Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta || Nasionalis-marhaenis || Adil sejak dalam pikiran..

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Wacana Pancasila yang "Belum Final": Antara Ketuhanan, Kebangsaan, dan Sekularisme

20 Februari 2025   10:00 Diperbarui: 16 Februari 2025   10:30 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Sukarno berdiri di atas podium saat melantik anggota Konstituante pada tahun 1956 (Sumber: SIKN Prov. Jawa Barat)

Dengan melihat Pancasila sebagai hasil sintesis berbagai gagasan tersebut, Roeslan Abdulgani menolak pandangan Natsir yang menyatakan bahwa Pancasila bersifat sekuler. Menurutnya, dengan adanya Departemen Agama di setiap kabinet Indonesia, Pancasila telah menunjukkan bahwa Indonesia tidaklah negara sekuler. Adanya pengakuan terhadap agama dalam struktur negara Indonesia adalah bukti bahwa Pancasila tidak memisahkan agama dari kehidupan negara, melainkan mengakomodasi nilai-nilai agama dalam kerangka negara yang demokratis.

D. Sekularisme dalam Pandangan Abdulgani dan Faruki

Dalam menjelaskan pandangan sekularisme, Abdulgani mengutip pendapat dari penulis Pakistan, Kemal A. Faruki, yang menjelaskan bahwa sekularisme memiliki dua pengertian yang berbeda. Pengertian pertama adalah sekularisme sebagai perhatian terhadap masalah duniawi, yang menurut Faruki dapat diterima oleh Islam. Sedangkan pengertian kedua adalah sekularisme sebagai pemisahan antara masalah spiritual dan temporal, yang menempatkan urusan duniawi sebagai lebih superior dari urusan spiritual, yang merupakan pandangan yang ditolak oleh Islam. Pandangan yang terakhir ini dijadikan sebagai landasan berdirinya negara sekuler di Barat, seperti Prancis.

Dengan pandangannya, Abdulgani berargumentasi bahwasanya Pancasila tidak dapat disamakan dengan sekularisme dalam pengertian kedua tersebut. Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" tidak bisa dianggap sekuler, karena ia tidak memisahkan agama dari negara, tetapi justru menegaskan keberadaan Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Abdulgani juga menegaskan bahwa pemahaman sekularisme yang diterima oleh Natsir dan Z. A. Ahmad, yang menganggap Pancasila sebagai sekuler, adalah salah kaprah karena terjebak dalam kesalahan pemahaman yang terlalu semantik.

E. Soedjatmoko dan Perbedaan Pandangan tentang Ketuhanan dalam Pancasila

Soedjatmoko, seorang sosialis dan pemikir Indonesia, mengamati adanya dua kelompok besar di antara anggota Konstituante dalam hal kepercayaan terhadap Tuhan. Kelompok pertama adalah mereka yang percaya kepada Tuhan tanpa wahyu, sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang percaya kepada semua agama pewahyuan. Soedjatmoko mengamati bahwa perbedaan ini tidak perlu diperdebatkan, karena masing-masing kelompok memiliki pemahaman yang berbeda terkait dengan konsep Ketuhanan yang terdapat dalam Pancasila.

Soedjatmoko sendiri tampaknya lebih condong pada kelompok pertama, yang menganggap bahwa Pancasila sebagai dasar negara cukup dengan prinsip ketuhanan, tanpa harus mengaitkannya dengan agama wahyu tertentu. Pandangannya ini menunjukkan keterbukaan terhadap kondisi pluralitas agama yang ada di Indonesia dan menggambarkan bahwa Pancasila dapat diterima oleh semua golongan, tanpa memaksakan agama tertentu sebagai dasar negara.

F. Kesimpulan

Pemikiran tentang Pancasila, sebagaimana terlihat dalam pandangan para tokoh dan elite Indonesia, seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Natsir, Roeslan Abdulgani, dan Soedjatmoko, mencerminkan kompleksitas dan keragaman interpretasi terhadap ideologi dasar negara Indonesia ini. Masing-masing tokoh memberikan penilaian dan kritik yang berbeda, tetapi semuanya memiliki kesamaan dalam memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara.

Pancasila, meskipun telah diterima sebagai dasar negara, tetap menyisakan banyak pertanyaan dan interpretasi yang belum tuntas. Apakah Pancasila bersifat sekuler ataukah dapat di-Islam-kan? Apakah Pancasila merupakan sintesis dari berbagai ideologi ataukah sebuah konsep yang berdiri sendiri?

Semua ini masih menjadi topik perdebatan yang memerlukan refleksi lebih lanjut untuk mencapainya kesepahaman yang lebih luas tentang makna dan tujuan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Referensi

Konstituante Republik Indonesia. Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII. Jakarta: Konstituante Republik Indonesia, 1957.

---------. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante. Bandung: Tata Nusa, 1958.

Ma'arif, Ahmad Syafi'i. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 2006. https://books.google.co.id/books?id=s8QeGQAACAAJ.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun