Di zaman serba digital, kita hidup dalam arus informasi yang deras, cepat, dan tak terbendung. Setiap detik, linimasa media sosial kita dijejali oleh berita, opini, meme, hingga video pendek yang menggoda untuk ditonton. Namun, di balik derasnya arus tersebut, ada bahaya yang tak kalah besar: kaburnya batas antara fakta dan ilusi.
Indonesia hari ini termasuk salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 mencatat 221,6 juta pengguna internet, atau sekitar 79,5% populasi. Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan gambaran betapa massifnya ruang digital yang kita tempati setiap hari. Sayangnya, ruang luas ini bukan hanya dipenuhi informasi bermutu, melainkan juga banjir konten dangkal bahkan menyesatkan.
Hoaks yang Tak Pernah Sepi
Kementerian Kominfo mencatat ribuan konten hoaks beredar setiap tahun. Pada 2024 saja, lebih dari 1.900 hoaks ditangani, mulai dari isu politik, kesehatan, hingga agama. Polanya jelas: hoaks selalu menemukan panggung karena media sosial menyediakan ruang penyebaran yang cepat, gratis, dan viral.
Lebih ironis lagi, mayoritas masyarakat Indonesia justru mengandalkan media sosial sebagai sumber berita utama. Laporan Digital News Report menunjukkan hampir setengah populasi Indonesia mengakses berita lewat WhatsApp, YouTube, Instagram, atau TikTok. Dengan karakter platform yang mengutamakan kecepatan dan sensasi, tak heran jika informasi palsu kerap lebih menarik perhatian ketimbang laporan faktual.
Fenomena ini menciptakan apa yang bisa disebut "krisis pemikiran." Masyarakat, terutama generasi muda, terjebak pada pola konsumsi informasi instan: cepat percaya, cepat berbagi, tanpa sempat memeriksa kebenaran.
Budaya FYP dan Dangkalnya Konten
Bagi generasi muda, istilah FYP (For You Page) di TikTok atau reels Instagram sudah akrab di telinga. Konten yang "masuk FYP" sering dipandang sebagai tolok ukur keberhasilan digital. Padahal, algoritma media sosial tidak bekerja berdasarkan kualitas atau kebenaran, melainkan keterlibatan pengguna: seberapa banyak orang menonton, menyukai atau mengomentari.
Akibatnya, konten yang dangkal dan sensasional lebih mudah viral dibanding konten edukatif yang membutuhkan konsentrasi lebih lama. Laporan Pew Research (2023) menunjukkan sembilan dari sepuluh remaja global menggunakan YouTube, disusul TikTok dan Instagram. Format video singkat membuat remaja terbiasa dengan "pengetahuan instan" yang sering kali minim konteks.
Budaya ini berisiko menumpulkan daya pikir kritis. Generasi muda menjadi lebih sering reaktif ketimbang reflektif; lebih sibuk mengejar impresi ketimbang substansi.
Mengapa Perlu Critical & Creative Thinking?
Di tengah banjir informasi, kemampuan berpikir kritis dan kreatif bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.
Pertama, berpikir kritis adalah tameng dari manipulasi. Dengan critical thinking, seseorang terbiasa memeriksa sumber, menilai bukti, serta menimbang logika argumen sebelum menerima atau menyebarkan informasi. Generasi muda yang terlatih berpikir kritis tidak mudah terjebak dalam jebakan hoaks maupun propaganda.
Kedua, berpikir kreatif adalah cara untuk keluar dari jebakan konsumsi. Kreativitas mendorong anak muda tidak hanya menelan informasi, tetapi mengolahnya menjadi karya, baik berupa tulisan, konten edukasi, proyek sosial atau solusi lokal. Kreativitas menjadikan informasi bukan sekadar konsumsi pasif, melainkan bahan mentah untuk perubahan positif.
Ketiga, kombinasi kritis dan kreatif adalah imunitas terhadap algoritma. Platform digital cenderung mengarahkan pengguna ke lingkaran minat sempit (echo chamber). Namun dengan sikap kritis, generasi muda bisa keluar dari jebakan itu, sementara kreativitas memberi mereka ruang untuk membangun narasi tandingan yang lebih sehat.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Pekerjaan ini tidak bisa ditumpukan pada individu saja. Ada tanggung jawab bersama antara pendidikan, pemerintah, dan platform digital.
Sekolah dan kampus harus serius mengajarkan literasi digital bukan sebatas teori, tetapi praktik verifikasi informasi. Siswa perlu dibiasakan melakukan lateral reading membuka tab baru untuk mengecek sumber lain dan belajar memproduksi konten yang kritis sekaligus kreatif.
Pemerintah perlu memperkuat kebijakan literasi media sebagai bagian kurikulum nasional. Program literasi digital tidak boleh berhenti pada seminar seremonial, melainkan harus jadi keterampilan dasar yang terukur.
Platform media sosial harus lebih bertanggung jawab. Algoritma yang hanya mengejar keterlibatan tanpa peduli kualitas membuat publik terjebak dalam banjir informasi dangkal. Label peringatan, verifikasi pihak ketiga, atau friksi (hambatan teknis sebelum menyebarkan konten berisiko) bisa menjadi langkah nyata.
Masyarakat sipil dan komunitas muda perlu menginisiasi ruang alternatif. Komunitas kreatif dapat membuat kampanye edukatif, lomba konten positif atau ruang diskusi lintas generasi. Dengan begitu, energi muda diarahkan untuk mencipta, bukan sekadar menyalin.
Dari Krisis Menjadi Peluang
Banjir informasi memang menimbulkan keresahan, tetapi ia juga membuka peluang besar. Generasi muda kita adalah digital native, mereka tumbuh dengan teknologi di tangan. Jika dibekali dengan keterampilan berpikir kritis dan kreatif, mereka justru bisa menjadi garda terdepan dalam menjaga kualitas ruang publik digital.
Bayangkan jika setiap anak muda tidak hanya membagikan video viral tanpa cek fakta, tetapi juga menghasilkan konten edukatif yang menginspirasi. Bayangkan jika mereka tidak hanya larut dalam arus FYP dangkal, tetapi justru menciptakan tren baru yang mendidik.
Tantangan kita adalah bagaimana mengubah pola pikir dari "cepat percaya dan cepat berbagi" menjadi "cek dulu, pikirkan dulu, dan baru sebarkan atau ciptakan."
Penutup
Banjir informasi adalah realitas yang tidak bisa kita hindari. Namun, krisis pemikiran yang ditimbulkannya bisa kita cegah, asalkan generasi muda dipersenjatai dengan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Inilah saatnya berhenti panik menghadapi derasnya arus informasi, dan mulai berdaya dengan membentuk generasi yang tidak sekadar menjadi konsumen, tetapi juga produsen gagasan dan solusi. Karena pada akhirnya, kualitas demokrasi, kehidupan sosial, dan masa depan bangsa sangat ditentukan oleh cara generasi mudanya berpikir. Apakah kritis dan kreatif atau sekadar pasif dan reaktif?.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI