. Pemikiran tentang Pancasila sering kali dipengaruhi oleh latar belakang ideologi, agama, dan pengalaman sejarah masing-masing individu.
Dalam artikel ini, kita akan mengulas pendapat-pendapat dari beberapa tokoh yang berpengaruh dalam perdebatan mengenai Pancasila, seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Natsir, Roeslan Abdulgani, hingga Soedjatmoko. Pandangan mereka mencerminkan berbagai sikap terhadap Pancasila, baik sebagai ideologi negara, dasar moral, maupun sebagai sintesis gagasan dari berbagai aliran pemikiran.
A. Pandangan Sutan Takdir Alisyahbana tentang Pancasila
Sutan Takdir Alisyahbana, seorang sarjana dan sastrawan ternama Indonesia, memberikan kritiknya yang tajam terhadap Pancasila, meski ia mengakui adanya paradoks dalam ideologi tersebut. Menurut pandangan Takdir, Pancasila memiliki banyak ketidaksempurnaan dan kekurangan yang mencerminkan ketidakkonsistenan dalam penyusunan gagasan ini.
Sebagai seorang pemikir, Takdir tidak sepenuhnya menerima Pancasila sebagai dasar negara, meskipun partainya, Partai Sosialis Indonesia (PSI) menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Penerimaan ini dilakukan dengan tafsiran yang sangat "fleksibel", bahkan memungkinkan penambahan sila-sila jika diperlukan.
Hal ini menunjukkan bahwasanya Takdir lebih mengutamakan kebebasan berpikir dan refleksi pribadi dalam menilai Pancasila, alih-alih menerima Pancasila secara dogmatis untuk diterapkan dalam struktur kenegaraan. Pandangan Takdir ini, bagi Buya Hamka, adalah sebuah beban yang ditanggung oleh partai PSI-nya dan Masyumi tentunya.
Buya Hamka berpendapat bahwasanya penerimaan Pancasila oleh Takdir Alisyahbana seolah-olah bertentangan dengan hasil renungan bebasnya sebagai seorang intelektual. Hamka menganggap bahwa seorang sarjana harusnya tidak melihat Pancasila hanya sebagai sebuah tafsir yang bisa ditambah-tambahkan, tetapi harus melihatnya sebagai dasar negara yang kokoh dan tidak bisa diubah-ubah sesuka hati. Sebagai seorang ulama yang berintelektual, Buya Hamka menilai bahwa pandangan Takdir semacam ini mengarah pada ketidakpastian dan kekeliruan dalam penetapan dasar negara yang bersifat fundamental. Â Syaifuddin Zuhri dari partai NU juga sejalan dengan pandangan Hamka, ia mengatakan: "bagian pidato Sutan Takdir Alisyahbana tersebut di atas tidak perlu dibubuhi komentar, karena telah cukup jelas... (bahwa) Pancasila... masih banyak kekurangan-kekurangan serta di dalamnya mengandung pertentangan-pertentangan disebabkan tiadanya kebulatan pikiran."
B. Pandangan Natsir tentang Pancasila dan Sekularisme
Salah satu tokoh yang menyatakan kritik terhadap Pancasila adalah Mohammad Natsir, seorang pemikir Islam yang memiliki pandangan kritis mengenai sekularisme. Natsir menilai bahwa Pancasila, terutama dalam sila-silanya, memiliki sifat yang sekuler, karena sumber sila-silanya tidak berasal dari wahyu Allah. Ia berpendapat bahwasanya Pancasila tidak menyatu dalam satu kesatuan logika dan sering kali mengandung kontradiksi di dalamnya. Natsir menyayangkan sikap Sutan Takdir yang menerima Pancasila tanpa memedulikan ketidakkonsistenan dalam rumusan sila-silanya.
Namun, Natsir juga mengusulkan sebuah solusi yang menarik: yaitu kemungkinan untuk mengislamkan Pancasila. Menurut Natsir, meskipun Pancasila bukanlah ideologi Islam secara eksplisit, tidak mustahil untuk memberikan nilai-nilai transendental tertentu pada Pancasila yang sejalan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" dapat dipahami lebih mendalam dengan nilai-nilai Islam, seperti kesetiaan kepada Tuhan yang Maha Esa dalam pandangan Al-Qur'an. Oleh karena itu, bagi Natsir, Pancasila tetap bisa dipahami dalam kerangka Islam, meskipun tidak ada hubungan langsung dengan wahyu.
C. Roeslan Abdulgani: Pancasila sebagai Sintesis Ideologi
Berbeda dengan Sutan Takdir dan Natsir, Roeslan Abdulgani, seorang ideolog PNI (Partai Nasional Indonesia), memiliki pandangan yang lebih optimistik terhadap Pancasila. Menurut Roeslan, Pancasila bukanlah sebuah abstraksi kosong atau sekuler, melainkan sebuah sintesis dari berbagai ideologi, yaitu Islam, demokrasi liberal Barat, Marxisme, dan gagasan-gagasan demokrasi asli yang berkembang di desa-desa Indonesia. Abdulgani mengutip pendapat dari Kahin yang menyatakan bahwa Pancasila adalah filsafat sosial yang telah matang dan berpengaruh besar terhadap jalannya revolusi Indonesia. Ia menambahkan dengan bersandar pada pendapat Kahin, mengatakan: "... Pancasila adalah suatu filsafat sosial yang sudah dewasa, yang sangat besar pengaruhnya atas jalannya revolusi."
Menurut Roeslan Abdulgani, Pancasila merupakan suatu filsafat yang mengintegrasikan gagasan-gagasan besar dari dunia Islam, demokrasi, Marxisme, dan nilai-nilai lokal yang berkembang di Indonesia. Dalam pandangannya, Pancasila tidak bisa dipandang sebagai sekuler, melainkan sebagai sebuah pemikiran yang mempersatukan berbagai ideologi untuk mencapai tujuan bersama bagi rakyat Indonesia. Sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa," menurutnya tidak sekadar menjadi simbol agama, melainkan merupakan pengakuan terhadap kekuatan spiritual yang lebih tinggi yang mencakup berbagai agama yang ada di Indonesia.