Mohon tunggu...
Daffa Binapraja
Daffa Binapraja Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir pada 25 Februari 2000, Jakarta Utara

Seorang pemuda yang menyukai fiksi ilmiah, Alternate History, dan sejarah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Detik Maut di Delhi

14 Maret 2020   10:00 Diperbarui: 14 Maret 2020   09:59 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepertinya Ghulam menyadari bahwa ada maksud lain dari kata tersebut, namun ia lebih memilih berpura-pura tak tahu, “Kalau boleh tahu, apa maksudmu?”

“Aminah..” Sang gadis merasa sedikit malu, namun ia memberanikan diri, “...mencintai Ghulam,”

Tunggu, apa? Aku tak salah dengar, ‘kan? Dia mencintaiku? Seperti pacaran, maksudnya? Tidak, ini tak boleh terjadi. Bisa-bisa Bapak marah!” Batin Ghulam merasa gelisah. Di satu sisi, ia juga mencintai Aminah karena Aminah adalah gadis bersahaja. Aminah lebih memilih berpenampilan sederhana walaupun siswi-siswi lainnya terbiasa memakai cincin dan kalung emas serta lipstik tebal, Aminah pulalah yang mengajarinya kesederhanaan hidup. Di sisi lain, keluarganya amat membenci pacaran dengan berbagai alasan dan Bapaknya tentu tak mau Ghulam berulah dan membuat malu keluarga Imran.

Singkatnya, Ghulam merasa ia harus membalas cinta dari Aminah karena dialah yang menunjukkan secara tak langsung pada Ghulam bagaimana cara mensyukuri kekayaan yang ia punya.

Setelah dipikir ulang, Ghulam mendapat dua kesimpulan. Pertama, ia bisa berjanji menikahi Aminah dan kesimpulan kedua adalah...

“Maaf jika pertanyaan ini menyinggungmu, namun mengapa kau menyukaiku?” Tanya Ghulam melalui coretan tangannya di atas buku catatan yang hampir habis.

“Karena Aminah tahu bahwa kaulah yang membawaku ke tempat-tempat yang tepat, dari rumah Bu Hasanah hingga UKS. Singkatnya, Aminah tahu bahwa Ghulam di depan mata Aminah orang baik penuh empati,” Wajahnya mulai kembali cerah.

“Kau satu-satunya orang yang mengajariku cara mensyukuri nikmat kekayaan yang keluargaku punya. Kau penyandang autisme, yatim piatu, namun kau tetap ceria dan memilih menjadi orang yang sederhana walau sudah diasuh Bu Hasanah. Banyak orang mendekatiku dan mengajakku berteman hanya karena Bapakku terkenal, tapi kau tak seperti kebanyakan orang.” Ghulam mengganti halaman bukunya, “Aku tak tahu bagaimana cara menjelaskannya, namun aku menyukai orang-orang sederhana, apalagi jika kaulah orangnya.”

Ah, nyatanya Ghulam belum selesai menulis, “Aku menyukaimu, namun bagaimana kalau kita berjanji akan bertemu lagi dan menikah?”

Aminah mengangguk senang.

Saat pulang sekolah, mereka pulang bersama, sama seperti biasanya. Semenjak SMP, mereka selalu pulang bersama Pak Imran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun