Masalahnya, jika standar kebahagiaanya tidak bisa dicapai, kita akan menvonis kalau kita sedang tidak bahagia. Apalagi jika seandainya kemampuan finansial kita dan orang yang dijadikan standar kebahagiaan tidak sama. Misalnya punya Gaji UMR, tapi standar kebahagiaannya gaji direktur.
Bagi beberapa orang mungkin sah-sah saja. Dalam arti, ada orang yang punya standar kebahagiaan yang tinggi, lalu dia jadi termotivasi untuk mendapat penghasilan yang tinggi agar mencapai standar kebahagiaan yang dia targetkan.
Tapi saya tidak begitu setuju. Saya lebih memilih untuk menurunkan standar kebahagiaan itu pada mereka yang secara sosial atau finansial di bawah saya.
Meski hakikatnya standar kebahagiaan itu tidak ada. Tapi setiap orang secara alami pasti selalu punya role model untuk dijadikan contoh bagaimana seseorang menjalani kehidupannya.
Jadi, jika kita merasa standar kebahagiaan itu sulit dilepaskan dari mindset, maka jangan simpan standar itu terlalu tinggi. Alangkah lebih baik jika standar itu ditempatkan di bawah kita. Seperti kasus Rudi, standar kebahagiaan yang tidak tinggi membuat kita bisa lebih banyak bersyukur.
Hal-hal yang sudah kita miliki sudah cukup membuat kita jauh lebih bahagia dari sebelumnya. Lagipula, apa kita tidak lelah mengejar standar kebahagiaan yang tinggi sedangkan keadaan kita sekarang misalnya tidak mampu mencapai standar tersebut dalam waktu dekat?
Untuk menyadari bahwa kebahagiaan itu sebetulnya ada di sekitar kita maka memang harus sering-sering lihat ke bawah. Mensyukuri lebih dekat hal-hal yang belum orang lain dapat, tapi kita sudah lebih dulu mendapatkannya.
Dalam hal ini, bukan berarti kita mencoba sombong kepada orang lain karena posisi kita sekarang. Tapi itu cara sederhana kita memaknai arti kebahagiaannya yang sebenarnya.
Kalau kita bisa bahagia dengan hal-hal yang sudah kita miliki sekarang, buat apa ngotot dengan kebahagiaan yang belum bisa kita dapatkan? Kalau terus-menerus mengejar standar kebahagiaan yang jauh dari keadaan sekarang, lalu kapan kita mau bahagianya?