Beberapa waktu lalu, salah satu komika Indonesia, Tretan muslim men-screenshot jejak digital Facebook-nya di tahun 2011 ke Twitter. Isi screenshot tersebut berisi postingan yang menyatakan bahwa mengucapkan selamat hari Natal itu haram.Â
Di tahun yang sama, Muslim juga pernah membuat postingan yang menanyakan pendirian negara islam di Facebook.
"i wass there.. Today, me versus people like my old me.." tulis akun twitter @TretanMuslim.
Komika yang pernah di demo ormas 'sobat gurun' ini, melihat sisi lain dari dirinya 8 tahun lalu dengan penuh penyesalan. Ia menyesal karena pernah membuat postingan Facebook yang menjurus ke arah yang intoleran.
Sebagai komedian, komentar follower-nya di Twitter tidak jauh-jauh dari ledekan terhadap Muslim karena ternyata dia pernah punya pemikiran islam yang keras.
Dalam kasus lain, hal ini mengingatkan saya pada almarhum Gus Dur yang mana dulu, beliau mengalami berubahan cara berpikirnya tentang islam.
Gus Dur di usia muda pernah mati-matian membela Ikhwanul Muslimin (IM), organisasi yang di cap sebagai organisasi teroris di Mesir. Ini kan jadi fakta yang bersebrangan dengan pemikirannya sekarang.
Seperti yang kita tahu, Gus Dur dulu dan yang terakhir kali kita lihat di akhir ayatnya, sangatlah berbeda. Gus Dur yang kita kenal adalah tokoh yang mengedepankan toleransi dan melarang segala bentuk kekerasan dalam agama termasuk terorisme.
Namun ternyata di masa lalunya, beliau juga pernah menjadi bagian dari orang-orang yang intoleran pada mereka yang berbeda dengan islam.
Ada pula, salah satu penulis favorit saya Hasanudin Abdurahman atau akrab di panggil Kang Hasan, pernah menceritakan perubahan cara pandangnya terhadap islam. Kang Hasan di usia muda adalah seorang pembenci. Benci terhadap perbedaan diluar islam.
Saya pernah membaca salah satu tulisan beliau yang menyatakan ketidaksukaannya terhadap kristen dan Cina. Kang Hasan jadi orang yang vokal dalam menentang pendirian Gereja. Tapi sekarang? Lihatlah tulisan-tulisannya. Prinsip kedamaian soal islam selalu dia dengungkan.
Dari 3 orang yang saya ceritakan di atas, kita belajar bahwa setiap orang senantiasa berubah pemikirannya. Seiring dengan bertambahnya pengaruh literasi, pengalaman hidup, dan lingkungan, seseorang akan melihat islam dari sudut yang berbeda.
Kalau kita kaitkan ini dengan kasus taruna Akmil TNI, Enzo Allie yang heboh baru-baru ini karena dianggap sebagai simpatisan HTI. Jujur, awalnya saya sendiri melihatnya jengkel. Kenapa dia bisa diterima di Akademi Milter? Padahal, rekam jejaknya di dunia maya telah membuktikan kalau dirinya bisa jadi bibit-bibit seorang radikalis.
Tapi, saya berpikir lagi soal Tretan muslim, Gus Dur dan Kang Hasan. Betapa mereka pun bisa merubah cara mereka dalam melihat islam yang sebenarnya.
Prosesnya tentu sangat panjang. Kalau pun tuduhan netizen tentang Enzo itu benar, saya pribadi berharap dia masih diberi kesempatan untuk berkarir di TNI. Kenapa? Karena tidak menutup kemungkinan, seiring berjalannya waktu taruna Akmil keturunan Perancis ini bisa berubah dan mengubur pemikiran radikalnya.
Jika pendidikannya di Akmil benar-benar di genjot untuk setia pada tanah air, saya sih optimis dia akan berubah ke arah yang lebih baik. Tapi dengan catatan, dia harus tetap berada dalam lingkungan yang benar dan menjauhkan diri dari pemahaman dia soal ideologi HTI.
Dengan begitu kita semua pasti berharap pemahaman terhadap ideologi radikal tidak akan muncul di tubuh TNI. Mudah-mudahan ya. Doakan saja karena harapan saya sih seperti itu.