Bayangkan ini:
Seorang profesional berusia 45 tahun, dengan pengalaman 20 tahun di bidang manajemen operasional, melamar pekerjaan yang sangat relevan dengan keahliannya. CV-nya impresif, portofolionya solid, dan ia lolos seleksi administratif. Namun, pada tahap wawancara, bahasa tubuh rekruter berubah. Ia keluar dari ruangan dengan perasaan tak nyaman. Dua hari kemudian, email penolakan masuk---tanpa alasan yang jelas.
Pertanyaannya: Apakah benar dunia kerja hari ini telah menyingkirkan batas usia dan tampilan fisik dari proses rekrutmen? Atau "loker impian" itu masih utopia belaka?
Realita Rekrutmen: Masihkah Diskriminatif?
Selama bertahun-tahun, kita terbiasa membaca syarat seperti "maksimal 30 tahun", "berpenampilan menarik", atau bahkan "belum menikah" dalam lowongan kerja. Kini, banyak perusahaan mulai menghapus frasa-frasa itu. Kesan inklusif? Bisa jadi. Tapi kenyataannya, diskriminasi usia dan penampilan masih hidup dalam bentuk yang lebih halus.
Dari penolakan terselubung, pertanyaan bernuansa bias, hingga pengabaian tanpa alasan, semuanya masih terjadi. Studi World Economic Forum (2023) menyebutkan bahwa 1 dari 3 pencari kerja di Asia mengaku mengalami diskriminasi usia saat melamar pekerjaan.
Loker Impian: Apa dan Adakah?
"Loker impian" bisa diartikan sebagai:
- Tidak peduli usia, asalkan kompeten.
- Tidak menilai penampilan, tapi kualitas kerja.
- Tidak mempertanyakan status pernikahan atau gender.
Sayangnya, loker seperti itu masih sangat langka. Beberapa perusahaan progresif di sektor digital mulai mengadopsi sistem ini, tapi masih jauh dari arus utama. Banyak HR masih memegang stereotip lama: yang muda lebih enerjik, yang menarik lebih meyakinkan, yang tua pasti tidak fleksibel.
Bias HRD: Tak Selalu Disengaja, Tapi Nyata
Diskriminasi rekrutmen sering terjadi bukan karena niat buruk, tapi karena bias bawah sadar. Di antaranya:
- Halo Effect: Menilai keseluruhan hanya dari satu aspek, misal fisik.
- Ageism: Anggapan bahwa yang tua sulit belajar hal baru.
- Lookism: Perlakuan khusus kepada mereka yang menarik secara fisik.
LinkedIn Talent Solutions (2022) mencatat bahwa 56% rekruter secara tidak sadar lebih memilih kandidat yang muda dan menarik secara visual. Tanpa regulasi dan kesadaran, bias ini akan terus berulang.
Tantangan dan Jalan Keluar
Masalah ini menyangkut budaya organisasi, ekspektasi sosial, dan mindset HRD. Namun tetap ada jalan keluar:
- Blind Recruitment: Penyaringan tanpa identitas pribadi seperti nama, usia, foto.
- Pelatihan Anti-Bias untuk HRD.
- Kebijakan pemerintah yang tegas dalam mendorong inklusivitas.
Beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah menerapkan loker netral usia dalam sektor tertentu. Indonesia? Masih butuh dorongan lebih kuat dari regulator dan masyarakat.