Air itu datang seperti pencuri di malam hari. Tidak mengetuk, tidak mengucap salam. Tiba-tiba menggenang di ruang tamu rumah Ibu Rini, menyentuh kaki kursi rotan yang sudah kusam, lalu naik dengan cepat seperti sedang mengejar waktu.
Ibu Rini, warga Jakarta Timur, sedang tertidur ketika anaknya, Aldi anaknya membangunkannya sambil menangis, "Bu, air masuk!"
Dengan tubuh gemetar, ia bangkit, menyambar senter kecil dari laci, dan segera menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan: ijazah anak-anaknya, obat tekanan darah, dan radio tua milik almarhum suaminya. "Itu radio kenangan satu-satunya dari bapak, jangan sampai hanyut," katanya pelan.
Radio tua itu bukan sekadar alat pemutar berita. Di sanalah dulu suaminya mendengarkan wayang, berita malam, atau dangdut lawas tiap akhir pekan. Ketika suaminya telah meninggal, suara dari radio itulah yang menemani hari-harinya di rumah yang kian renta---dan kini terendam air kotor bercampur lumpur.
Banjir malam itu datang bukan dari hujan lokal, tapi kiriman dari wilayah hulu. Hujan deras di Bogor sejak pagi membuat debit air Ciliwung meluap saat malam tiba. Dalam dua jam, air mencapai lutut orang dewasa. Warga panik. Sebagian naik ke lantai dua masjid, sebagian lain bertahan di atas atap, menunggu perahu dari kelurahan.
"Saya cuma ingin bawa anak saya dan radio itu. Biarpun tua, itu satu-satunya kenangan hidup," ujar Ibu Rini sambil memeluk Aldi yang menggigil karena kedinginan.
Salah satu warga Jakarta Timur, namanya Ari Sumarto Taslim mengatakan banjir musiman seperti yang terjadi di sebagian daerah di Jakarta  adalah masalah yang bisa ditekan jika tata kelola air dikerjakan serius dan konsisten.
"Banjir di Jakarta bukan lagi bencana alam, tapi bencana tata kelola. Kita tahu polanya, kita tahu waktunya, tapi mitigasinya selalu lambat," kata Ari Sumarto Taslim.
Menurutnya, normalisasi sungai dan saluran mikro harus dilakukan serempak, tidak sepotong-sepotong. "Selama pendekatannya hanya reaktif setiap musim hujan, kisah seperti Ibu Rini akan terus terulang," ujarnya.
Besok paginya, matahari bersinar seakan tidak terjadi apa-apa semalam. Tapi di kampung itu, ada baju-baju basah yang digantung di jendela, nasi sisa yang terapung di dapur, dan luka di hati yang tak bisa cepat kering.
Pemerintah datang membawa bantuan. Tapi bagi warga seperti Ibu Rini, bantuan itu hanya menyambung hidup. Bukan menyembuhkan perasaan dikhianati oleh janji-janji perbaikan drainase dan relokasi yang tak kunjung jelas.