Mohon tunggu...
Daffa Binapraja
Daffa Binapraja Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir pada 25 Februari 2000, Jakarta Utara

Seorang pemuda yang menyukai fiksi ilmiah, Alternate History, dan sejarah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Para Pejuang Gunib

21 September 2019   10:00 Diperbarui: 21 September 2019   10:13 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Imam Shamil, seorang legenda Umat Islam tanah Dagestan, lahir pada 1797. Ia adalah salah satu pemimpin pihak Kaukasus dalam perang antara Imamat Kaukasus melawan Kekaisaran Rusia. Imam Shamil menjadi Imam ketiga dari Imamat Kaukasus pada tahun 1834, menggantikan Hamzah Bek yang syahid pada Pertempuran Gimri tahun 1832.

Selama masa kepemimpinannya, Imam Shamil bertarung habis-habisan melawan Kekaisaran Rusia dalam berbagai pertempuran. Dari Pengepungan Akhulgo pada 1839 hingga Pertempuran Dargo tahun 1845.

Namun, sudah menjadi Qadarullah (Takdir Allah) bahwa setiap legenda selalu memiliki akhir, tepatnya pada Pertempuran Gunib tahun 1859.

Apa yang dikisahkan di sini adalah perjuangan sekelompok orang yang bergabung dalam barisan Imam Shamil

....................................................................................................................................................

Gunib, Dagestan, Imamat Kaukasus.

23 Agustus 1859. Dua hari sebelum pertempuran berakhir.

Dentuman meriam dan tembakan senapan lantak Kekaisaran terdengar sangat keras, cukup untuk memekakkan telinga siapapun yang tak terbiasa dengan perang.

Pasukan Imam Shamil membalas tembakan dari barisan prajurit pimpinan Pangeran Alexander Baryatinski. Walau terjebak di tempat ini, para mujahidin Kaukasus menolak menyerah.

Firman Bek tengah mengisi ulang senapan lantaknya, beruntunglah ia dan kawan-kawan seperjuangannya berada di atas pegunungan, mereka bisa berlindung di tengah bebatuan dan pemukiman serta memiliki kemungkinan tinggi untuk menembak mati dua prajurit kekaisaran dengan satu tembakan tepat di kepala.

"FIRMAN!" Teriak Furqan Mohamedov selaku pemimpin regunya, gempuran meriam membuat hampir setiap perintah tak terdengar kecuali dengan teriakan. "Incar kepala mereka! Jangan biarkan mereka naik dan mengambil alih bukitnya!".

Tanpa mengucap sepatah kata apapun, Firman mengangguk dan mulai membidik kepala mereka.

DOR! Satu kepala yang begitu malang langsung terluka parah, petugas medis Kekaisaran langsung menarik tentara yang sudah tak berdaya. Dengan cepat Firman memasukkan peluru dan mesiu ke dalam senapannya, kemudian membidik salah satu petugas medis yang mengangkat serdadu tersebut ke tandu sebelum ia mengurungkan niatnya karena mengingat dengan pesan yang pernah disampaikan oleh Furqan.

" Semuanya, ingatlah untuk selalu memprioritaskan serdadu Kekaisaran lebih dulu daripada petugas medis. Serdadu Kekaisaran dapat menghabisi kalian jika kalian tak berhati-hati,".

Akhirnya, Firman mengarahkan senapannya ke kiri. DOR!

"Alhamdulillah," Firman bernapas lega, "Orang tadi sudah lama membidikku, ya Allah. Sedetik lagi dan mungkin aku tak bisa lagi lanjut berjihad,".

PRAK! Firman langsung menunduk dan mengisi ulang senapannya lagi. Selagi mengisi ulang, ia melihat Furqan tengah berbicara dengan seorang mujahidin lain yang terengah-engah seperti habis berlari.

"Furqan, kita harus mundur. Keselamatan para warga di sini mulai terancam." Ucap sang taktisi, panik.

"Tak sekarang, kita akan pertahankan bukit ini sampai titik darah penghabisan, Umar! Para warga di pemukiman sini menolak menyerah pada Kekaisaran!"

"Aku tahu semuanya ingin berjuang, tetapi ini masalah atrisi. Saya sarankan kita mundur supaya kita bisa memperkuat barisan dengan pasukan di belakang, apalagi jumlah pasukan mulai menipis, Furqan!"

Tiba-tiba, terdengar ledakan dari salah satu sisi pemukiman. Jeritan dan rintihan kesakitan tak hanya terdengar dari para tetua yang bertempur, di antara suara tersebut ada suara anak-anak muda yang entah kehilangan kakinya karena tembakan meriam tersebut atau bahkan sampai kehilangan saudara kandungnya. Melihat hal ini, Furqan langsung berteriak marah, wajahnya merah padam.

"SEMUANYA! SIAPKAN SENAPAN DAN PEDANG KALIAN! BUNUH SEMUA SERDADU KEKAISARAN!"

Alhasil, semuanya maju, menembak dan menebas setiap prajurit Kekaisaran Rusia.

"MAJU!" Sahut seorang mujahidin dengan senapan lantaknya.

"HABISI MEREKA!" Beberapa orang mulai menghunus pedang.

"ALLAHUAKBAR!" Takbir menggema dari bukit, tembakan dan tebasan jarak dekat tak dapat terhindarkan lagi.

Pertempuran tersebut berlangsung hingga masuk waktu maghrib. Jangan tanya jumlah mayat yang bergelimpangan, atau betapa melelahkan pertempuran tadi bagi pemberontak dan mujahidin-mujahidin Kaukasus dari Gunib, apalagi bagaimana kondisi psikis pasukan Kekaisaran Rusia yang memilih mundur untuk sekarang.

Setelah semua mujahidin Kaukasus melaksanakan shalat maghrib, Furqan mengumpulkan regunya untuk sebuah perbincangan. Lebih tepatnya sebuah rapat kecil.

"Assalamualaikum, saudara seperjuangan sekalian," Furqan membuka rapatnya.

"Waalaikumsalam, Amir Furqan," Pasukan tempurnya selalu memanggil ketua regu mereka 'Amir Furqan', bukan hal yang biasa di kebudayaan Dagestan. Tetapi, itulah keunikan mereka.

"Seperti yang telah kita ketahui saat ini, kita, mujahidin pemberontakan Kaukasus, telah terkepung. Ada kemungkinan bahwa kita ditakdirkan Allah Subhanahu Wa Taala mengalami kekalahan melawan Kekaisaran Rusia, baik dengan mati syahid maupun kondisi lainnya," Ucap Furqan, dia terlihat sedikit kesulitan mencari kata terbaik untuk menjelaskan kondisi pemberontakan yang mulai kacau. 

Mereka dikepung bersama keluarga mereka di Gunib oleh Kekaisaran Rusia dan nyawa keluarga mereka terancam, namun Furqan tak mau menurunkan semangat juang mereka.

Furqan langsung meminum air putih miliknya dengan satu tegukan, tak langsung habis namun cukup membantu menenangkan pikirannya sebelum berbicara kembali karena airnya sangat segar, langsung dari sungai di bagian barat Gunib.

"Para tetua suku-suku Kaukasus berserta para ulama telah menyarankan sebuah rencana cadangan," Furqan mengeluarkan peta dunia dari sakunya, "Tujuan dari rencana ini adalah agar kita bisa mendapatkan bantuan-"

"Tidak memungkinkan, wahai Amir," Ahmed Timur menundukkan kepalanya, "Saya tahu maksud Amir, memanggil bantuan dari Turki Utsmani selaku Kesultanan besar Umat Islam. Namun, teman-teman saya, terutama dari Suku Avar, telah mencobanya dan selalu gagal, entah karena bantuan diserang Kekaisaran atau pasukan pengirim pesan kita ditembak mati."

"Saudara benar," Furqan mengangguk setuju, "Kalaupun tak mendapat bantuan, sekurang-kurangnya kita bisa menyampaikan perjuangan kita pada seluruh Umat Islam di dunia agar masyarakat tak melupakan eksistensi Muslim di tanah Kaukasus beserta perjuangannya serta tak mudah ditipu oleh Kekaisaran. Itulah tujuan utama kita : penyampaian informasi,"

"Wahai Amir," Firman mengangkat tangannya, "Apa yang sebenarnya ingin Amir perintahkan pada kami?"

Furqan menghela napasnya, lalu menghembuskannya dengan tenang, "Kita diminta untuk pergi ke Istanbul begitu masuk waktu subuh, melalui sungai di sisi barat kita. Selama pertempuran berlangsung, kita harus diam-diam bergerak melalui sungai dan terus berjalan sambil menghindari patroli Kekaisaran. Sesampainya di sana, kita harus menemui pihak berwajib Kesultanan Utsmani,"

"Baik, Amir!" Jawab semua pasukannya, serentak. "Sekarang, istirahatlah,"

.....................................................................................................................................

Gunib, Dagestan, Imamat Kaukasus

24 Agustus 1859, sehari sebelum akhir pertempuran.

Para mujahidin dan warga Perkampungan Gunib mulai melaksanakan shalat subuh berjamaah. Setelah shalat selesai, Furqan dan pasukannya mulai membawa barang dan perbekalan mereka dalam perjalanan mereka menuju Kesultanan Turki Utsmani. 

Regu Furqan mengucap salam setelah memberitahukan tujuan kepergian mereka, para warga menangis haru sembari mendoakan keberhasilan 'misi' mereka dan para mujahidin memberikan berbagai barang, dari peluru senapan lantak hingga pisau lempar.

"Ayo, semuanya. Kita berlari menuju sungai itu! Cepat!" Furqan mulai berlari, disusul oleh Firman, Ahmed, dan Umar si pengirim pesan.

Tak lama kemudian, ledakan meriam dan tembakan senapan lantak menggema. Tak ada waktu untuk mereka melihat ke belakang. Mereka berlari menuju sungai sembari menebas dan menembak kosak-kosak Kekaisaran.

Berlari dan terus berlari, tinggal beberapa meter lagi mendekati sungai dan Umar mendadak ambruk di tanah.

"UMAR!" Furqan berteriak kencang, Ahmed melihat ada seorang prajurit Kekaisaran tengah mengisi peluru di atas kudanya. Hanya butuh sebilah pisau dari Ahmed untuk membuat prajurit itu jatuh dari pelananya.

Sementara Furqan mengguncangkan mayat Umar yang sudah meninggal, Ahmed mencoba mendekatinya sebelum Firman berseru begitu mendengar derap gerombolan kuda.

"Semuanya, kita tak punya waktu lagi!" Firman mulai menyiapkan senapannya, "Kita hanya bisa meninggalkan Umar di sini!" Furqan yang baru saja mau mengatakan sesuatu langsung dihentikan oleh Firman, "Pergilah! Kalian pergi ke perahunya dan aku yang akan menahan mereka di sini!"

"Ayo, Amir, kita berangkat." Ahmed menarik tangan Furqan yang terlihat depresi karena kehilangan salah satu teman karibnya. Akhirnya, mereka berdua berlari meninggalkan Firman yang sudah tak diketahui lagi nasibnya. Sampai di perahu mereka, Ahmed langsung menahan perahunya untuk membantu Furqan naik.

Setelah Furqan naik, barulah Ahmed menaiki kapal. Para pasukan kavaleri Kekaisaran mulai menyusul dengan sebagian di antara mereka menembakkan pistol mereka. Salah satu peluru mereka memang menghantam bahu kanan Ahmed, namun, mereka berhasil melarikan diri dari kejaran para kavaleri.

Butuh waktu tiga bulan untuk mereka mencapai kota Erzurum yang merupakan kota terdekat di wilayah Turki Utsmani mengingat hanya Furqan yang bisa mengayuh perahu. Mereka langsung disambut dengan ramah di rumah sakit setempat.

Sepekan kemudian, kabar mengenai pelarian mereka sampai kepada seorang komandan Janisari setempat, Farras Pasha. Kedua pejuang Kaukasus tersebut diundang ke salah satu garnisun pusat daerah dan mereka menceritakan semua perjuangan Imamat Kaukasus pada sang komandan. Farras memberikan Ahmed dan Furqan sebuah rumah di Istanbul untuk tinggal dan menunggu Imam Syamil hingga tahun 1869.

Memang tak berlebihan untuk menyatakan bahwa Furqan masih memiliki trauma sejak pelarian itu sampai sekarang dan Ahmed sempat memiliki kesulitan ekonomi karena tak banyak pengalaman hidupnya selain berperang. Namun, mereka bisa hidup bahagia dengan bantuan Kesultanan dan akhirnya berkeluarga di sana.

Sekarang, Furqan adalah seorang pedagang roti yang bekerjasama dengan istrinya. Sementara itu, Ahmad menjadi ahli besi yang membuat pisau lempar untuk pasukan militer Utsmani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun