Mohon tunggu...
Dadan  Rizwan Fauzi
Dadan Rizwan Fauzi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pascasarjana (Megister) PKn UPI Ketua Umum Aliansi Pemberdayaan Pemuda Nusantara (ASPENTARA)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peran Generasi Muda dalam Pilkada Serentak

30 Januari 2018   03:33 Diperbarui: 30 Januari 2018   03:37 6168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2018 disebut sebagai Tahun Politik, pasalnya ada 171 Provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota menggelar pesta demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PILKADA) secara serentak.

Demam Pilkada kini telah menyebar hampir merata di berbagai kota, kabupaten ataupun provinsi yang menyelenggarakan perhelatan demokrasi di tingkatan lokal ini. Dengan irisan kepentingan menyongsong Pemilu 2019, tensi politik menjadi memanas, suhu politik mulai mendidih menyebabkan pertarungan membangun citra kian hingar-bingar seiring berbagai publisitas yang dimainkan oleh media. Partai politik, elite politik, simpatisan, dan calon kepala daerah sudah tentu berlomba mati-matian untuk meraih kemenangan dengan berbagai strategi dan manuver.

Segudang janji politik ditawarkan, halaman-halaman surat kabar, media online, pamplet, baliho dan media yang lain mulai dipenuhi oleh gambar, foto dan profile para kandidat. Ada janji yang sifatnya retorik belaka dan ada pula yang utopis. Janji-janji tersebut bukannya tanpa imbalan namun dibalik itu terdapat maksud kekuasaan lewat perebutan simpati rakyat.

Dilema Praktik Politik Pragmatis

Pilkada yang notabene sebagai kontes perebutan kekuasaan memang selalu menguras emosi, tenaga, fikiran, bahkan biaya. Sehingga tak jarang banyak orang yang terjebak kedalam praktek politik yang pragmatis seperti, money politics (politik uang), mahar politik, politik balas budi. mereka sudah tidak peduli dengan akibat yang dihasilkan dari manuver yang dilakukan, karena yang terpenting adalah bagaimana cara menduduki kursi kekuasaan.

Kita masih ingat beberapa minggu yang lalu, La Nyala Mattalitti membongkar mahar politik yang terjadi selama ini dan sekaligus tingginya biaya politik berkompetisi dalam Pilkada. La Nyala yang merupakan kader Gerindra dan seorang pendukung Prabowo pada Pilpres 2014 menyatakan bahwa dia dimintai uang Rp 40 miliar untuk uang saksi yang harus diserahkan sebelum tanggal 20 Desember 2017. Kalau tidak bisa La Nyalla tidak akan direkomendasikan sebagai Calon Gubernur Jawa Timur.

Dengan demikian, realitas sistem demokrasi yang terjadi sekarang adalah berbiaya tinggi (high cost). Sehingga bukan rahasia lagi, seseorang ikut berkiprah dalam dunia politik dengan sistem Pemilu,Pilpres dan Pilkada yang terbentuk sekarang harus mengeluarkan uang dari koceknya dengan jumlah angka fantastis yang tidak sembarang orang bisa menjangkaunya. Cost itu jauh melebihi modal mendirikan sebuah perusahaan bisnis berskala besar.

Selain money politik dan mahar politik, yang sering terjadi dalam prosesi pilkada hari ini adalah intoleransi. Mulai dari sudut kampung hingga di pusat kota terjadi proses pelemahan toleransi sebagai akibat dari ketatnya persaingan yang terjadi dan seringkali hanya karena perbedaan pilihan kandidat suatu keluarga atau masyarakat yang awalnya rukun harus saling bertentangan satu sama lain. Bahkan parahnya lagi, seringkali terjadi konflik of interest yg berkepanjangan antar golongan.

Memang suatu fakta politik bahwa Isu SARA adalah isu yang paling ampuh digunakan dalam meraup dukungan sebesar-besarnya. Hal itu dinyatakan dalam perspektif Psikologi Politik (Preston dkk, 2012) bahwa politik identitas adalah cara yang paling ampuh dalam menggaet dukungan orang/sekelompok orang. Fenomena itu dapat dijumpai dari banyak kontestasi pilkada yang sudah berlangsung.

Problem berat seperti konflik horisontal antar kelompok masyarakat sudah sering menjadi pemandangan yang biasa dalam pilkada dan memang bukan lagi hal yang jarang ditemui. Tidak menutup kemungkinan hal itu dapat saja terjadi dalam kontes pilkada serentak mendatang jika pemerintah lalai dalam mengantisipasi gejala-gejala dini yang terjadi saat ini.

Sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia telah membuka ruang kepada warga negara dalam pengambilan keputusan terkait siapa yang berhak untuk menempati posisi pemimpin baik itu kepala negara maupun kepala daerah. Sistem pemilu maupun pilkada yang dilaksanakan secara langsung telah membukakan panggung kepada setiap elemen masyarakat untuk ikut berpentas di atasnya, termasuk pemuda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun