Nama al-Khans' telah lama harum dalam sejarah sastra Arab. Ia bukan hanya perempuan penyair dari masa pra-Islam yang syairnya melampaui zaman, tetapi juga sosok yang menyimpan kisah pribadi yang sarat pesan, keberanian, dan luka batin yang mendalam. Dari masa mudanya yang memesona hingga pengalaman rumah tangga yang penuh gejolak, al-Khans' menjadi representasi kompleks seorang perempuan Arab klasik---kuat, peka, dan mandiri.
Masa Muda: Kecantikan yang Menjadi Beban
Al-Khans', atau Tamir binti 'Amr, tumbuh sebagai perempuan bangsawan dari suku Sulaym. Wajahnya dikenal memikat, dengan kecantikan yang sering disamakan dengan "al-baqrah al-wahshiyyah", seekor kijang liar yang menjadi simbol keelokan dalam puisi Arab. Namun, al-Khans' bukan hanya cantik. Ia juga cerdas, bijaksana, dan dikenal memiliki daya tarik alami yang membuat siapa pun yang mendekatinya merasa kagum---atau bahkan gentar.
Meski cantik, al-Khans' tak mau menjadikan kecantikannya sebagai alat untuk meraih status. Ia sadar bahwa kelebihan fisik tak akan bertahan, dan lebih memilih mengasah kemampuan berpikir serta mempertahankan martabatnya. Bahkan, ketika Duraid bin a-immah---seorang pahlawan ternama dan tokoh berpengaruh---melamarnya, al-Khans' menolak. Ia tidak goyah oleh status sosial atau nama besar.
Ia juga dikenal berani menyuarakan pendapat, bahkan kepada ayahnya sendiri. Dalam budaya yang menempatkan perempuan sebagai pihak pasif dalam urusan rumah tangga, keberanian al-Khans' untuk menolak lamaran dan berdialog setara menunjukkan kualitas luar biasa dalam dirinya.
Pernikahan: Luka yang Membekas dalam Diri Sang Penyair
Penolakan al-Khans' terhadap Duraid ternyata menyimpan kisah di balik layar. Ia pernah gagal dalam pernikahan sebelumnya---sesuatu yang, dalam masyarakat Arab waktu itu, bisa menjadi trauma sosial bagi seorang perempuan. Ia memilih tidak mengulangi luka itu. Dalam catatan sejarah, al-Khans' diketahui pernah menikah, namun tidak semua sejarawan sepakat dengan siapa.
Ada yang menyebut suaminya bernama al-Rw al-Sulam, sebagian lagi mengatakan 'Abd al-'Uzz atau Mirds. Namun sejarawan dan peneliti sastra Zaynab al-Ghazl menyimpulkan bahwa semua nama itu merujuk pada satu orang yang sama---seorang lelaki dari Bani Sulaym yang tidak cukup membuat al-Khans' bahagia.
Penolakan berulang yang dilakukan al-Khans' terhadap berbagai lamaran setelah pernikahan pertamanya bukanlah semata karena kebanggaan atau keangkuhan. Ia tampaknya belajar dari pengalaman pahit sebagai istri, dan memutuskan bahwa dirinya tak layak dipaksa untuk kembali ke lembah luka yang sama. Ia memilih untuk hidup dengan prinsip, dan mengabdikan dirinya pada puisi---ratapan, cinta, dan kehilangan yang abadi dalam bait-bait syairnya.
Refleksi: Sosok Perempuan yang Penuh Kesadaran Diri